Batavia, Januari 2005
Dear Haba,
Sudah seharusnya gue turut berbahagia dengan berita kalo elo akan menikah, mungkin tahun depan.Tapi rasanya bener-bener sedih menyadari kalo hari-hari petualangan kita ternyata benar-benar telah usai.
Bahwa kehedonan masa muda telah sampai pada puncaknya tahun 2003 yang lalu, dan sekarang kita mesti bersikap dewasa dan berjalan ke masa depan.
Gue juga tahu bahwa sudah mestinya gue berhenti berangan-angan akan kantor kecil dan kehidupan sederhana kita di Lospalos.
Juga berhenti mengkhayalkan rencana petualangan berikutnya di pulau-pulau indah terpencil yang selalu kita bicarakan.
Memang sudah seharusnya kita menghadapi kenyataan dan tidak lagi berlari dan main kejar-kejaran dengan waktu dan tanggung jawab komitmen kita pada pacar-pacar.
Tapi malam ini gambaran-gambaran itu kembali lagi, Ba, kayak film layar tancep yang sangat jelas.
Gue inget kita nyanyi-nyanyi parau di tengah perjalanan Dili-Lospalos, Lospalos-Dili. Bener-bener bebas, lepas. Sebodo teuing dengan yang lain, pokoknya hati kita mau terus senang. Kayaknya kita bener-bener menikmati hidup, karena kita mencintai apa yang kita kerjakan dan mencintai hidup penuh semangat dan kebebasan kita itu. Ah, betapa nikmat.
Setiap lagu-lagu bernada fals itu akan selalu nyaman di hati.
Lalu gue teringat kembali malam-malam sharing vulgar yang bikin terbahak-bahak dan sharing 'dalem' yang bikin marah, menangis, baikan dan ketawa-ketiwi.
Juga kaki yang bercap sendal jepit karena kita terus terjemur matahari untuk nyuci dan nimba air.
Always Misutgaru, susu plus Pao (dan Deho kalo lagi ada rejeki) di pagi hari. Namun kita gak pernah bosen, karena waktu sarapan pagi bisa jadi alasan bermalas-malasan sambil ngobrol ngalor-ngidul.
Suatu sore yang sendu kita pernah nongkrong dalem mobil di depan Lita Store, melepas rindu dengan obrolan berat karena udah lama banget gak ada kesempatan curhat-curhatan (ini akibat si nona pengintai kita). Lalu kita mulai khawatir bahwa kenikmatan yang kita alami gak akan segera berakhir.
Tengah-tengah malam di pantai Areia Branca, kita bertrio dengan Mas Anton(io). Hehehe. Juga begadang plus nginep di studio Sahe setelah nonton plus ngobrol sampe teler dengan dua bujang lapuk.
Kemudian rerumputan yang berwarna keemasan di bulan Juli, dan bukit bebatuan kokoh yang membuat senyum kagum gak habis-habisnya mengembang di wajah-wajah terbakar kita.
Dan lautan dahsyat berwarna-warni luar biasa yang selalu menawan hati kita, dengan ikan-ikan indahnya yang bikin kita makin betah di pantai.
Betapa kita seperti ombak yang selalu bebas bermain. Kita kerap terpesona pada pantai dan karang namun enggan berlabuh.
Begitu sayang bahwa masa muda itu ternyata singkat adanya. Akhirnya memang kita mesti menyerah dan mesti tumbuh dewasa. Gue hanya tidak mengira, akan sesingkat ini masa petualangan kita.
Aduh, sedih sekali ternyata.
Namun, dengan tulus, Ba, gue turut berbahagia buat elo.
Be happy, girl! I'll pray for you.. as always.
VIVA JUVENTUDE!!!
PROBLEMA BOTT LA IHA PROBLEMA!!!
VIVA SIMAMORADJAHABA!!!
Why does everyone have to go?
Why it has to be you?
I believe this friendship is one in a million.
