Fe sayang,
Salah satu hal yang saya syukuri adalah diberi kesempatan untuk kenal dengan kamu. Sungguh, senang sekali bisa dekat dengan kamu. Sumpah deh, saya suka kamu, banget.Ya, ya, sepertinya, tanpa kalimat pernyataan ini kamu juga sudah tahu ya? Dan saya sangat yakin, kamu juga tergila-gila pada saya [sudah, tidak perlu pura-pura karena gengsi]. Kamu adalah salah satu sahabat yang bisa merangsang saya secara intelektual *halah* lewat konversasi-konversasi filosofis yang bersumber dari pertanyaan kecil berawalan "why?". Dan kita akan berakhir di sebuah kedai kopi pinggir jalan, menganalisa dan menciptakan dalil-dalil yang kebenarannya tidak selalu terjamin. Saya masih ingat betul konversasi terakhir kita yang sukses membuat kepala ini nyut-nyutan -- malah sampai frustasi ya, kalau nggak salah? [ dan ingat nggak, Sayang...saya pernah bilang, kepala nyut-nyutan ini adalah parameter bahwa kita telah mencapai tahap orgasme]
Kita berdua saling mengagumi,ya Sayang? Itu sebabnya persahabatan kita berlangsung sudah berapa lama? lima? enam? atau tujuh tahun? Yah, pokoknya - kalau disamakan dengan umur pernikahan, kita sudah sukses melewati masa-masa kritis 5 tahun pertama. Hidup Kita!
Terima kasih banyak atas persahabatan yang luar biasa ini, Sayang. Kamu telah mengajarkan saya banyak hal, tentang bagaimana menjadi perempuan.
Selama kita jauh, saya selalu merindukan kamu, hai perempuan jahanam yang sangat pintar! Sering saya bertanya-tanya, kapan kita akan berjumpa lagi. Malah [jangan tertawa!] saya sering berdoa [kalau ucapan 'kapan ya ketemu Fe lagi?' bisa dikategorikan sebagai berdoa].
Senang sekali ketika doa itu menjadi kenyataan.
Hei guru sinting yang jenius - entah angin apa yang membawamu kembali ke kota ini. Yang jelas, sungguh saya kaget ketika kamu mengajak saya untuk bertemu, di kedai kopi jalan alkateri, yang terletak tepat di sebelah toko mainan kuno itu.
Kamu banyak berubah, terlihat lelah, sekaligus lebih tegar. Kamu menjadi lebih sinis sekaligus apatis. Kamu berubah menjadi seseorang yang pemarah serta penuh kekecewaan.
Konversasi kita hari itu, masih seperti dulu, berkali-kali membuat saya terangsang secara intelektual. Oh betapa saya merindu saat-saat seperti itu. Tapi sayang, konversasi itu berjalan anti klimaks - saya tidak bisa mencapai orgasme intelektual [saya percaya kamu juga tidak]. Sedih ketika melihat konversasi cerdas yang saya rindukan itu berubah menjadi adu argumentasi yang menyakitkan.
Maafkan saya, Sayang, karena kali ini saya tidak bisa setuju dengan kamu. Saya tidak bisa mengikuti apa yang kamu percaya. Saya tidak mau membenci laki-laki. Saya juga tidak mau menganggap mereka iblis. Bagi saya, bukan mereka yang salah, tapi budaya patriarki yang membentuk pola pikir dan perilaku masyarakat.
Oh ya maafkan canda saya yang tidak lucu, menyanyikan lagu 'Tidak Semua Laki-laki"-nya Basofi Sudirman saat kamu sedang berapi-api mengemukakan bahwa sumber malapetaka bagi perempuan itu adalah kaum laki-laki [tapi, kemana perginya rasa humormu, sayang?].
Saya tidak bisa langsung setuju, walaupun memang saya lihat ketidakadilan terjadi pada kaum perempuan bersumber dari perbuatan laki-laki.
Dulu, saya pernah marah, sama seperti kamu - tapi kini tidak, sekali lagi, bagi saya, mereka juga korban dari budaya patriarki.
Coba bayangkan, ketika masyarakat 'memaksa' perempuan untuk menjadi warga negara kelas dua, di saat yang sama, mereka juga diharuskan untuk bertanggung jawab sebagai 'warga kelas satu'.
Ketika perempuan di'paksa' harus lemah, laki-laki juga mengalami paksaan sebaliknya : harus kuat. Kamu pernah ingat,kan, bocah cilik tetangga kita yang dibentak orangtuanya karena menangis, kata Bapaknya "Jadi laki-laki nggak boleh cengeng!". Ketika anak-anak perempuan dipaksa untuk memakai atribut feminin berwarna pink, berbaju putri yang berenda-renda, bermain boneka serta masak-masakan, laki-laki juga dipaksa untuk menjadi maskulin, memakai atribut biru, berbaju pelaut, main robot-robotan atau perang-perangan. Jika laki-laki bermain boneka atau memakai baju renda, maka mereka disebut 'banci' [duh, kasihan ya, menjadi banci? Saya pikir, di dunia ini yang paling sial bukanlah perempuan, tapi kaum waria, lesbian dan gay]
Lalu, selama ini orang percaya bahwa laki-laki harus bekerja keras sebagai tulang punggung keluarga dan banyak orang, nggak perempuan, nggak laki-laki itu sendiri, mengamini bahwa jadi perempuan bekerja, penghasilannya ya untuk diri sendiri (kecuali untuk kasus-kasus tertentu). Ketika perempuan dicap tidak benar karena tidak menguasai tataran domestik, laki-laki juga dicap 'lembek' atau 'payah', ketika ia tidak cakap di luar sana.
Adil nggak menurut kamu?
