Nama laki-laki itu kalau tidak salah Priyadi, seorang petugas cleaning service di sebuah perusahaan di Jawa Tengah, mempunyai anak 3. Suatu hari si bungsu sakit dan harus masuk ke sebuah rumah sakit swasta. Apa daya, Priyadi tidak mampu membayar biaya perawatan di rumah sakit, sehingga mau tidak mau anaknya harus ‘disandera’ sampai ia mampu melunasi keseluruhan pengeluaran.
Lalu datanglah tiga orang asing ke rumahnya, satu orang – siang bolong di bawah terik matahari- mengenakan jas putih dan dua yang lain, mungkin pengawalnya, berjas hitam. Ketiganya mengenakan sunglasses gelap pekat. Si jas putih menghampiri Priyadi, meminta untuk segera melunasi hutangnya pada rumah sakit. Priyadi mengaku tidak memiliki uang sama sekali.
Si Jas Putih berkata, agar Priyadi mengusahakan segala cara untuk segera membayar – maka Priyadi mengerahkan seluruh anggota keluarganya untuk mengeluarkan uang dari dompet masing-masing, terkumpullah Rp.50.000,- yang tentunya belum cukup. Si Jas Putih bertanya lagi, apakah ada benda-benda lain yang bisa digadaikan. Ketakutan, Priyadi mengeluarkan seluruh perabot rumahnya, dari televisi, kipas angin sampai jam dinding.
Setelah semua tetangga berkumpul dan seluruh barang yang dianggap berharga tergeletak berantakan di teras, akhirnya si jas putih mengeluarkan kertas yang berisi perincian pengeluaran rumah sakit, dan memberi cap : LUNAS, lalu menyatakan bahwa hutang Priyadi pada Rumah sakit dianggap lunas.
Lalu datanglah tiga orang asing ke rumahnya, satu orang – siang bolong di bawah terik matahari- mengenakan jas putih dan dua yang lain, mungkin pengawalnya, berjas hitam. Ketiganya mengenakan sunglasses gelap pekat. Si jas putih menghampiri Priyadi, meminta untuk segera melunasi hutangnya pada rumah sakit. Priyadi mengaku tidak memiliki uang sama sekali.
Si Jas Putih berkata, agar Priyadi mengusahakan segala cara untuk segera membayar – maka Priyadi mengerahkan seluruh anggota keluarganya untuk mengeluarkan uang dari dompet masing-masing, terkumpullah Rp.50.000,- yang tentunya belum cukup. Si Jas Putih bertanya lagi, apakah ada benda-benda lain yang bisa digadaikan. Ketakutan, Priyadi mengeluarkan seluruh perabot rumahnya, dari televisi, kipas angin sampai jam dinding.
Setelah semua tetangga berkumpul dan seluruh barang yang dianggap berharga tergeletak berantakan di teras, akhirnya si jas putih mengeluarkan kertas yang berisi perincian pengeluaran rumah sakit, dan memberi cap : LUNAS, lalu menyatakan bahwa hutang Priyadi pada Rumah sakit dianggap lunas.
Yang saya tuliskan di atas adalah potongan dari reality show LUNAS yang ditayangkan oleh SCTV. Sungguh, tidak sedikit pun ada rasa haru saya ketika menonton acara ini, yang ada rasa sebal, karena pihak kreatif acara tersebut menjadikan Bapak Priyadi, sebagai objek hiburan untuk ditonton, dikerjai, dibuat panik, dibuat malu DAN ditonton tetangga! Walaupun memang acara tersebut memiliki ending yang happy (iya gitcuuu?).
Belakangan ini, setelah acara-acara mistis di anggap tidak mendidik dan diganti oleh acara berbau rohani (yang tetap mengandung unsur mistis, plis deh!), reality show cari bintang mulai membosankan, sinetron remaja yang tidak membumi, mulai bermunculan lah reality show yang memiliki tema ‘menolong orang lain’, sebut saja acara Uang Kaget, Rejeki Nomplok, Mimpi Anak Jalanan, Bedah Rumah, Tolong dan seterusnya.
