Seorang teman baru aja balik setelah nyaris satu tahun bertahan di Nanggroe Aceh Darussalam untuk sebuah misi sosial. Dia (dan organisasi yang diikutinya) menangani anak-anak pasca tragedi tsunami Desember 2004 kemarin. Ngedengerin ceritanya bikin gue geli, karena banyak kejadian-kejadian kocak, tapi lebih banyak lagi cerita-cerita yang bikin gue trenyuh.
Dia cerita soal metode penyembuhan dengan bercerita. Gue bingung denger kata-kata itu.
Apaan sih metode penyembuhan dengan bercerita?
Ternyata, itu salah satu metode yang ada dalam program organisasi tersebut. Kata dia, itu adalah semacam sesi, di mana dia (dan para konselor atau pendamping anak lainnya) duduk di tengah-tengah sekumpulan anak NAD, terutama yang kehilangan banyak anggota keluarga, di sana mereka berusaha untuk bikin suasana senyaman mungkin,sampe-sampe semua anak terpancing untuk menceritakan penderitaan, perasaan dan ketakutan-ketakutan mereka.
Karena kecenderungan anak-anak adalah menjadi tertutup kalau mengalami trauma, maka mereka membuat kelas sendiri, namanya art and story telling class
Di art class, mereka disuruh untuk menggambar, dengan dasar pemikiran bahwa menggambar itu selalu menjadi medium terjujur bagi anak-anak untuk mengemukakan pendapat (nggak seperti orang dewasa, yang menggambar itu udah dimuati nilai-nilai lain, mulai dari pamer skill sampe jualan.), sedangkan untuk story telling, topik dari dongeng harus selalu menyamankan perasaan dan juga memberi harapan.
Ketika anak-anak itu disuruh menggambar, mereka kebanyakan menggambar sebuah kota yang rusak, ombak besar, gelimpangan orang-orang, kapal tenggelam dan lain sebagainya. Kalau sedang menggambar begitu, para pendamping biasanya mulai mencoba untuk berkomunikasi, banyak nanya. Nah dari situ, biasanya anak-anak mulai bertangis-tangisan dan keluarlah seluruh ketakutan-ketakutan mereka, tentang kehidupan masa depan, kesendirian, kangen dan lain-lain. Teman gue, si lembut hati ini, gak jarang jadi ikut nangis.
"Pokoknya, setiap abis sesi, mata gue bengkak aja!" ceritanya kocak.
Waktu gue denger ceritanya, gue terheran-heran, bukannya nggak baik untuk terus menerus mengingat-ingat hal yang menyakitkan? Kapan mereka sembuhnya kalau terus menerus diingetin dalam sesi itu? Gue sangat percaya, bahwa 'kita adalah apa yang kita pikirkan', kalau dalam menyikapi hal yang menyakitkan kita bilang 'kita baik-baik aja', maka baik-baik ajalah, kita.
Itu gue kemukakan ke temen gue, dan tau jawabannya apa?
"Kamu salah. Justru yang paling penting adalah mengeluarkan seluruh penderitaan dari dalam diri anak-anak, jangan sampai mereka menyimpan duri-duri dalam hati, jangan sampe mereka bertumbuh jadi anak dengan trauma. Caranya ya itu, dengan membuat mereka bercerita."
"Gitu ya?"
"Terus, yang paling penting lagi, kita ngebuat itu dalam kelompok, supaya mereka bisa saling berbagi dan menguatkan. Coba deh, ada anak yang spontan meluk anak yang lagi cerita bahwa ia kehilangan seluruh anggota keluarganya."
"..."
"Yup, segala bentuk penderitaan, kesakitan dan ketakutan itu harus dibagi, dikeluarkan sampai hilang. Udah 10 bulan berlalu, sejak peristiwa tsunami, dan itu belum cukup."
"...."
"Ohya..., sekecil apapun penderitaan itu, jangan disimpan. Itu kayak duri, yang lama-lama bisa bikin infeksi. Kalo nggak dikeluarin, lukanya lama sembuhnya."
"...."
"Jujur sama diri sendiri aja, ceritain semua dengan orang yang membuat kamu ngerasa nyaman. Ga usah sok kuat." dia mengerling.
Tiba-tiba gue kayak digetok.
Berarti selama ini gue salah dong?
Gue selalu berpikir, "kamu adalah apa yang kamu pikir.", so, hanya dalam hitungan jenak setelah kehilangan yang gue alami beberapa bulan yang lalu gue selalu bilang "hey, it's okay, I'm alright, I'm just fucking fine.." dan gue menganggap bahwa gue itu udah baik-baik aja. Dengan bangganya gue bilang 'Please deh, masa sih, kehilangan kecil doang bisa bikin gue ngedrop? hey i'm too strong and too smart for that'. Dan setiap ada yang mencoba untuk berempati gue malah bilang "helloo.. gue baik2 aja kok, lo ngapain sih sok concern kayak gitu ma gue?". Jujur aja, gue malu untuk bilang kalo gue 'nggak baik-baik aja'.
Setelah gue pikir-pikir....
Well, yep, tho i always say i'm a super-heroine, ternyata gue gak sesuper itu. hihihih... (Pst, temen gw yang ini lagi nemenin gw posting, dia senyum-senyum sendiri trus barusan bilang, 'lo tuh superheroine berhati michael bolton.' Sial! hihihihi..). Sejujur-jujurnya, gue ga baik-baik aja tuh. Kadang-kadang rasa-rasa tai setelah ditinggal masih suka ngeganggu. Itu bikin gue marah sama dunia, sampe sekarang.
Ehem, mungkin gue harus mulai blajar untuk jujur dan gak pura-pura kuat lagi to speed up the recovery.
Anyway, at the moment, gue baru ngerasa bahwa punya dan berbagi bersama teman itu menyenangkan, dan sangat bersyukur punya 3 temen temen baik : ibu ini, mbakyu [mh] dan tante ini. Sayang salah satunya jauh, padahal kita rutin ketemu seminggu sekali dan ngobrol banyak..... udah kayak ritual persaudaraan aja, namanya Sisterhood of how-to-use-tampon. Alah!
Recent Artworks in Gallery
Recent Posts in Blog
0
komentar