Women are exploited--and they allow themselves to be exploited -- in the name of love
(Simone de Beauvoir)
Tahun ini adalah tahun yang aneh bagi saya dan beberapa teman perempuan.
Eh sebentar, sebelumnya saya mau menyampaikan salam kompak untuk akhir pekan yang terlalu panjang, aktivitas yang terhambat, kemacetan di setiap jalan utama yang disebabkan oleh mobil berplat B, serta kemacetan di jalan-jalan alternatif akibat panggung gembira tujuh belas agustusan.
Sial. Bikin pengen garuk-garuk tembok aja.
Anyway, tahun ini adalah tahun yang aneh, karena saya dan beberapa teman perempuan mengalami banyak hal; mulai dari perkara cinta-mencinta yang tidak lancar, emotional abuse, pelecehan dan kekerasan seksual (bukaan, bukan saya!), kehilangan jati diri (ini juga bukan...:D) endeswey endeskoy.
Beberapa hari yang lalu, seorang teman perempuan mengajak saya bertemu sambil memenuhi kebutuhan untuk merusak diri dengan kafein, nikotin dan curhat (halah! Wis tuwek ora eling-eling.:D). Dalam pertemuan tersebut, teman saya bercerita mengenai hubungan percintaannya dengan sang kekasih yang membuatnya iritasi batin. Pasalnya, laki-laki antah berantah (karena saya tidak mengenalnya), dengan sempurna telah mengabaikan; mulai dari tiba-tiba menghilang dengan misterius dan tidak menghubungi berhari-hari bahkan sampai hitungan minggu dan jika dihubungi maka si cowok gila itu akan mematikan telepon, tidak pernah dengan baik-baik menjemput dan mengantar pulang setiap kencan, tidak pernah mau mendengar, selalu bilang "Lagi sama temen" atau "Lagi sendirian aja nih" jika ditelepon entah siapa di saat mereka sedang bersama, dan hanya datang saat kebutuhan syahwat menyerang.
Okay, saya sadar -sesadar-sadarnya, bahwa jika seorang perempuan curhat, yang perlu dilakukan hanya menjadi pendengar setia, tapi mendengar detil ceritanya -maaf-maaf saja, tiba-tiba saya tergelitik untuk berkomentar tajam.
"Cowok lu brengsek. Tinggalin aja, cari yang baru"
Teman saya terpana dan tampak sangat gusar.
"Kenapa? Nggak suka cowok lu gua katain brengsek?" tantang saya.
Dari sana keluarlah sejuta pembelaan, yang menurut saya sangat dibuat-buat, teman saya tiba-tiba menjelaskan karakternya, latar belakangnya, masalah-masalahnya, bahwa ia pada dasarnya baik dan seterusnya dan seterusnya.
Saya tetap berkeras -menurut pandangan saya, apa yang telah dilakukan oleh sang cowok jelas-jelas menunjukkan bahwa ia tidak mencintai teman saya, atau kalau pun iya, si cowok memang mencinta, maka ia mencinta dengan cara yang sakit.
Ketika saya kemukakan bahwa apa yang dialaminya sudah masuk ke dalam salah satu tipe kekerasan, teman saya marah. Ia bilang, ia mencintai laki-laki sakit itu.
Saat itu saya hanya bisa diam dan teringat, bahwa memberitahu orang yang sedang jatuh cinta, sama saja seperti membuang garam ke laut. Percuma.
...
Okay, membincang perkara cinta-mencinta, dari dulu saya-sebagai perempuan- berpendapat bahwa cinta terhadap lawan jenis adalah sesuatu kekonyolan/keanehan/ke-nggak masuk akal-an yang ribet. Coba deh, lihat teman saya, yang bertahan walaupun tersiksa karena sikap cowok aneh itu. Atau untuk permasalahan yang wajar terjadi dalam sebuah hubungan : mencocokkan visi misi yang harus melewati berbagai macam friksi , kecemburuan yang membuat jantung berdetak berkali-kali lipat atau meloncat-loncat nyaris mencelat dari rongganya, kangen yang nggak kesampaian (karena PJJ* - heheh curhat pribadi) dan gregetan bikin mau marah-marah sendiri atau menyek-menyek. Belum lagi patah hatinya. Bedeuuuh!
Tapi kita semua -perempuan- bertahan. Karena cinta.
Kadang-kadang saya mempertanyakan, apakah hal yang sama terjadi juga pada kalian, wahai pria-pria di luaran sana? Atau perempuan-perempuan aja yang ribet? :D.
