"Serius?"
"Iya, serius... saya aja sampe ngakak bacanya."
"Tulisannya bener-bener Swiss Abri?"
"Iya, dengan logo dan typo yang mirip Swiss Army."
"Bujubuset."
Baru saja beberapa hari yang lalu saya ngakak geli mendengar cerita ibu ini tentang temannya yang memakai sebuah arloji bermerek Swiss Abri, plesetan dari merk Swiss Army, eh hari ini saya menemukan merek itu! Rasanya gatal pengen memotret, tapi apa daya, mbak-mbak penjaga lapak kaki lima tersebut terlalu waspada terhadap gerakan-gerakan mencurigakan. .
Sebenarnya perkara pleset-memlesetkan merk, bukan hal yang aneh bagi saya yang suka jalan-jalan mblesek-mblesek daerah alun-alun Bandung dan sekitarnya. Ada Benito untuk Benetton, ada Spirit untuk Esprit, GAT untuk GAP, Mongo untuk Mango, Guest! untuk Guess? , bahkan jeans saya bermerk Levix yang tentunya plesetan dari Levi's, sorry dong, itu satu-satunya jeans murah, bootcut (sumpah, susah banget nyari jeans bootcut hari gini), berbahan tidak stretch dan tidak mrecet [ketat] sehingga membuat saya merasa seperti lepet.
Jadi ingat, Amanda, brownies kukus yang heboh banget tahun lalu, yang katanya omzetnya sampai ratusan juta per hari (jangan terlalu dipercaya, ini juga saya dengar gosip-gosip). Dan sempat diklaim, kalau belum beli brownies kukus Amanda, berarti belum ke Bandung.
Tiba-tiba kawan saya yang sedang bingung mau berwiraswasta di bidang apa, merasa sangat cerdas dan berkata "Eureka.. gue bikin usaha brownies kukus aja, gampang, mumpung lagi booming' , yang langsung saya tertawakan, karena saya pikir ini tidak gampang, justru dia harus berusaha keras berpromosi untuk memposisikan produknya menjadi nomor satu di benak target market. Bukan hal yang nggak mungkin sih, tapi seingat saya, yang kawan saya inginkan ya usaha gampang, balik modal cepat.
Ketika saya sampaikan permasalahan positioning, kawan saya yang kadang-kadang nggilani ini bilang,"Gampang, gue bikin aja yang merknya memper-memper sama Amanda, yah sebut aja plesetannya Amanda deh. Mungkin annanda, dengan kedua n-nya dibikin mepet.".
Ya sudah, saya timpali lagi "Kenapa gak bikin amancla, dengan huruf c dan l-nya dibikin deketan?"
Pada akhirnya kami tertawa-tawa, dan dia tidak pernah menjadi pengusaha brownies kukus bermerek Annanda atau Amancla.
Anyway, gara-gara pernah mendapat tugas penelitian ece-ece jaman kuliah dulu, saya sempat menyambangi dan mewawancara produsen beberapa barang-barang bermerek plesetan. Saya ingat, salah satu pertanyaan yang saya ajukan adalah "Kenapa ngasih merek plesetan,Pak?"
Jawaban mereka rata-rata sama "Soalnya merek-merek mahal itu laku banget, kita mau juga kan ikut laku dengan pake namanya. Yang mahal aja laku, masa yang murah nggak?"
Rata-rata semua produsen merek plesetan tersebut menganggap merek[brand] hanya sebuah nama yang bisa ditebengi, untuk menaikkan penjualan. Padahal merek[brand], kini bukanlah sekedar logo visual yang tertempel, dijahitkan atau dicetak di permukaan produk untuk memberi nama produk, melainkan seperangkat nilai, konsep serta citra yang dikonstruksi sedemikian rupa oleh produsen untuk ditanamkan dalam-dalam pada benak konsumen.
Bleh.. kok repot ya menjelaskannya? Hehe. Gini deh, sebuah celana jeans merk Levi's, bukan sekedar celana jeans tapi ia juga mengandung citra 'jeans-nya anak muda (yang keren)', Body Shop, bukan sekedar merek produk perawatan tubuh, ketika seseorang memakainya ia akan merasa bahwa ia turut ambil bagian untuk mencintai lingkungan hidup. Begitu juga Ferrari atau Jaguar, coba deh, reaksi anda ketika melihat seseorang mengendarai Ferrari atau Jaguar di jalan raya, pasti akan berbeda dengan reaksi anda ketika melihat seseorang melihat seseorang yang mengendarai Timor DOHC tanpa AC [ini kayak kenal.hihi].
