Hm, mari kita tinggalkan saja Mbak Monik Cantik dan orang iseng di belakangnya. Ngomong-ngomong, nggak kok, saya nggak marah padanya. Bo, secara tulisan saya dijiplak dan dipublikasikan dengan penuh dedikasinya selama setahun, getolooch, saya jadi merasa keren banget. Ditiru nggak apa-apa, saya masih punya kemampuan untuk bikin yang lain *belagu mode on*. Betul begitu bukan, Bu? ;-)
Dzigh.
Sekarang saya ingin menceritakan hal lain.
Sore tadi, saya bertemu dengan teman-teman jalan saya, dan kami mengobrol panjang lebar tentang....
m e n i k a h
Bagi kami membicarakan hal seperti ini, adalah sebuah ketumbenan (*alah! ketumbenan iki opo toh?*) mengingat kami adalah geng cewek-cewek penderita menikah-phobia atau bahasa kerennya Gamophobia. Topik ini terangkat karena kebetulan masing-masing dari kami, yang biasanya selalu berhubungan pria-pria-nggak-jelas-se-Indonesia Raya dalam komitmen, tiba-tiba dihadapkan dengan pria-pria serius nan jelas maunya apa.
"Apa kabar ya kalau gua menikah?" pertanyaan ini terlontar dan menjadi pemicu bagi kami untuk tiba-tiba berpikir. Dan kami pun saling berpandangan sambil cengar-cengir sendiri.
Kalau ditanya kenapa kami takut menikah, sebenarnya bukan permasalahan takut pada keterikatan, atau takut bosan karena melihat muka yang sama sampai maut memisahkan, bukan juga takut jadi babu keluarga - karena kami percaya, bahwa dengan menemukan partner yang tepat, maka hubungan pernikahan tidak akan menjadi menyebalkan.
Ketakutan kami lebih kepada takut kehilangan jati diri. Yup, bagi kami pernikahan adalah sebuah institusi sosial yang dilegalkan oleh agama dan negara, untuk menghilangkan jati diri perempuan.
Bayangkan, berawal dari menikah; seorang perempuan dalam status sosial akan kehilangan nama pribadinya dan melebur menjadi Ny.Fulan (kalau suaminya Fulan) atau Ny. Polan (kalau suaminya Polan). Apalagi setelah punya anak, di antara teman-teman sesama ibu-ibu di sekolah anaknya, namanya akan berubah menjadi Mamanya Fulan Jr, atau Mamanya Polan Jr.
Jadi siapa sebenarnya Ny. Fulan dan Mamanya Fulan Jr itu? Mungkin orang lupa.
Lalu banyak perempuan yang harus meninggalkan pekerjaannya, kegiatannya bahkan sampai minat-minat yang lain untuk ikut suami. Sekretaris pimpinan kantor saya yang menikah, mengundurkan diri karena harus ikut suami ke Surabaya. Ibu saya berhenti bertualang. Istri sepupu saya, dari guru Inggris penuh waktu menjadi penterjemah paruh waktu di rumah. Dan seterusnya.
Jadi apakah pekerjaan, kegiatan dan minat-minat Ny.Fulan?
Eh sebentar, Ny.Fulan? Yang istrinya Pak Fulan itu kan?
Nah lo, orang-orang juga lupa.
Maafkan kami, yang terlalu sering melihat contoh perempuan menikah yang salah (?), tapi kami melihat, ada kecenderungan bagi perempuan-perempuan yang menikah, setelah kehilangan jati diri pribadi, kemudian menjelma menjadi pribadi yang lain. Beberapa kali saya berkumpul dengan teman-teman saya yang sudah menikah, teman-teman yang dulunya sangat nyambung; tiba-tiba saya seperti tidak mengenal mereka lagi. Dulu, topik-topik yang kami obrolkan akan selalu menarik. Sekarang, setelah mereka menikah? Mereka semua berubah menjadi... ehm.. begitulah.
Yah, nggak bisa digimana-gimanain lagi, hal-hal kehilangan jati diri itu memang harus terjadi. Nggak lain dan nggak bukan, sekali lagi, karena menikah adalah sebuah institusi - yang katanya legal dan halal tapi sebenarnya dibentuk oleh masyarakat patriarki; yang salah satu tujuannya memang menghilangkan jati diri perempuan. Hm, kalau siap dikutuk oleh lingkungan yang berbasiskan budaya patriarki, mungkin kami akan memilih untuk memiliki hubungan setara dengan partner tanpa harus masuk dalam institusi tersebut (Tapi, sekali lagi, kami hanyalah perempuan biasa yang tidak tahan mental dikutuk)
Okay, dari perbincangan tentang nikah-menikah, kami sedikit bernostalgia.
Dulu kami pernah memarahi seorang pria, gara-gara pria itu berkata "Gua mau cari duit yang banyak, buat menjamin kehidupan anak istri gua nanti. Ntar kalo udah nikah, gua gak mau istri gua kerja. Cukup gua aja.Istri gua biar di rumah." Memang, pernyataan itu terdengar seperti pernyataan seorang pria yang sangat bertanggung jawab, tapi buat kami, hal itu salah. Kenapa? Karena tetap bekerja adalah salah satu cara untuk mempertahankan jati diri seorang perempuan, setelah ia menikah.
Ia bekerja sebagai dirinya. Ia menyelesaikan tugas sebagai tanggung jawabnya pada pekerjaannya.
Oh ya, dari pembicaraan tadi, kami bisa tahu bahwa sebenarnya dalam diri kami masing-masing masih menyimpan ketakutan-ketakutan itu. (Walaupun jujur, berhubungan dengan pria-jelas-maunya-apa-nasional itu juga memberi kami rasa aman dan nyaman)
Akhirnya di akhir pembicaraan, muncullah sebuah ide. Jika menjadi istri/ibu rumah tangga itu disamakan dengan pekerjaan, kenapa tidak ada hak cuti juga bagi para perempuan-perempuan menikah? Hak di mana ia diperbolehkan untuk jangka waktu tertentu menjadi dirinya sendiri, terlepas dari predikat Istrinya si Fulan atau Mamanya si Fulan.
Eh, tapi kalau punya anak, susah kali ya ditinggal-tinggal?
Ya sudah, anaknya di bawa, tapi suami ditinggal, deh.
Karena kami (para menikah-phobiaist) semua memiliki gairah yang sama untuk berjalan-jalan, maka - sambil bercanda, kami merumuskan sebuah perjanjian pra-nikah sebelum kami menikah (kalau ternyata memang jalan hidup kami menikah). Hanya satu pasal, tidak ada sangkut pautnya dengan permasalahan harta gono-gini, yaitu : diizinkan 1 - 3 bulan jalan-jalan sendiri, kalau sudah punya anak, ya anak dibawa. Suami nggak boleh ikut. Titik.
:D
Recent Artworks in Gallery
Recent Posts in Blog
0
komentar