Lo harus nonton Denias,pasti mehe-mehe :P
sender:
Seorang Teman
Itu adalah secuplik sms yang dikirimkan oleh seorang teman, sebelum libur lebaran di kantor mulai. Karena waktu itu saya sedang dipusingkan oleh urusan rekap-merekap nilai, maka saya bilang padanya akan menunda menonton sampai entah kapan *biasanya kalau ditunda, akhirnya nggak jadi*
Untung menjelang malam takbiran kemarin, saat jalan mulai melengang karena orang-orang ingin berbuka puasa terakhir kalinya dan merayakan kemenangan bersama keluarga di rumah masing-masing, tiba-tiba saya teringat film yang direkomendasikan teman ini. Akhirnya, saya dan partner memutuskan untuk menonton film Denias, Senandung di Atas Awan di Regent, sebuah bioskop selingkuh *ini adalah istilah teman saya, karena bioskop ini sepi, cocok buat berselingkuh -- kata dia lho* yang terletak di Jalan Sunda.
Dan benar kata teman saya, saya jadi mehek-mehek. Bercerita tentang perjuangan Denias, anak pedalaman Papua untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Polos, kocak dan menyentuh. Kadang saya tertawa melihat adegan-adegan tingkah polos kanak-kanak Denias dengan teman-temannya, kadang-kadang jengkel sendiri , kadang juga mewek (haha! Partner saya sampai bengong, ya nggak, Part?). Walaupun saya nggak begitu sreg dengan penyelesaian konflik yang kesannya gampang dan terlalu buru-buru, tapi keseluruhan saya suka!
Sama sukanya seperti ketika saya membaca kisah si Ikal dalam Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi.
Eh, nggak kok, saya nggak akan membuat review film tersebut di sini, karena saya payah kalau disuruh mereview. Pokoknya ceritanya beda jika dibandingkan film-film Indonesia hari gini yang kebanyakan bertema cinte-menyinte atau kuntilanak-mengun..til..anak.
Tapi ada satu hal yang membuat saya berpikir setelah menonton film itu: sekeras apakah usaha saya untuk mendapatkan pendidikan?
Kalau diingat-ingat lagi, selama menjalani masa pendidikan - saya bersekolah bukan karena ingin. Tapi karena orang lain juga sekolah, masa' saya nggak?
Tidak pernah terpikir bahwa sekolah (pendidikan) itu penting. Bagi saya, pergi sekolah adalah hal wajib yang menjemukan di mana saya belajar hal-hal tidak penting seperti, ilmu pasti yang pastinya menyebalkan (tapi harus saya kuasai,kalau nggak dimarahi bapak), doktrin tentang mencintai negara, ilmu bumi dan seterusnya dan seterusnya.
Kuliah juga sama saja. Banyakan bolos dan titip absennya. Kecuali untuk proses kuliah yang terakhir,ya -- yang saya jalani dengan kesadaran sepenuhnya - walaupun dengan keluhkesah pusingkepala-kramotak-tekananbatin. Hehe.
Jadi kesimpulan? Perjuangan saya untuk mendapatkan pendidikan : nol besar.Nggak ada tuh proses bersusah payah agar bisa sekolah, nggak ada tuh cerita kekurangan biaya, tentunya nggak ada juga cerita harus berhari-hari melakukan perjalanan demi menemukan surga kecil bernama sekolah.
....
Barusan saya ditelepon oleh kawan yang merekomendasikan film Denias, Senandung di Atas Awan ini , dan kami sempat membahas, kenapa untuk orang-orang seperti saya dan dia, tekad untuk mengenyam pendidikan itu tidak sekuat Denias? Atau mungkin si Ikal dalamLaskar Pelangi (plus Sang Pemimpi)?
Jawaban yang kami dapatkan cuma satu : Karena kami anak-anak gampang.
Maksudnya, sebagai anak, dulu kami selalu 'mendapat' apa yang kami mau tanpa harus bersusah payah. Dan kami menganggap bahwa semua itu adalah sesuatu yang seharusnya terjadi pada setiap orang. Tak pernah terpikir bahwa hal-hal biasa tersebut bisa jadi merupakan kemewahan bagi orang lain.
Untuk saya dan dia, bersekolah itu wajar. Sama wajarnya dengan makan tiga kali sehari, ikut les, punya buku cerita, baju, sepatu, sandal, tas mainan, berlibur keluar kota serta ke dokter sewaktu sakit. Semuanya wajar. W-a-j-a-r .
Dan sialnya, lingkungan sekitar kami juga menganggap hal-hal tersebut wajar. Jadi saya sama sekali tidak bisa melihat contoh hidup, bahwa apa yang saya miliki merupakan suatu kemewahan. Akibatnya, kami tidak pernah bisa menghargai yang kami miliki-- terutama kesempatan bersekolah.
Dalam cerita Denias, akhirnya ia berhasil untuk masuk sekolah di kota dan sekarang sedang melanjutkan pendidikannya di Darwin, Australia, mendapatkan Beasiswa dari Freeport. Dalam cerita Ikal di Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi, ia mendapatkan beasiswa ke Inggris dan Perancis.
Keduanya based on true story.
Tantangan mereka dalam kehidupan membuat mereka memiliki tekad yang sangat kuat.
Saya dan kawan saya sebenarnya masih ingin melanjutkan sekolah, mengumpulkan uang atau mencari beasiswa sampai S3 atau S sekian jika ada -- tapi ya itu, karena terbiasa jadi anak gampang, tekad tersebut tidak terlalu kuat, berulang kali kami berkata 'aaah, ntar lagi aja laah, yang kemarin aja baru lulus' (padahal itu dua tahun yang lalu!). Makanya, program menabung untuk sekolah selalu gagal serta alternatif kedua, mencari beasiswa selalu terhenti di tahap browsing cari sekolah di internet.
Kekuatan tekad kami, lagi-lagi nol besar.
Pada akhirnya, saya dan teman saya, yang seharusnya bersyukur karena menjadi anak-anak gampang sehingga bisa bersekolah mencapai strata yang sekarang, jadi berpikir, mungkin keadaannya lain-- akan lebih baik jika kami tidak begini.
Jadi pengen sekolah lagi. :D
update:
Eh... silahkan kunjungi Semua Tentang Novel Kamar Cewek, lho, isinya ya...semua cerita tentang novel kamar cewek - mulai dari review, testimonial dan fakta-fakta dibalik novel kamarcewek. ;)