0
komentar
Apa yang
disebut bahasa gaul itu memang seperti penyakit
menular tanpa penangkal....
Gara-garanya kami lupa membawa persediaan kaset dan piringan kompak (CD) yang banyak untuk menemani perjalanan 10 jam dalam mobil. Hanya dua, 1st maliq & d'essentials serta The Best of 1990 - 2000-nya U2 yang walaupun favorit kami, tetap saja kalau terus-terusan didengar (selama 10 jam perjalanan!) bisa mengakibatkan halusinasi pendengaran. Akhirnya walaupun di kota yang asing, kami memutuskan untuk menyalakan radio. Saya asal memutar tuner, dan gelombang radio pertama yang ditemukan sedang memainkan lagu 'Pergi Untuk Kembali'-nya Ello.disebut bahasa gaul itu memang seperti penyakit
menular tanpa penangkal....
"Ini aja, Non.." seru teman saya. Kami berdua terdiam, menikmati suara si berondong ganteng itu di tengah panasnya siang.
Tapi baru satu menit lebih sedikit, terdengar suara penyiar berceloteh.
"ARRGH!" saya mengerang, hendak memutar tuner lagi.
"Kenapa?"
"Gue sebel kalo lagu kepotong!"omel saya.
"Ya udah lah, itu kan kerjaannya dia. Lo ini sama sekali nggak menghargai profesi penyiar."
"Ya maab." saya batalkan niat saya untuk mengganti gelombang.
Suara penyiar itu renyah, dengan dialek khas kota tersebut yang legit, konsonan disebutkan secara tebal. Ia sibuk menerima telepon, membacakan sms, membacakan script mengenai Brad Pitt dan Angelina Jolie, mengirim salam dan seterusnya. Sesekali saya mendengar kata-kata "Bo", "OMG!" (di baca O EM JI, hehehe..), lalu 'please deh.' lalu 'Gitu loch' serta 'PDA'.
Saya menoleh pada teman saya yang sibuk menyetir. DIa memandang saya.
"Jakartaan banget ya, cara ngomongnya?" ternyata apa yang ada dalam pikirannya benar-benar sama seperti yang saya pikirkan.
"Yup, radio emang cepet banget menyerap dan menyebarkan bahasa yang disebut bahasa gaul." saya tertawa.
"Yang disebut bahasa gaul, yang Jakartaan kayak gini ya?"
"Iya kali, yang sering kesebut di sinetron. Yang sering kesebut di acara-acara anak muda jaman sekarang di TV." seru saya.. "Alah, bahasa gue : 'anak muda jaman sekarang' kayak gue udah tua banget aja..." lanjut saya sambil terkekeh.
"Sayang yah? Local Genius*-nya ilang."
"Local genius, kamana atuh gaya, istilah loe tuh, anak kuliahan banget, lagi S2 ya? Thesis kapan beres? EH masih musim ya thesis?" cela saya.
"Sombong! Iya lah yang udah lulus." Ia memberengut.
"Iya, udah lulus, taun lalu - lah elo hari geneeee..." saya tertawa-tawa dan dia tambah sebal.
"Diem lo Nyet.." umpatnya.
"Ups... pertanyaan sensitif ya?" saya tertawa kecil," Anyway, nggak kok, local geniusnya gak ilang, lah itu perhatiin aja, bahasa Jakartaannya mengalami penyesuaian, pake logat yang legit."seru saya.
"hehehe.. iya juga. Vocab boleh Jakartaan, logat gak ilang." dia tersenyum,"Gue kadang-kadang suka heran, neh.. yang namanya bahasa-bahasa gaul kek gitu sumbernya dari mana,sih?"lanjutnya
"Mbuh. Yang jelas nyebarnya cepet banget, lo tau nggak sih ceritanya anak SMU naik angkot di Bandung?"
"Yang mana ya?"
"Itu, yang ada anak SMU naik angkot dari Kiara Condong ke BSM, trus pas nyampe tujuan, dia bayar, kata supir angkotnya kurang dan bilang 'Neng, duitnya kurang', trus anak ini ngejawab,'Kurang? Sumpah loe? Please deh, secara gue naiknya dari Kiara Condong gitu loch.'."
Teman saya tertawa.