Saya pernah membaca dalam salah satu literatur dari Simone de Beauvoir; bahwa cinta itu memiliki makna yang berbeda bagi masing-masing gender. Untuk pria-pria; mencinta adalah menjadikan perempuan(yang katanya dicintai) menjadi salah satu dari prioritasnya ; sedangkan bagi perempuan, mencinta adalah menjadikan sang pria(yang katanya dicintai) sebagai pusat dunia sang perempuan.
Berdasarkan analisa Mbak Simone eh atau Mas Fromm ya? (Lupa bo dan males liat buku), ini terjadi karena bentukan budaya; di mana dunia berpusat pada laki-laki, sehingga menyebabkan perempuan terbiasa dengan pola pikir bahwa laki-laki adalah tuan, yang bisa memilikinya (suatu saat nanti jika berpacaran, atau menikah).
Momentum paling indah(dan paling ditunggu-tunggu) bagi seorang perempuan adalah saat bersatu dengan sang pemilik . Perempuan akan merasa lengkap. Inget nggak, dari kecil, kita terbiasa dengan dongeng Mbak Cinderella yang indah itu, hidup sebagai anak tiri yang disia-sia, kemudian di'selamat'kan oleh pangeran ngguanteng-dinikahi, dimiliki dan they live happily ever after.
Hmmm...
Okay, daripada dicela sok feminis dan dinilai merendahkan nilai pernikahan dalam masyarakat seperti yang sudah-sudah, kita balik lagi ke masalah cinta.
Cinta itu ribet.
Cinta itu ngeselin.
Cinta itu musingin.
Tapi, banyak perempuan (saya maksudnya) dengan sukarela menjebakkan diri ke dalamnya. Rela diperlakukan semena-mena seperti teman saya, rela berantem, rela cemburu, rela kangen nggak jelas, rela menyek-menyek.
Eh jadi ingat, dalam salah satu paparan(pertunjukkan)nya, Cozy Street Corner pernah memberi pengantar sebelum menyanyikan lagu 'Melata Hati' yang katanya adalah lagu bertema patah hati. Cuap-cuap kata pengantar ditutup oleh sebuah pertanyaan yang membuat beberapa teman mencolek-colek saya dengan pandangan jahil : "Udah tau putus cinta atau patah hati itu menyakitkan, kenapa juga masih adaaaaa aja yang mau untuk jatuh cinta?"
Waktu itu sih, saya juga terheran-heran, dan berpikir "Iya ya? Jadi ini, kesimpulannya: saya tolol apa gila ya?"
Saya pernah patah hati, dan rasa sakitnya melebihi rasa sakit digebukin orang sekampung (hiperbolaaaa), tapi ya itu, saya bisa lho jatuh cinta lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi... (hm, sebanyak itu? Well, nggak sih, kadang-kadang saya suka kecepetan nyimpulin perasaan- kadang-kadang juga nggak kesampaian :D). Eh iya deng daripada diprotes.... dan lagi.
Dan yang anehnya, nggak jarang saya -dengan dodolnya- kerap menjatuhkan cinta saya pada orang yang salah (kalau kata teman saya sih "Pinter lu, kayak keledai yang tidak pernah jatuh ke lubang yang sama, tapi jatuh ke lubang sebelahnya.) - lalu patah hati lagi, lalu sakit, lalu nangis, lalu..lalu dan lalu. Ketika disembuhkan dengan waktu, maka kembali saya jatuh cinta :)
*hela nafas panjang*
Yang kayak gini ini, nih, cocok banget dengan apa yang dikatakan oleh Max Stirner, bahwa cinta adalah sebuah bentuk ketergantungan yang masokistis.
Tanpa sadar, kita (saya maksudnya.hehe) semua adalah masokis, yang kecanduan untuk diperlakukan semena-mena seperti teman saya, rela berantem, rela cemburu, rela kangen nggak jelas, rela menyek-menyek, rela patah hati terus menerus.
Atas nama cinta.
*PJJ = Pacaran Jarak Jauh.
UPDATE 23 Agustus 2006 14.36 WIB :
Waduh! Entri yang ini mengundang salah interpretasi ternyata. Mulai dari Bapak Bison yang bertanya langsung pada pacar saya apakah ia melakukan hal yang buruk, sampai tiga pesan pendek dari teman yang bertanya apakah saya putus lagi.
Nggak kok, saya nggak disiksa (hehe), atau putus lagi, brantem pun enggak - sebaliknya saya sangat baik-baik saja, pokoknya aman padat merayap, lah! :D.
Btw, saya berasa jadi artis gindang, ngasih klarifikasi. Huahahahah.. =))