Gara-gara melihat saya tidak pernah menolak satu tawaran pekerjaan pun (beberapa tahun yang lalu, saat saya memutuskan untuk tidak bekerja kantoran), seorang kawan menjuluki sebagai superheroine.
Tapi kalau dipikir-pikir, gila juga, semua saya kerjakan; dari merancang web, menyunting film sampai mendesain seragam pelayan restoran Sunda, menulis artikel feature untuk majalah atau koran. Kawan saya itu malah menambahkan julukannya dengan : serba bisa.
Saat itu, saya hanya tersenyum saja, dan menyembunyikan rahasia kecil, agar citra superheroine serba bisa itu tetap terjaga. Senyum bangga juga saya lakukan ketika beberapa orang menjuluki saya dengan komentar senada. Tapi, karena sudah lewat bertahun-tahun, yah ada baiknya saya mengaku saja, sebenarnya saya tidak serba bisa. Satu-satunya alasan yang membuat saya menerima pekerjaan-pekerjaan itu adalah : BU (Butuh Uang) bo!
Jadi begini, contohnya ketika saya menerima tawaran pekerjaan menyunting film, sebenarnya menyentuh perangkat lunak yang berhubungan dengan sunting menyunting film pun belum pernah. Jika diberi tenggat waktu 1 minggu, maka baru malamnya saya mengunduh perangkat lunak yang diperlukan, 3 hari mempelajari cara kerjanya dengan membuka menu pertolongan yang tersedia (atau jika ada tutor baik hati, maka saya memaksanya untuk mengajarkan saya), baru sisanya saya mengerjakan pekerjaan itu.
Kesimpulan yang saya dapatkan adalah : semua orang bisa menjadi superheroine, ketika terpaksa. Pepatah 'alah bisa karena biasa' seharusnya diganti dengan 'alah bisa karena butuh'.
Oh ya, gara-gara dijuluki demikian, selama beberapa waktu saya menjadikan 'freelance superheroine' sebagai jawaban favorit ketika ditanya "apa pekerjaan kamu?" - termasuk di akun friendster saya. (tapi kini sudah diganti menjadi 'full time autistic life enjoyer witch, gara-gara Mbak Dolly menaruh demikian di lembar kontributor sebuah majalah).
Ngomong-ngomong, sampai sekarang, karena (puji Tuhan) sejauh ini saya selalu mampu menghadapi, mengerjakan dan menyelesaikan banyak tantangan, saya tetap merasa bahwa diri saya superheroine; bukan hanya soal pekerjaan, tapi benar-benar apa pun- secara umum.
...
Tadi sore, saat saya sedang menikmati makan siang bersama seorang teman yang ingin curhat soal percintaan (huhuy, seperti kehidupan percintaan saya berlangsung lancar saja :D. Tapi, Nin - kalau kamu baca ini - semoga apa yang saya katakan tadi bisa membantu kamu), tiba-tiba saya mendapat telepon dari Mbak Dita nan Keriting, sahabat saya semasa kuliah.
Katanya ia lagi di Bandung, dan ingin bertemu saya. Langsung saya iyakan, karena terakhir saya bertemu dengannya adalah di pemakaman sahabat kami.
Seusai sesi curhat percintaan, Mbak Dita datang. Karena tidak tahu mau kemana, akhirnya kami memutuskan untuk berkaraoke-nggak-jelas di sebuah tempat karaoke di bilangan Ir.H.Juanda.
Hati saya riang gembira, sampai tiba-tiba saya melihat sosok yang saya kenal datang dari arah yang berlawanan. Dia. Dia yang pernah membuat hati saya sakit.
Saya tertegun....
Lalu menghampiri dia sambil membawa cutter lalu menoreh wajahnya, kemudian membaluri luka segarnya dengan ramuan cuka (1 sendok teh), garam (2 sendok teh) serta jeruk nipis (2 sendok teh), sambil bernyanyi "Genjer-genjer" dan mengenakan kutang hitam.
Ehm, cut! :)
Tenaaaang, saudara-saudara!
Saya cuma berimajinasi.
Yang saya lakukan hanya tertegun, lalu berkata "hai!" sambil tersenyum sangaaaat palsu. Saya buru-buru berlalu, menghindari interaksi yang terlalu lama dengan dia (daripada tiba-tiba muncul niat untuk mewujudkan imajinasi saya,kan?)
Selama beberapa detik kemudian, seluruh badan saya rasanya panas, hati saya bergolak marah (tsah!),ingin rasanya saya berlari pada dia untuk memaki-makinya ( tapi sayang *atau untung?* banyak orang). Mbak Dita sampai bingung. Tapi akal sehat kembali menguasai, saya berpikir - ngapain juga Minggu sore yang menyenangkan dirusak oleh satu orang dia-yang-tidak-penting itu?
....
Selama beberapa saat, setelah berpisah dengan Mbak Dita, saya jadi banyak berpikir. Ternyata, saya bukanlah superheroine. Saya pikir, saya bisa menghadapi, melakukan, menyelesaikan bahkan menguasai semua hal, tapi tidak.
Saya belum bisa dengan mudahnya memaafkan orang-orang yang pernah menyakiti saya. Itu 'penyakit' saya dari dulu, padahal beberapa tahun yang lalu, saya pernah berikrar untuk belajar dari Abitu, seorang anak kecil yang dengan mudahnya memaafkan saya atas apa yang sudah saya perbuat.
Ternyata saya hanyalah manusia biasa, punya rasa punya hati, jangan samakan dengan pisau belati. :)
*hela nafas panjang*
Tapi, sungguh - saya masih ingin belajar untuk memaafkan, baik orang lain, maupun diri sendiri. Ada keurseusnya nggak sih? :)
Selamat memasuki minggu baru.
Recent Artworks in Gallery
Recent Posts in Blog
0
komentar