I will not find a friendship like the one we have here.
Thank you for giving me a chance to be myself and speak my minds out without hesitate.
Thank you for sharing so many wonderful times with me. Sharing thoughts, laughs, tears, doubts, secrets and love.
Thank you for staying with me in good and bad times (please remember that we also had our private fight club in Lospalos..hehehe)
Promise me to reach out for your better future and be happy.
Cause you deserve all the happiness in the world.
Promise not to feel hesitate to ask for my help if you need one (even though you never call or mail me for years because you're so busy with your five children... Hehehehe).
Cause friendship and sisterhood will never die no matter what.
Remember that!!!
I will pray for you always, my dearest friend.
Let us meet again in a very special moment to share again our story of life.
Someday.
Love you, sistah.
God bless you, my dear sister, my sweet best friend
Jesus loves you always,
-ls-
Baru saja saya membaca entry ini di blog salah seorang teman perjalanan yang menyenangkan, tempat saya berbagi kegilaan dan angan-angan tentang masa muda, berpetualang, berbagi tangis, bahagia, gundah dan harapan dengan mereka di sana.
Di tempat itu kami pernah meninggalkan kepingan hati, membuat kami terus menerus ingin kembali. Banyak orang yang tidak mengerti bahkan menganggap kami konyol. Saya 'terpaksa' mengiyakan ketika ada salah seorang rekan yang bertanya "Kenapa sih kamu begitu terobsesi dengan Timur? Pacar kamu di sana ya?", karena saya tahu walau sekeras apa pun saya menjelaskan, tidak akan ada yang mengerti.
Posting itu membuat saya menangis. Itu membuat saya sedih.
Sama sedihnya seperti dua tahun yang lalu, ketika Haba datang pada saya sambil berkata "Gue balik lagi, jadi volunteer ke Leste tercinta, sama Nita.". Dan saya tidak bisa berkata apa-apa kecuali "Good Luck" dan memendam rasa iri yang mendalam.Tapi, saya tidak bisa pergi. Ada tanggung jawab yang tidak bisa ditinggal.
Hey kalian berdua, saya selalu iri pada kalian yang sempat lebih lama merasakan perjalanan penuh petualangan dan pengalaman. Itu sebabnya, setiap kalian bercerita, saya selalu protes "Daaaaaaamn! Harusnya gue ada di sana!!!!".
Dan, tahu nggak, saya menangis semalaman ketika menerima surat dari kalian, dititipkan pada seorang sahabat, surat yang memuat tulisan miring-miring dan berbercak-bercak tinta , karena pasti kalian menulis surat itu dalam keremangan malam akibat listrik yang tidak masuk desa.Kalian bilang "Coba kalau loe ada di sini,Ke..."
Sejak itu, saya selalu berikrar, suatu hari - saya akan berpetualang, akan lebih menyenangkan lagi jika bertiga. Entah kapan. Jujur, ikrar itu terasa seperti hutang bagi saya
Sama sedihnya seperti awal tahun ini, ketika saya pikir, bisa melunasi hutang dengan pergi ke Nanggroe Aceh Darussalam menjadi relawan, ternyata tidak. Saya memiliki tanggung jawab yang harus dibereskan dan ternyata Nita pun memiliki permasalahan yang sama.
Nit, inget nggak sih, betapa kita berdua mengutuki tanggung jawab terhadap pekerjaan masing-masing saat kita bertemu? Dan kita terheran-heran pada diri kita "Kenapa ya kita nggak bisa bilang 'bodo amat!'?"
Bahkan sama sedihnya seperti 10 hari perjalanan sekedar liburan September kemarin, ketika saya pikir, hutang itu akan terbayar - walau hanya sejenak, dan tidak tepat seperti yang kami inginkan. Rancangan mengunjungi pulau-pulau, berenang di pantai sampai puas serta temu kangen dengan orang-orang baik itu sudah dibuat sejak berbulan-bulan sebelumnya, tapi ternyata Nita berkata bahwa ia tidak bisa ikut, ada hal-hal yang harus diselesaikannya.
