*Weits, tenang -- jangan ngamuk dulu.
Sudah tiga bulan ini saya melepas pekerjaan yang mengharuskan saya keluar rumah di hari Sabtu. Dan, ternyata, dunia jadi indah karenanya. Saya bisa menjadikan hari Sabtu sebagai hari bobo-boboan sampai dungu.
Tapi hari ini, acara bobo'-bobo'an saya ternyata nggak sampai dungu, karena pukul delapan lewat sedikit, Happy Tree Friends yang saya atur sebagai ringtone ponsel berbunyi, seorang teman lama menelepon. Dan kalian tau kan, bagaimana berisiknya ringtone tersebut? Bahkan beruang grizzly pun akan terbangun dari hibernasinya.
Ia menawarkan sebuah kerjaan yang dengan halus saya tolak, karena saya nggak yakin mampu mengerjakannya. Setelah itu, kami mengobrolkan hal-hal lain.
"Cowok itu kalo udah menikah nggak berguna banget sih," itu salah satu kalimat yang teman saya lontarkan sebagai pembuka. Kalau saya hanya mendengar kalimat itu thok, jelas saya tidak setuju, laki-laki itu jelas mahluk yang berguna, terutama bagi para perempuan-budget-tinggi-tapi-malas-bekerja-keras : untuk menraktir makan dan nonton, untuk membelikan tas Gucci, untuk menutupi segala tagihan credit card dan telepon pasca bayar.. hehe. :P
Tapi saya memutuskan untuk diam dan mendengarkan ceritanya. Ternyata ini masalah suaminya yang selalu mengandalkan dia dalam mengerjakan urusan domestik rumah tangga; mengurus anak, masak memasak, membayar segala tagihan, membersihkan rumah bahkan sampai mencari ipod yang raib juga.
"Coba dong, sekali-sekali untuk urusan-urusan gitu, ya ditangani sendiri... masa sih semua gue, semua gue. Pokoknya kalau urusan yang berkaitan sama rumah, diserahinnya ke gue, nggak mau liat apa gue lagi sibuk atau nggak"protes teman saya, yang kebetulan selama seminggu ini sedang menjadi seorang mahmud (mamah muda) yang sibuk-banyak-proyek. (biasanya ia hanya menjadi mahmud saja, alias ibu rumah tangga).
Padahal menurutnya, dulu, sebelum mereka menikah, sang suami adalah pria nan mandiri yang sanggup mengerjakan apapun sendiri, iyalah, bertahun-tahun hidup sebagai bujangan merantau, mau nggak mau harus bisa masak, nyuci dan mengerjakan segala sesuatu sendiri. Tapi setelah menikah, ya itu, seperti yang teman saya bilang, tidak berguna - jadi manja, apa-apa(yang berhubungan dengan rumah) harus dikerjakan oleh istri.
Dari permasalahan itu, kami jadi membahas soal konsep menikah yang salah dalam benak cowok (maupun cewek), soalnya saya jadi teringat salah seorang teman yang lain, seorang laki-laki yang pernah bilang bahwa ia butuh istri, supaya ada yang mengurus di rumah. :) .
Analisa kami (tsah) ini terjadi karena ada sebuah konvensi pembagian pekerjaan berdasarkan gender, cowok di luar rumah, cewek dalam rumah. Dan konsep ini sudah tertanam dan mengakar dalam benak semua laki-laki (dan perempuan juga) sejak entah kapan, sehingga membuat tuntutan-tuntutan yang harus dikerjakan laki-laki dan perempuan berbeda.
"Hey para lelaki, lu harus kerja keras cari duit ngumpanin anak istri dan hey pere, lu harus kerja keras ngurusin keluarga." - begitulah kasarnya.
Bahkan di saat zaman berubah, di mana seorang perempuan dimungkinkan untuk eksis di luar area domestik (baik karena harus; untuk membantu perokonomian keluarga, atau karena pilihan pribadi), tuntutan seperti itu tetap ada. Dan ini kacau sekali, karena ketika demikian, seorang perempuan haree genee dituntut untuk menjadi superwoman; membina karir tapi sekaligus juga harus mampu mengurus rumah tangga dengan baik dan benar, sendirian.
Konsep-konsep seperti itu pula yang mungkin membuat laki-laki (ya, memang, nggak semua), berubah menjadi manja ketika ia menikah,nggak mau tau urusan rumah, karena berpikir "Gue kan udah kerja capek di luar rumah. Lah istri gue dong yang harus ngurusin hal-hal di dalam rumah..." -- yah seperti kejadian yang dialami teman saya itu; bahkan sampai mencari ipod, mencari kunci mobil atau mungkin menisik kolor yang jebol, harus dikerjakan sang istri. Manja sekali, laki-laki tidak berguna ! :D
Jadi ingat, duluuuuuuuuuuuu ('u'-nya banyak, untuk menunjukkan bahwa kejadian itu sudah lama sekali), saya sempat suka memasak atau mencoba resep-resep baru, dan biasa deh, untuk mempesona pacar saya saat itu, saya sering memasak untuknya. Tapi hobby tersebut berhenti saat ia mengatakan satu kalimat yang kurang lebih berarti : jadi perempuan itu tugasnya memang harus memasak makanan yang enak-enak buat pasangannya yang sudah capek bekerja keras di luar rumah. Lalu ia menuntut saya memasak setiap ia datang. Lalu ia mulai request masak apa malam minggu depan. Ngelunjak!
Halah. Seketika itu juga, saya berhenti memasak, mutung ceritanya. Ya iyalah, saya kan memasak karena ingin, kalau sudah jadi kewajiban ya males aja. Lagipula, dengan mendengar pacar saya waktu itu berbicara demikian, saya jadi bisa menyimpulkan bahwa ia adalah penganut konsep perempuan adalah pekerja domestik yang harus mengerjakan bukan perkara masak memasak saja, tapi segala printilan rumah tangga lainnya. Pasti setelah menikah dia akan menjelma sebagai monster manja tidak berguna juga.
Mungkin, semua perempuan harus mendoktrin dan mencuci otak pasangan sejak awal banget, supaya konsep berpartner dan bekerja sama tertanam di otak mereka. Mereka nggak boleh manja, harus sanggup mandiri kalau ditinggal cuti istri untuk berbagai kepentingan. Hey, istri(perempuan) kan tidak dilahirkan untuk akhirnya mengurus suami(laki-laki) doang,kan? :D
Iya sih, pembagian tugas memang harus ada, sama seperti di sebuah organisasi atau perusahaan, supaya tidak kacau. Tapi harus adil. Dan seperti layaknya di dunia pekerjaan, jika partner sedang tidak bisa mengerjakan suatu hal, apa salahnya dikerjakan sendiri, okay para monster manja? :D
Well, mulai sekarang, saya nggak akan menyebut pacar , ah untuk pasangan saya, tapi saya akan menyebut partner. :D
Selamat akhir pekan, semuanya.
Permisi, pacarpartner saya sudah selesai menonton pertandingan Bolton melawan Liverpool (2 - 0), sekarang waktunya saya pacarpartneran. :D
halah!
Recent Artworks in Gallery
Recent Posts in Blog
0
komentar