Kesannya memang ‘baik’, berbagi kebahagiaan pada mereka yang membutuhkan (untuk menggantikan kata ‘miskin’), tapi pada kenyataannya, itu tetaplah bisnis, yang namanya bisnis, mau di bidang broadcast atau di bidang mana pun, tujuannya ya, d u i t. (yeah, yeah, don't tell me, capitalism rules everything, and it's everywhere :P)
Apa yang membuat acara tolong-menolong ini menjadi menarik? Karena sangat bertolak belakang dengan acara-acara lain, di saat acara lain menyuguhkan mimpi-mimpi, acara sejenis ini menampilkan ‘realitas’. Bagus? Nggak juga, karena realitas itu jadi bahan tontonan demi duit. Kadang-kadang saya merasa kasihan pada 'aktor-aktor ' dalam acara tolong menolong tersebut dan sering berkata (dalam hati) “Pak/Bu, tau nggak sih, bapak dan ibu jadi semacam badut sirkus yang ditonton orang banyak yang semuanya pasti berkata ‘wahh kasian banget sih mereka…’ ? “
Nggak puas dengan itu, tim kreatif kemudia mengemas acara sedemikian rupa sehingga jauh lebih menarik untuk ditonton. Kenapa harus dikemas? Well, kasarnya sih, kalau banyak yang menonton, ratingnya tinggi, kalau ratingnya tinggi, banyak perusahaan-perusahaan yang mau memasang iklan pada durasi acara tersebut.
Bagaimana supaya menarik? Salah satunya ya seperti tadi, membikin Pak Priyadi jadi panik, atau untuk acara lain sejenis, memaksa orang yang ketiban rejeki untuk berbelanja terburu-buru dalam 30 menit, sehingga mereka asal membeli barang. Tapi yang jelas selalu ada yaitu, pertunjukan mengenai betapa miskinnya 'si aktor' dengan memperlihatkan hal-hal yang berbau melarat: pekerjaannya sebagai tukang getuk, dinding kamar bolong-bolong, tempat tidur beralas koran dan seterusnya.
Bukannya anti dengan reality show, bahkan jujur saja, dulu salah satu guilty pleasure (mencontek istilahnya Eyi) saya adalah menonton Akademi Fantasi Indosiar (remember our afilovers blog, Swas, Put? Hihihih, it was fun!).
Tapi khusus untuk acara tolong-menolong ini, saya bilang enggak-banget, soalnya berbeda dengan reality show yang lain (seperti AFI, Joe Millionaire Indonesia, The Apprentice Indonesia *Hello Mr.Gontha or should I call Trump-wannabe?* dan lain-lain) para aktor-aktor tersebut memang sadar, mau dan setuju sepenuhnya untuk dijadikan komoditas tontonan; masuk TV, disiarkan, dilihat banyak orang, demi popularitas. Sedangkan di reality show tolong-menolong ini? Mereka memang senang dapat uang untuk membeli kebutuhan mereka atau benda-benda yang biasanya tak teraih (dan seringnya tidak diperlukan : hp? microwave? plis deh!) sekaligus masuk TV. Tapi mereka tentunya nggak sadar bahwa sebenarnya mereka jadi tontonan dan tereksploitasi.
Lucu yah, kemiskinan kok malah jadi tontonan.
Dan untuk orang-orang dari televisi – seperti salah satu teman saya, janganlah berexcuse bahwa acara ini memang HANYA bertujuan untuk menolong. Soalnya kalau memang benar-benar seperti itu adanya, apakah perlu untuk disiarkan? Bukankah kalau menolong itu lebih baik memegang falsafah, tangan kanan memberi, tangan kiri nggak perlu tau? Akui sajalah, acara itu demi uang kan?