Hanya dua kegiatan yang membuat saya merasa seperti tuhan (tuhan-huruf kecil, daripada dikepruki kaum beragama sekalian :D) : Pertama, ketika saya bermain the sims, di mana saya bisa menciptakan karakter-karakter tertentu, mengatur kehidupan mereka, membuatnya sengsara, membuatnya bahagia, membuatnya bercinta, membuatnya menjadi homoseksual bahkan kalau tiba-tiba saya bosan dengan satu karakter, saya bisa membunuhnya. Kedua ketika sedang menulis.
Saya selalu merasa deretan huruf-huruf yang disusun sedemikian rupa menjadi kata, kalimat, paragraf - membentuk satu paket tulisan tersebut memiliki kekuatan super, yang bisa mempersuasi bahkan mengatur audiens untuk bertindak sesuai dengan yang diinginkan. Dan saya juga berpikir, bukan hanya penulis, tapi semua kreator. Penulis, perupa, pemusik atau apa pun, adalah tuhan-tuhan cilik yang mencipta dan mengatur audiens dengan ciptaannya.
Makanya, sekitar beberapa tahun yang lalu saya sempat beradu argumentasi dengan seorang kawan. Ia mendukung essay Death of The Author (Barthes, 1968) yang pada intinya menyatakan bahwa ketika sebuah karya (tulisan, seni rupa, musik dll) dilepas oleh seorang kreator (penulis, perupa, pemusik dll) ke publik, maka otomatis pengarangnya mati, kreator benar-benar telah kehilangan kekuatan mengatur audiens, audiens-lah yang kemudian menjadi tuhan-tuhan dari karya tersebut. Antara karya dan kreator sama sekali tidak ada hubungannya.
Sedangkan saya menolaknya, argumen saya adalah : kalau memang iya kreator telah mati, kenapa saya masih bisa menangis, tertawa-tawa, terpersuasi bahkan sampai merubah sikap setelah me'nikmati' suatu karya (tulisan, seni rupa, musik dll) - tentunya reaksi ini lah yang diinginkan kreator ketika mereka mencipta,kan? Mereka telah mengatur saya bertindak demikian.Mereka masih berkuasa; seperti tuhan.
...
Beberapa tahun setelah pembahasan 'tuhan-tuhan cilik', Ninit merilis novel pertamanya, Kok Putusin Gue? ...
Eh, bentar..
Buat Ninit dan Adhitya, selamat atas kelahiran putra pertamanya : Aldebaran Rahman Adhitya. Semoga si adek bisa jadi matahari dalam keluarga.
Sampai mana tadi?
Oh,Beberapa tahun setelah--
Iya itu, beberapa tahun setelah pembahasan 'tuhan-tuhan cilik', Ninit merilis novel pertamanya : Kok Putusin Gue?. Saya sempat mengikuti bermacam review yang berkaitan dengan novel tersebut, salah satu yang saya temukan adalah review seorang adik kelas dalam entri blognya. Review tentang novel ini sama sekali tidak positif. Waktu itu, saya berpikir, yah ini kan benar-benar subjektif, berdasarkan preferensi pribadi.
Sama saja ketika saya terhenti menyelesaikan Nayla-nya Djenar Maesa Ayu saat membaca bagian menusuk selangkangan dengan peniti sebagai hukuman Nayla kecil jika ia mengompol (Saat itu saya langsung merapatkan selangkangan karena rasanya seperti benar-benar ada peniti juga di selangkangan saya). Waktu itu saya langsung memutuskan bahwa Nayla terlalu gelap bagi penikmat Sophie Kinsella di waktu luang macam saya.
"Kita kan nggak bisa membuat semua orang senang pada dan menyukai (karya) kita" itu cetus Ninit ketika saya tanya, gimana rasanya membaca review-review tidak positif mengenai novelnya.
Tiba-tiba saya mulai meragukan kekekeuhan saya pada konsep 'tuhan-tuhan kreator cilik'. Kalau mendengar apa yang Ninit bilang, kelihatan sekali kan, bahwa Ninit, sebagai kreator, tidak memiliki daya atas karyanya yang telah dilempar ke publik.
Ada satu hal yang saya lupakan ketika ngeyel , audiens adalah mahluk yang memiliki kehendak bebas dan latar belakang (pendidikan, agama, sosial, ekonomi dan seterusnya dan seterusnya) yang sangat heterogen.
Mungkin saja ketika mencipta, kreator ingin 'mengendalikan' audiens dengan karyanya sebagai senjata, ia bisa memasukkan ide-ide, nilai-nilai,pola pikir, argumen, opini, pendapat (eh opini dan pendapat mah sama ya? :D) dan semua -isme yang dianutnya dalam karya tersebut; dengan harapan audiens yang me'nikmati'-nya akan berperilaku sesuai dengan yang diinginkan kreator.
Ini akan berhasil jika audiens memiliki ide-ide, nilai-nilai,pola pikir, argumen, opini, dan -isme-isme yang setidaknya selaras dengan kreator.
Nah, apa kabar kalau tidak?
Semua ide, nilai,pola pikir, argumen, opini, dan -isme yang dianut kreator akan menabrak ide-ide, nilai-nilai,pola pikir, argumen, opini, dan -isme-isme yang sudah tertanam sejak entah kapan di benak audiens. Audiens bukannya 'menurut', tapi malah salah interpretasi - salah persepsi; pesannya nggak nyampe, timbul kebencian, timbul kemarahan dan timbul yang lain.
Contoh, Saman-nya Ayu Utami, untuk pihak-pihak yang se-paham (koreksi, se-paham atau se-faham..?) akan memaknai novel tersebut sebagai pembebasan terhadap represi seksual perempuan, sedangkan untuk yang tidak se-paham, novel tersebut akan diberi label : amoral.
Jadi benar, ketika sebuah karya telah ada di tangan publik, maka tuhan(pencipta)nya telah mati, semua kemungkinan dan ruang-ruang interpretasi berada di tangan publik.
Wah, saya harus segera menelepon kawan eyel-eyelan saya beberapa tahun yang lalu nih, untuk mengakui bahwa konsep tuhan-tuhan kreator cilik saya, salah. :)
Selamat berakhir pekan. :)
update 28 agustus 2006, 18.15
Ehm, saya sedang kena cacing kuping (earworm), gara-gara mantan teman sekantor saya datang ke kantor, lalu pamer ringtone lagu yang fenomenal ini. Sial. Yah, silahkan didengar atau kalau mau diunduh, yo monggo.
Lagu ini sekaligus saya persembahkan untuk Melloy Surelloy yang lagi mellow sumarlelow gara-gara kangen Aceh :D
Mari..mari.. =))
Recent Artworks in Gallery
Recent Posts in Blog
0
komentar