0
komentar
"Kamu ranking berapa sih?" pertanyaan itu saya dengar ketika sedang berada di tengah-tengah suatu acara anak-anak. Saya menoleh, Seorang ibu dengan dandanan menor, bertanya pada seorang anak yang sibuk bersembunyi di balik baju ibunya.
"Juara satu, tante." si anak menjawab malu-malu.
"Wah, hebat." kata tante menor tersebut.
Saya hanya bisa tersenyum geli mendengar pertanyaan basa-basi itu sambil berkata dalam hati : Nggak ada pertanyaan lain apa? Tahu nggak sih, tante, itu kan pertanyaan basi banget?
....
bukan hal yang aneh
kalau ada orang-orang yang lebih
memilih shortcut untuk meraih sesuatu ....
Ya,saya akui, waktu saya masih SD, 'Kamu ranking berapa?' sempat menjadi pertanyaan yang selalu saya tunggu 4 bulan sekali setiap selesai pembagian raport caturwulan, supaya saya bisa menjawab : "Ranking 1, dong!". kalau ada orang-orang yang lebih
memilih shortcut untuk meraih sesuatu ....
Tapi semuanya berubah ketika datang seorang anak baru ke sekolah saya, namanya Teddy. Keberadaaannya di sekitar saya benar-benar mengganggu dan mengancam eksistensi diri (TSAH!). Kenapa? karena caturwulan-caturwulan berikutnya, Teddy merebut ranking satu milik saya dan saya... harus menjadi si nomor dua. Sial!!
Sebagai orang yang tidak mau kalah, saya kemudian meningkatkan usaha belajar dari yang biasa-biasa saja, menjadi agak keras. Lalu apakah saya kembali jadi juara 1 ? Beuh...Nggak tuh, tetap saja saya menjadi si nomor dua. HUH!
Masih tidak mau kalah, saya tingkatkan usaha belajar sampai ke level 'keras', eh.. tolong dong, masih juga juara dua! Arrghhh!
Eh pernah sih, saya dan Teddy sama-sama meraih ranking 1, hanya satu kali - tapi itu pun usaha belajar saya sudah sampai ke level ekstra-keras-berbahaya-bagi-kesehatan-mental.
Sejak itulah, saya menganggap bahwa pertanyaan "Kamu ranking berapa?" adalah basi dan menyebalkan. Bukan, saya menyebutnya demikian bukan karena saya sirik pada Teddy yang merebut ranking 1 saya (ehm, iya siiih sirik.. sikit,lah.. hehehe), tapi saya tidak habis berpikir, kenapa juga yang diperhatikan hanya hasil akhir berupa ranking, bukan dari proses? Soalnya jujur saja, sejak Teddy ada, menjadi juara II ternyata membutuhkan proses yang jauh lebih 'gila' dibandingkan menjadi juara I saat ia belum pindah ke sekolah saya.
Ohya, ohya, ada satu lagi yang membuat saya lebih sakit hati... bentuk pertanyaan lanjutannya : 'Kok cuma ranking dua?'. Duh!
Iya! Mereka bilang cuma...
C-U-M-A.
Mau marah nggak sih?
Nggak liat apa, untuk meraih ranking II saja saya sudah harus jungkir balik?
....
Anyway, seorang sahabat, di salah satu sesi konversasi maya melalui Y!M beberapa waktu yang lalu pernah berkata seperti ini : "Masyarakat sini kan memang gitu, result-oriented..". Lalu dia bercerita betapa dia sangat sebal karena salah seorang tantenya pernah berkata bahwa dia -sahabat saya, bukan si tante- beruntung bisa masuk ke sebuah universitas. "Nggak dilihat apa, proses gue untuk mencapai itu? Main bilang beruntung aja. It's not luck, it was a hard work!" begitu lanjutan omelannya.
Memang sih, saya sudah tahu dari dulu, bahwa kebanyakan orang lebih berorientasi pada hasil, bukan pada proses. Dan hal ini sudah dibiasakan sejak kecil. Ya itu contohnya, pertanyaan "Kamu ranking berapa?" saat sekolah, lalu pada saat mencari pekerjaan, selalu saya temukan satu point persyaratan yang berbunyi 'IPK Sarjana minimal 3.00 skala 4.00' (..eh, tapi kalau tidak ada point IPK , penggantinya adalah : berpenampilan menarik dan memakai rok 5 cm diatas lutut serta hak sepatu minimal 5 cm. Hehehe!).
Bahkan untuk kehidupan sehari-hari juga sering demikian; ukuran-ukuran sukses yang disamaratakan dengan melihat apa yang dipunyai seseorang : pekerjaan atau usaha bermasa depan prospektif, gaji 5 - 10 juta, mobil, istri yang cantik (atau suami yang tampan), anak-anak yang lucu dan sehat dan seterusnya.
Ini bagi saya sangat tidak adil, kenapa? Karena ada orang-orang yang 'tidak begitu beruntung' mendapat kemudahan-kemudahan sehingga mereka harus berusaha jauh lebih keras tapi proses pencapaiannya sama sekali tidak dilihat; yang penting ranking I-nya, masuk universitas-nya, IPK diatas pas-pasannya, usaha maju-nya...
Terpikir nggak sih, bahwa dalam proses lulus ujian masuk universitas, mungkin saja ada yang bisa masuk karena usaha keras, tapi mungkin juga karena 'jatah'? Terpikir nggak sih, bahwa IPK Sarjana di atas 2.75, bisa diraih dengan cara lain, selain belajar dan berjuang? Terpikir juga nggak sih, apa yang disebut kehidupan 'sukses' itu, bisa dicapai dengan kerja keras, tapi bisa juga karena fasilitas?
Makanya bukan hal yang aneh, kalau ada orang-orang yang lebih memilih shortcut untuk meraih sesuatu - seperti ada mahasiswa yang mengambil karya senior untuk diaku dan dikumpulkan sebagai tugasnya, atau mahasiswa lain yang berpikir bahwa dosen tidak pernah membaca tugas karya tulis seluruh mahasiswanya yang berjumlah 80 orang, jadi dengan seenak jidat, ia mengcopy-paste plek karya temannya. (duh, nggak tau,ya.. kalau seluruh pengajar itu buaya, masa buaya mau dikadalin?). Atau ada juga orangtua yang rela membayar sekolah untuk menaikkan anaknya. Atau... hmm, ada contoh kasus lain?
Ya nggak bisa disalahkan juga kan? Daripada susah-susah berproses, mending ambil cara gampang, tokh pada akhirnya ’harga’ yang didapat oleh mereka yang bersusah payah dan yang mudah sama saja. :D