0
komentar
Setelah 5 tahun memiliki SIM dengan foto bengong-super-jelek (Heran, kenapa para polisi itu nggak mengenal aba-aba '1..2..3' sebelum motret ya?), akhirnya SIM keparat itu habis masa berlakunya, dan saya membuat SIM baru hari ini. Cihuy!
Ibu ini benar sekali, semua perempuan itu ingin terlihat indah kalau difoto, bahkan untuk foto KTP, SIM dan Passport (semoga ada polisi dan petugas di imigrasi yang membaca entry ini, sehingga mereka sadar bahwa memberi aba-aba '1..2..3' itu PENTING!) - maka saya pun, sebagai perempuan (alah!) sudah bertekat, foto SIM kali ini harus terlihat bagus, atau saya akan menderita selama 5 tahun ke depan.
Sewaktu giliran untuk dipotret tiba, saya sudah menyiapkan diri sesiap-siapnya, bahkan sejak menduduki kursi plastik pun saya mencegah agar mimik saya tidak bengong.
"Ya! Menghadap ke kamera..." kata petugas.
Trrtt...trrrt.
Aduh! Aduh! Ponsel saya bergetar di dalam kantung celana. Aduh.
Cekrek.
Saya difoto! Dan hasilnya.... tetap bengong-super-jelek. Sial! Terkutuklah wahai kamu yang menelepon saya saat saya siap difoto untuk SIM.
....
By the way, si terkutuk yang menelepon saya ternyata adalah seorang teman. Ia meminta saya untuk meminjamkan sejumlah uang karena sang istri, yang baru dinikahinya selama sebulan sakit, dan dia sama sekali tidak mempunyai uang untuk ke dokter.
Wah, ini kasus darurat. Setelah SIM saya selesai (kurang lebih 2 jam setelah difoto, My oh my) saya segera ke tempat kost mereka yang sama sekali belum pernah saya sambangi. Sepanjang perjalanan, saya agak heran, bagaimana mungkin ia tidak mempunyai uang sama sekali?
Saya tiba di tempat setelah dipandu melalui ponsel dan dijemput di ujung gang.
Ketika benar-benar sampai, sungguh saya terpukau akan keadaan tempat kostnya. Ruangan itu berukuran 4 x 4 meter, nyaris kosong, hanya ada satu kasur, sebuah meja dan sebuah lemari plastik. Ventilasinya buruk, membuat ruangan terasa lembab.
Sang istri terbaring di atas kasur, pucat.
"Bo! Lu ga bisa cari tempat tinggal yang mending,apa?" tanya saya.
"Gak cukup duit gue." jawabnya.
Ouch, kenyataan yang menggigit.
...
Saya ingat, sebulan yang lalu, mereka mengadakan resepsi pernikahan ala pesta kebun di halaman sebuah gedung pertemuan yang cukup mewah. Teman saya ini menikah menggunakan cara internasional, sang pengantin perempuan terlihat cantik dengan balutan baju pengantin bermodel off shoulders dan berwarna broken white.
Nuansa putih mendominasi pesta resepsi itu, sungguh sangat indah, betapa kontrasnya warna hijau rerumputan dipadu dengan warna putih tenda, meja prasmanan, panggung wedding singer, gerai-gerai makanan, pelaminan bahkan bunga-bunga dekorasi.
...
"Kok bisa nggak punya uang?" tanya saya.
"Tabungan kita abis buat resepsi kemarin. Lagipula masih ada hutang juga ke bank"
"Hutang untuk?"
"Ya resepsi itu. Uh, gue pikir nabung lagi setelah nikah gampang, ternyata enggak, banyak banget kebutuhan-kebutuhan mendadak gitu deh. Ya seperti sekarang ini.... duit abis, eh, dia sakit."
Saya terperangah. Pesta mewah itu ternyata dibiayai dengan hutang, dan ketika pernikahan yang sebenarnya berjalan, pasangan suami istri tersebut bukannya memulai hidup dengan bahagia dan aman, tapi malah harus sibuk memikirkan hutang akibat resepsi.
Ini aneh.
"Gue heran. Ngapain sih pesta besar-besaran kayak kemarin? Kan uang yang kalian pakai,tabungan kalian, bisa jadi modal hidup?"
"Abis gimana, orang tua kita pengennya begitu."
Waah, orangtua yang aneeh. Tapi saya sama sekali tidak berkomentar. Ia membopong istrinya ke mobil saya dan kami sama-sama pergi ke rumah sakit. Bedasarkan diagnosa dokter jaga, ternyata sang istri sakit typhus.
Sungguh deh. Kadang-kadang saya nggak ngerti, apa sih pentingnya resepsi besar-besaran hareee geneee ?
Kalau mereka berasal dari keluarga yang memang mampu jor-joran untuk itu, beda masalahnya. Tapi ini? Seperti mereka? Resepsi mewah, lalu ketika memasuki kehidupan berumah tangga sebenarnya hidup sulit. Sungguh ironis.
Duh, acara seperti itu kan hanya memberi makan orang banyak yang belum tentu dekat dengan kita - hanya sebatas kolega orang tua, teman di sini, teman di situ bahkan, memberi makan para penjahat-penjahat kawinan tidak diundang yang hanya bermodalkan baju batik dan amplop berisi uang yang tidak seberapa. Benar-benar nggak balik modal! (kecuali jika orang tua pengantin adalah petinggi perusahaan BUMN, dan yang diundang adalah para pejabat seperti yang terjadi pada resepsi boss ayah saya, pasti balik modal, TAPI itu tetap saja aneh, pernikahan kok jadi ajang jual beli!).
Apa sih yang sebenarnya ada dalam otak mereka? Maksud saya, pernikahan itu kan bukan hanya resepsi saja? Apa mereka nggak mikir ke depan? Hhhh... kadang-kadang, saya berpikir bahwa resepsi mewah benar-benar menghilangkan esensi pernikahan yang sebenarnya.
Au ah, saya kan belum pernah menikah? :D
.....
"Terima kasih ya! I owe you one.." serunya ketika kami sudah sampai di tempat kost.
"Sama-sama... tapi..."
"Ya?" ia menoleh.
"Lo harus tanggung jawab, gara-gara telepon lo, foto SIM gue jelek lagi!"
"Ha?"