Ketika produsen merk plesetan bermaksud berjualan dengan nebeng nama, maka produsen-produsen besar merek tersebut sudah tidak berpikir berjualan lagi, tapi mencuci otak konsumen agar merek[brand]nya menjadi unik dan berada di posisi nomor satu di benak konsumen, supaya ketika menyebut 'pengalaman mengopi yang berbeda' asosiasi benak konsumen hanya tertuju pada Starbucks Coffee atau ketika menyebutkan tas mewah Prancis nomor satu berkualitas baik yang mempertimbangkan craftmanship, maka yang ada dalam benak konsumen hanya dan hanya Louis Vuitton.
Moschino, Kate Spade, McDonald's dan Kartika Sari sekalipun , juga demikian.
Harapan untuk nebeng laku, mungkin tidak akan tercapai. Karena di benak masyarakat sudah ditanami citra dari brand aslinya. Konsumen kemungkinan tidak akan mau membeli produk bermerk plesetan karena produk plesetan tersebut tidak memiliki citra yang sama dengan produk aslinya.
"I don't buy fake!" itu seruan teman saya yang menggilai Louis Vuitton ketika saya menyarankan daripada mahal-mahal membeli produk asli, kenapa nggak beli yang dijual di Mangga Dua, tokh ada huruf LV juga di seluruh permukaan tas tersebut.
Iya, konsumen sekarang tidak membeli guna atau fungsi barang, tapi citra yang direpresentasikan oleh barang tersebut. Tentu rasanya beda ketika anda membeli sepatu Nike asli dengan sepatu Niku pinggir jalan. Atau membeli TV Sony dibandingkan membeli TV bermerk Suny atau Sonny buatan Cina.
Ngomong-ngomong soal merek, saya jadi ingat [lagi!], sekitar dua tahun yang lalu, teman saya diminta membelikan tas Channel versi Mangga Dua oleh temannya, berdasarkan pesanan tantenya yang kebetulan istri seorang pejabat di suatu daerah [silsilahnya ribet ya? Maab]. Maka mengarungi Jakarta lah kami berdua memenuhi amanah tersebut.
Dari sana saya baru tahu, bahwa tas bermerek palsu itu punya kelas-kelas tertentu [oh betapa kampungannya saya!], katanya yang paling mirip adalah yang memiliki kualitas nomor satu dan harganya, dong! Tetap berjute-juteee... Sett dah!
Ya sudah, kami membelinya. Beberapa minggu kemudian, teman saya cerita, bahwa tantenya temannya [repot lagi!] mengaku kapok, karena ternyata walaupun tas bermerek palsu kwaliteet nomor satu dan super mirip dengan aslinya, eh tetap aja ketahuan oleh ibu-ibu lainnya. Dasar ibu-ibu pejabat pemerintahan (oops!).
See? Walaupun tiruan dari produk merek asli itu sebegitu sempurnanya, tapi tetap saja dianggap kagak lepel. :D. Sekarang sejak ada penyewaan tas bermerek asli, beliau memilih untuk menggunakan jasa tersebut. Hehe.
See ? nebeng nama [merk] asli yang citra brandnya sudah tertanam dengan kuat dalam masyarakat untuk menaikkan penjualan belum tentu berhasil. Daripada memlesetkan Swiss Army jadi Swiss Abri kenapa nggak buat brand sendiri ya?
Eh tapi repot juga deng, kan seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, produsen-produsen produk merek plesetan cuma ingin berjualan, bukan mau mencuci otak konsumen?
PS:
Semua brand selalu muncul nomor satu di Google ketika saya memasukkan keyword brand tersebut, kecuali...Timor , doi muncul nomor 5! Perhatian, Perhatian. Timor butuh positioning (atau re-branding? hehe) .Eh bentar, masalahnya Timor itu udah nggak ada ya di Indonesia, diganti KIA? Hm? Au ah.]
PPS: Nggak penting nih, ini entry ke 490 di blog ini. Sepuluh lagi 500 dan gue dapet piring canteek! :))
Recent Artworks in Gallery
Recent Posts in Blog
0
komentar