Dani.Bocah itu baru berusia tujuh tahun, bersuara sangat nyaring memekakkan telinga. Kadang saya mengomelinya "Dan, Mbak ndak budeg,lho.. kamu nggak perlu teriak-teriak..." – dan dia kemudian menyeringai memamerkan jendela-jendela ompong di barisan gigi susunya.
Kali itu, di suatu siang yang luar biasa gerah, anak-anak warga, termasuk Dani mengelilingi saya dan June, rekan seperjalanan saya, yang sedang duduk bersisian di bawah tenda terpal bagian logistik untuk mengaso sejenak setelah lelah berjalan mengunjungi rumah-rumah warga. Kami hanya mengobrol dan sesekali bermain tebak-tebakan ilmu pengetahuan ("planet terakhir bernama apa?" atau "Planet yang memiliki cincin namanya apa?")
Dani menjawab asal, ("Demit" atau "Entut"). Saya memperhatikan bocah itu yang masih kekeuh tidak mengecilkan volume suaranya. Pipi Dani, dekat mata lebam berwarna kebiruan. Matanya pun masih merah. Saya tahu apa yang menyebabkan demikian.
"Masih sakit?" Tanya saya
"Ndak.. aku kan anak laki-laki, kuat." Dani berkata dengan sombong.
"Kata ibu suster udah sembuh belum?" Tanya saya lagi.
"Udah."
Baru saja saya hendak mengajukan pertanyaan berikutnya, tiba tiba Dani berkata "Mamakku mati, Mbak.. keurug rumah."
Saya tersentak. Iya, saya sudah tahu dari cerita orang-orang, bahwa ibunda Dani adalah salah satu korban meninggal dalam peristiwa 27 Mei 2006 kemarin, tapi mendengar cerita itu dari bibir Dani sendiri membuat saya merinding.
"Dani masih sedih Ndak?" Tanya saya.
"Ndak.. anak laki-laki ndak boleh cengeng…" Dani menggeleng, tapi mimik ceria di wajah bocah itu telah pudar.
June meraih Dani dengan lembut.
"Aku juga wis ora nduwe (=sudah tidak punya) Mamak, Dan…" seru June, berusaha berbahasa Jawa.
Hati saya tersayat. Saya tahu Ibunda June telah meninggal dunia, beberapa tahun yang lalu, tepat di hari ulang tahun June.
"Tenanan(=sungguh)?" Tanya Dani.
"Tenanan…"June mengangguk.
“Ora ngapusi(=nggak bohong)?”
“Ndak…”
“Kangen ndak sama ibu, Mbak?” Tanya Dani polos.
“Kadang-kadang kangen.”
“Aku juga.” Dani menunduk.
Kembali saya merinding, mata saya memanas. Saya masih memiliki ayah dan ibu, lengkap. Bagaimana jika kehilangan seperti ini terjadi pada saya? Mungkin saya tidak akan sekuat Dani atau June. Saya sangat mencintai ayah dan ibu saya.
Saat itu juga, saya ingat bahwa saya belum menghubungi mereka sama sekali sejak saya tiba di sini.
"Tapi, Mbak.. kata Mbah’e, aku ndak boleh sedih, Mamak wis dipundhut Allah SWT, saiki mamak wis ono neng swargo (= sudah diambil Allah SWT, sekarang Mamak sudah ada di surga).." Dani tersenyum.
"Iya, mungkin mamak kita lagi ketemu di surga sana.." June membalas sambil tersenyum sangat manis.
Air mata saya berlinang. Terburu saya menjauh, mengambil ponsel yang saya simpan dalam kantung celana cargo, dan mendial nomor ayah saya.
Terdengar nada sambung, dan beberapa jenak kemudian, suara ayah.
"Mbak? Kenapa nelpon? Kamu kenapa? Nggak apa-apa kan? Katanya di sana ada gempa-gempa susulan?" bertubi-tubi ayah menyerang saya dengan pertanyaan. Ia terdengar sangat panik.
"Nggak, aku baik-baik aja Pah… Cuma mau bilang, aku sayang Papah…"
"Oh.."
"Lagi di rumah?"
"Iya.."
"Mamah ada di sana?"
"Ada…Sebentar"
"Ya, Mbak?" itu suara ibu.
"Aku sayang mamah, banget."
"Oh.."
Untuk semua anak-anak yang orang tuanya sudah berada di surga.