"..dan lucunya, adik gue nih, yang tadinya ngomongnya biasa-biasa aja, jadi ikut-ikutan, dia sempet ngomong 'OMG', padahal dia masih SD. Pas gue cela 'apaan sih OMG itu?' tau nggak jawabannya apaan?" lanjutnya setelah tawa habis.
"Apaan?"
"Haree genee, gak tau OMG apaan? Please deeeh, Basi banget getoloooch."
Sekarang gantian saya yang tertawa, teringat adiknya yang berambut kriting kriwil dan berpipi chubby. Anak itu memang cepat sekali menyerap bahasa-bahasa yang ada di radio atau di TV. Dulu, waktu dia masih TK, pernah berkata 'Kasiaaan deh loe." sambil memainkan jari telunjuknya saat kunci mobil saya tertinggal di dalam mobil - dalam keadaan terkunci (sial!)
"Kadang-kadang gue suka ga ngerti, kenapa yah, yang jadi kiblat itu bahasa-bahasa gaowl-nya Jakartaan melulu ya?"tanya saya.
"Ada tuh, yang sundaan."
"Apa tuh?"
"Jomblo."
"Ah iya.. tapi kalopun ada tetep aja cuma sedikit."saya mencibir.
"Tau deh, sampai sekarang kan semua orang menganggap pusat gaul dan gaya itu Jakarta, jadi kalau mo dianggap gaya dan gaul, marilah berkiblat ke Jakarta." katanya.
"Jadikanlah bahasa gaul sebagai bahasa nasional. Situ Gaowl, Bo?" jawab saya.
"Iya sih... tapi kenapa Jakarta?"
"karena pusat atau kiblat pergaulan."jawb saya.
"Ih deja vu.. itu kan udah dibahas." dia tersenyum,"Duh, gue sih gak mau cepat menyerap kayak gitu.Gila loe, saat sejuta umat ngomong kek gitu, masa sih gue ikut-ikutan ngomong juga? Pasaran dong ah!" teman saya bergidik.
"Gue juga! Males."
"Ala loe... bukannya elo juga sekarang cara ngomongnya juga berubah kek gitu?" dia mencibir.
Saya tertawa karena merasa tertohok.
Sebenarnya saya dan teman seperjalanan saya kali ini bukan orang yang gampang menyerap bahasa, bahkan sebaliknya - jika ada vocab baru yang sedang sering dipakai orang-orang, kecenderungan kami hanya satu : m e n c e l a. Bagi kami, bahasa-bahasa seperti itu benar-benar polusi telinga. Dan yang namanya polusi itu tidak perlu, merusak dan mengganggu,kan?
Saya ingat sering mencela pacar rekan kerja, sebut saja inisialnya N-A-N-I (hai Nani, if you read this.. hahaha) yang adalah sejenis penyerap kata-kata gaowl getuh. Setiap N-A-N-I mulai mengeluarkan kata-kata "Nggak gitu kaliiii.." atau "getoloooch.", maka saya mulai menjadi gema-nya, saya akan mengikuti kata-kata "Nggak gitu kaliiii.." atau "getoolooch" atau "secara.." dengan intonasi dan dialek yang dibuat menyebalkan dan hiperbola.
Tapi kekurangan saya adalah... suka tiba-tiba, tanpa sadar tertular. Entah sejak kapan mulainya, tiba-tiba cara bicara saya sudah menyerupai pacar rekan saya, si N-A-N-I ini
*Hhhhh...*
AHA! Mungkin juga itu penyebab cepat menyebarnya vocab-vocab seperti itu! Ada dua jenis orang, satu memang si mudah menyerap, seperti N-A-N-I, yang tanpa filter langsung memakai vocab-vocab tersebut. Sedangkan yang kedua, adalah orang seperti saya - yang awalnya mencela, tapi akhirnya ketularan. Yah, tapi memang bisa dibilang, apa yang disebut bahasa gaul itu memang seperti penyakit menular tanpa penangkal. Bagi yang kekebalan terhadap trend kurang, dia mudah diserang. Tapi bagi yang kekebalannya tinggi, virus bahasa gaul tetap akan menggerogoti perlahan sampai akhirnya korban benar-benar ikut tertular juga.:P
Eh tapi obat penyembuhnya ada gak sih? hehehe..
*kemampuan seseorang/ suatu kelompok menerima, mengolah dan menyesuaikan kebudayaan baru yang masuk dalam kebudayaannya.