"universe will take care of us".
Begitu kata seorang sahabat di daratan Eropa sana. Ia menambahkan bahwa kita tidak perlu khawatir akan hari depan kita, karena manusia itu adalah mahluk yang dikaruniai akal budi yang bisa dipergunakan untuk mencari cara untuk bertahan hidup.
Baginya, selama ia masih punya akal budi dan tahu menempatkan diri, pasti ia akan survive di mana pun itu. Malah ia sempat berkata jika suatu saat ia merasa tidak mampu bertahan, ia tidak akan mengeluh sedikitpun, karena yang salah bukan jagad, tapi dirinya sendiri.
Itu sebabnya dia selalu pergi, kapanpun hatinya meminta. Keliling dataran Eropa, ke Afrika, Ke Australia, Ke Asia (bahkan, Nembrala pun saya tahu dari dirinya.), ke sana, ke mari. Tidak bisa ditebak. Tahu-tahu saya sudah menerima kartu pos yang menunjukkan tempat di mana ia sedang berada.
Waktu dia berkata seperti itu, saya hanya bisa tertawa. Duh, apa kabar jika saya nekat pergi tanpa pegangan apapun ya? Lalu apa kata lingkungan sosial saya?
Dia bilang, saya bukan traveler, tapi turis. Saya kekeuh bertahan, menganggap diri saya traveler sejati, low-budget and low maintenance traveler, malah! (hihi, please deh.)
Sampai suatu saat, saya bertemu dengan seseorang.
"Shalom, Nona." suara itu mengejutkan saya yang sedang membantu dW , seorang sahabat yang lain, memindah-mindahkan file MP3 ke dalam laptopnya. Sang empunya sendiri sedang mandi sore, karena kami akan pergi mencari makan malam di luar.
"Eh, shalom.." saya menoleh, seorang laki-laki timur, yang baru saja saya kenal semalam yang lalu, setibanya saya di Kupang. Sebelumnya kami sama sekali tidak pernah bertemu, bahkan dalam perjalanan ke timur saya juga tidak pernah melihatnya.
Laki-laki itu duduk, meraih remote control televisi dan memindah-mindahkan channel.
"Kakak baru ya di sini?"tanya saya tanpa memindahkan tatapan dari layar laptop.
"Sonde. Su lama." jawabnya singkat.
"Kok saya nggak pernah lihat ya?"
"Saya dua tahun jalan-jalan."
"Ada kerjaan?"
"Sonde, jalan-jalan sa.."
Wah, laptop segera saya tinggalkan, perhatian saya tertuju sepenuhnya pada laki-laki ini. Kesan pendiam saat kami baru bertemu segera luruh ketika ia mulai bercerita tentang apa yang dialaminya dalam perjalanan, di Sulawesi, di Maluku, di Papua dan seterusnya.
Saya hanya bisa menganga bak orang bodoh.
"Neng, yuk pergi.." tiba-tiba dW keluar dari kamar mandi, sudah berpakaian lengkap. Siap pergi.
Arrgh.. padahal saya masih ingin mendengar cerita laki-laki itu.
"Okay, Nyong." seru saya, "Ya sudah, kami jalan dulu,kakak." saya pamit pada laki-laki itu. Ia hanya tersenyum sekilas, sambil terus menatap acara binatang afrika di channel animal planet.
Dan kami pun pergi, mencari makan malam, di terminal kota Kupang, yang pada siang hari difungsikan sebagai tempat kendaraan umum memuat dan menurunkan penumpang, pada malamnya berubah menjadi foodcourt.
Saya dan dW duduk berhadap-hadapan menunggu pesanan kami datang. Pikiran saya tidak beralih dari laki-laki traveler di rumah tadi.
"Kakak itu benar-benar cuma traveling aja dua tahun?" tanya saya.
"Iya.."
"Dia survivenya gimana?"
"ya, di setiap tempat, di mana dia kehabisan uang, dia kerja, untuk bertahan hidup selanjutnya."
"....."
Sejak saat itu, saya tarik anggapan saya. Saya belumlah menjadi traveler sejati selama terus menerus masih kuatir akan hari depan. Iya benar, saya cuma turis. Dan seperti turis-turis lainnya, saya bekerja keras, dan menabung untuk jalan-jalan, karena takut susah di tengah jalan.
Dan ternyata, saya tidak sendirian, Ria, sahabat saya, orang yang selalu punya mimpi untuk terus menerus traveling, juga sama.
Hening. Saya mendengar Ria menghela nafas
"Pengen jadi full time traveler." seru Ria lirih. Ini adalah topik yang terlalu sering tapi tidak pernah bosan kami bicarakan.
"Samma.." jawab saya sambil menatap lurus-lurus ke depan, matahari terlihat tenggelam di laut, meninggalkan bias jingga di cakrawala.
"Terus, ngajar anak-anak dari satu tempat ke tempat lain."
"Iyaa.. Perlu passive income nih. Sayang gue gak betah sama kerjaan MLM yang gue ikutin dulu. Hihihi.."
"Iya, yang gue juga sama-sama nggak jalan. Kayaknya antara MLM dan kita tuh gak ada perpotongan deh."
Kami berdua tertawa mengingat masa-masa mencari pekerjaan apapun beberapa tahun yang lalu.
Kalau pembicaraan semacam ini sudah terjadi, maka pasti akan ada topik berandai-andai lanjutan.
"Duh, seandainya ya, gue menang kuis who wants to be a millionaire, 1 M aja, gue masukin deposito, trus gue bakal resign trus jadi full time traveler, hidup dari bunga deposito"seru Ria.
"Gue? Gak diajak?"
"Iya lahh, pasti elo gue ajak, Nita juga..."
"Thanks, Ri. Nah, seandainya gue udah ngerilis banyak novel best seller, gue bakal resign dan hidup dari royalti aja."sahut saya, sambil membayangkan betapa banyak tulisan yang tidak pernah dan tidak akan terselesaikan karena keburu bosan.
"Gue lo ajak kan?"
"Iya doong... Pasti. Nita juga, itu wajib hukumnya."
Hening. Bias jingga mulai menggelap. Matahari nyaris tenggelam dengan sempurna. Suara ombak berderu. Pantat dan paha kami terasa dingin, karena sarung yang kami pakai menyerap lembabnya pasir putih.
"Gimana kalo kita bikin proposal ke Koffi Anan, minta at least 10% dari gajinya buat kita, dan kita janji ma dia, bakal jadi pekerja sosial seumur idup."
"Boleh juga..."
"Hihihi..."
Benar, kami belumlah bisa disebut traveler sejati, kami baru bisa disebut ingin-jadi-traveler-sejati.