Nit, padahal waktu itu saya sudah berusaha keras untuk membujuk kamu, bahkan saya bilang "Yakin, nggak mau ikut? Pasti nyesel deh...", dan kamu bilang, kamu tahu akan menyesal, tapi apa boleh buat. And you know what, ketika kamu bilang akan mengejar saya di bandara untuk menitipkan surat dan barang untuk Haba, saya benar-benar menunggu kamu dengan niat busuk, saya akan membujukmu pergi, siapa tahu kegilaan mendadak itu muncul tiba-tiba dan kamu membeli tiket lalu kita terbang bersama. Ternyata kamu sibuk.
Sampai sekarang saya selalu menyalahkan keadaan yang selalu tidak berpihak pada saya (dan kami, mungkin, jika ke-dua sahabat saya itu merasakan hal yang sama).Why? Why oh Why? Kenapa susah sekali untuk terus menerus menikmati masa muda dengan hal-hal seperti itu?
Saya sempat menyalahkan tuntutan sosial yang terpaku pada konvensi norma dan nilai-nilai bahwa hidup yang layak adalah hidup yang mapan, punya pekerjaan jelas dan seterusnya.
Dan tuntutan itu bertambah ketika saya semakin tua. Saya, 28, sudah terlalu sering orang-orang di sekitar saya menegur agar saya mulai memilih semua yang mantap.
Soal pekerjaan yang mantap : mereka ingin agar saya bertahan bekerja tetap dan kantoran agar mendapat jaminan dan uang bulanan tetap.
Soal keamanan finansial : mereka ingin agar perspektif saya tentang 'menabung untuk masa depan/jangka panjang' dirubah. (Yup, masa depan/jangka panjang versi saya adalah tahun depan, ketika saya bisa kembali melakukan perjalanan, sedangkan versi mereka adalah jangan habiskan uangmu untuk perjalanan setiap tahun, mulailah berhenti berpetualang dan menyicil rumah dan seterusnya, which is itu terlalu jangka panjang untuk saya...)
Soal pasangan hidup : mereka ingin agar saya tidak terus-terusan mendalami bakat 'menarik, tertarik, meninggalkan dan ditinggal pria-pria nggak jelas yang bakal membawa masalah dalam hidup.'
Dulu saya pikir, saya dan kedua teman saya ini tidak akan pernah berhenti bertualang. Semua yang mantap adalah jatah cara hidup orang lain - bukan kami. Kami tercipta untuk hidup sangat menikmati masa muda, berpetualang, berbagi tangis, bahagia, gundah dan harapan dengan mereka di sana.
Tapi, seiring dengan berlalunya masa, kami - tanpa sadar- terbawa masuk ke dalam cara hidup yang bukan jatah kami : Nita mulai mempunyai pekerjaan tetap, Haba berencana menikah,bahkan saya pun mulai merasa bahwa lambat laun saya mulai berkompromi, mengamini bahkan masuk ke dalam lingkaran setan nilai-nilai mantap itu.
Tiba-tiba saya takut. Takut sekali.
Saya takut untuk mengakhiri semua kesenangan, kejayaan dan petualangan ini dan kemudian hidup 'mantap'.
Dan lebih takut lagi, jika saya melakukannya tanpa sadar, hanya karena terbawa lingkungan.
Haruskah?
Haruskah saya masuki semua yang disebut mantap itu? Tidak bisakah saya (dan kalau bisa, mereka) terus-terusan hidup dengan cara yang kami inginkan, bergabung dengan mereka?
Hm... Mungkin memang harus.
Mungkin memang ada waktunya untuk menyerah.
Tapi, saya harus melakukan banyak hal sebelumnya - untuk melunasi hutang.
Dear you both,my beloved sisters in Christ : If I ask you to have another journey one more time before we get in to the next stage of life, will you both come with me?