Mereka juga korban, Sayang. Mereka juga mengalami tuntutan untuk berperilaku sesuai dengan budaya yang telah mengakar dalam masyarakat. Budaya patriarki.[Ohya..Siapa bilang konsep patriarki hanya dirayakan oleh kaum laki-laki? Masih banyak juga kok kaum perempuan yang menerimanya dengan 'lapang dada'.Nggemesin memang, tapi itu adalah bukti bahwa budaya ini benar-benar terlalu kuat. ]
Saya tidak bisa seperti kamu yang menganggap mereka semua sebagai monster, karena pada kenyataannya, semua laki-laki disekitar saya adalah sosok-sosok yang baik : ayah, adik, sahabat, partner, bahkan mantan-mantan partner sekalipun, bahkan saya juga masih menganggap suami teman saya yang sebal pada saya - si pengaruh buruk- bagi istrinya, sebagai orang yang baik. :)
Walaupun, yah kadang-kadang mereka bersikap ngeselin serta bebal. Tapi itu karena mereka tidak(belum) mengerti konsep yang kita percaya. Ya, sekali lagi, mereka demikian karena dibentuk oleh budaya.
Bukan mereka yang harus kita benci, Fe. Tapi budaya. Mereka tidak harus dimusnahkan, yang perlu dilakukan hanya mendekonstruksi budaya gila ini. Sebuah mimpi yang utopis katamu?
Jangan pesimis, sayang... Beri waktu pada proses. Masalah ini tidak sesederhana membuat pop-mie yang tiga menit langsung siap saji. Karena semuanya telah berkerak dalam urat, darah, daging masyarakat sejak lama. Kalau pun bukan kita yang merasakan perubahan, setidaknya anak-anak, cucu-cucu dan cicit-cicit perempuan kita bisa.
Kalau pun kita tidak bisa merubah dunia, setidaknya menerapkan apa yang kita percaya dulu pada diri kita pribadi, kemudian berevolusi secara damai di lingkungan sekitar, saya pikir juga baik, asal dilakukan oleh banyak perempuan. Kerja sama, Fe. Kamu tidak mungkin sendirian, saya juga tidak. Mereka yang terlebih dahulu melek masalah ini juga tidak.
Pelan-pelan Fe, sabar. ojo nesu-nesu wae, tah! :D [okay, bercanda! Jangan lempar saya dengan bootsmu ya?]
Fe, jujur, sakit hati saya ketika kamu menuduh saya sebagai korban patriarki yang menyedihkan, karena selalu memilih 'in relationship' dengan mereka, atau setidaknya 'it's complicated', ketimbang menjadi single. Sakit hati pula, ketika kamu mentertawakan saya, ketika saya bilang, saya sangat menghormati ayah saya serta menghargai adik serta sahabat-sahabat saya. Saya nggak mau munafik, saya membutuhkan mereka, sebesar mereka membutuhkan saya.
Saya tidak mau mengisolasi diri, untuk kemudian menciptakan republik perempuan.Memiliki hubungan sosial dengan mereka, bagaimana pun juga, mengajarkan banyak hal pada saya.
Fe, kamu tentunya tahu kan, bahwa dasar dari semua ini adalah menjadikan perempuan sebagai manusia yang bebas memilih, bebas berkehendak, bebas melakukan apa yang mereka suka dan bisa tanpa tekanan dari lingkungan sosialnya?
Nah ketika kamu mencela saya, ketika kamu berkata bahwa saya salah dan seharusnya saya menjalani cara hidupmu -- itu artinya kamu, sebagai perempuan -- telah memaksa saya -- yang juga perempuan. Saya kan jadi tidak bebas memilih, tidak melakukan apa yang saya suka dan bisa?
Oh, tolonglah, Fe.. saya begitu menghormati kamu. Menghargai kamu. Membebaskan kamu dengan pilihan-pilihan hidup kamu. Karena saya ingin kamu menjadi perempuan seperti yang kamu inginkan. Tolong lakukan yang sama pada saya.
Saya tidak bisa mengikuti cara kamu. Saya tidak mau menyerang, karena nantinya saya akan diserang kembali dengan lebih dahsyat. Saya tidak mau memaki, karena kemudian saya akan dimaki, lalu apa yang saya mau, tidak tercapai, malah membuahkan kelelahan di hati.
Tenang, Fe. Saya juga masih sama seperti kamu, mengutuk segala perbuatan keji yang melecehkan perempuan. Mengutuk segala bentuk perilaku yang menomor duakan perempuan. Saya masih benci dengan boss yang telah melecehkan Lee secara seksual serta semua laki-laki yang telah melakukan kekerasan seksual, fisik serta emosional pada perempuan. Saya masih benci dikotomi perempuan baik-baik dan perempuan tidak baik. Saya benci citra perempuan ideal dalam media massa. Saya masih benci semua yang kamu benci.
Bedanya, saya tidak pernah ingin membalik keadaan, menjadikan perempuan menjadi warga nomor satu dan mengesampingkan laki-laki. Yang saya inginkan, kesetaraan. Semua, tidak laki-laki, tidak perempuan, memiliki hak serta kewajiban yang setara sesuai dengan kapasitas, serta kehendak mereka sebagai manusia.
Jangan membenci saya Fe. Saya sayang kamu. Kita berada di kapal yang sama. Kita masih harus banyak belajar berlayar untuk melakukan revolusi, menuju tujuan yang sama, dengan cara masing-masing.
Tabik,
sepatumerah.
Sebuah surat untuk seorang Fe, sahabat jahanam saya, guru yang jenius, perempuan yang tangguh di luar sana.
Gambar dari : corbis dengan kata kunci 'letters'
Recent Artworks in Gallery
Recent Posts in Blog
0
komentar