1 komentar
Bukankah seharusnya
sebuah isme itu untuk dipahami, dipercayai,
diamini dan dilakukan saja?
Sore tadi saya mampir di sebuah toko buku , untuk mencari novel yang berjudul Fairish. Ini semua gara-gara salah satu stasiun televisi swasta yang bolak-balik menayangkan ‘Fairish, The Making’ – pembuatan film yang diangkat dari novel itu. Duh, saya jadi penasaran.sebuah isme itu untuk dipahami, dipercayai,
diamini dan dilakukan saja?
Memasuki toko, dan langsung menuju ke bagian fiksi yang rak-raknya penuh dengan buku-buku bercover warna permen. Mata saya jelalatan, menelusuri satu demi satu buku di bagian tersebut. Lumayan membingungkan, cover-covernya lama kelamaan terlihat sangat tipikal.
“Hey.."Belum lagi saya menemukan apa yang dicari, sebuah tepukan lembut mendarat di bahu. Saya menoleh. Seorang teman – eh bukan teman juga sih, hanya orang yang kebetulan pernah saya kenal karena dulu kami berada dalam satu lingkungan.
“Eh, hey..” saya tersenyum,
“Apa kabar?” tanyanya, lalu cupika, cupiki basa-basi.
“Baik… Loe? Apa kabar?” jawab saya.
“Baik juga…”
Saya pikir pembicaraan akan berlanjut menjadi “Di mana sekarang?”. “eh masih suka ketemu anak-anak nggak?” dan seterusnya, tapi tidak .
“Kok?” ia memandang saya dengan keheranan..
“Kenapa?”
“Loe baca buku-buku beginian?” Tanya dia sambil mengambil salah satu dari rak.
“Kalau iya memangnya kenapa?”
“Hmm, nggak apa-apa. Gue sih, nggak suka.Terlalu ringan…” ia melanjutkan.
“Ohya? Nggak apa-apa lah, hiburan.” Saya tersenyum. Menunggunya mengucapkan ‘eh gue duluan ya?’
Ternyata ia masih bertahan, berdiri di hadapan saya, sambil membalik-balik buku bercover warna permen yang dipegangnya, lalu dengan demonstratif ia mendengus membaca paperback comment dan sinopsis di halaman belakangnya.
- Please..please.. udah dong, pergi dong..
Syuh..syuh..!
“It’s really not my cup of tea. Gak suka gue.”lanjutnya sambil memandang saya.
“Emang buku-buku loe kayak apa sih?” Tanya saya. Iseng.
“Biasa lah, tentang social studies, terutama gender sama feminism.”
“Oh okay.”
“Gue kan feminist.”
“He?”
“Iya, gue feminist, loe?”
“Gue baik-baik aja, makasih..”
Sebut selera humor saya aneh, tapi saat itu tiba-tiba saya ingin tertawa. Jangan salah, bukan karena dia mendukung atau menganut feminisme. Saya selalu menghormati setiap orang dengan –isme yang dianutnya masing-masing kok. Yang membuat saya geli hanyalah deklarasi ‘gue kan feminist’-nya. Itu sama menggelikannya seperti orang yang tiba-tiba mendeklarasikan “Gue kan anak punk.”
Bukankah seharusnya sebuah isme itu untuk dipahami, dipercayai, diamini dan dilakukan saja? Penyebutan seseorang sebagai si-penganut-isme-tertentu itu adalah konsekuensi DAN yang jelas, bukan melalui deklarasi diri.
“Aduh, sebagai orang yang berpendidikan tinggi harusnya loe feminist dong… Loe tau, orang-orang yang nggak aware sama ketidakadilan gender dan gejala social yang diakibatkannya itu yang menimbulkan fenomena ketidakadilan gender…” tiba-tiba, tanpa ditanya dia berkata demikian, lalu melanjutkan kuliahnya tentang budaya patriarki, stereotyping, bahkan.. arrrghhhh… sejarah feminisme…
Ini menjadi semakin lucu buat saya. Dia fanatik, merasa diri paling benar lalu merendahkan orang lain. Sama lucunya seperti pertanyaan “kok loe nggak jadi anak punk juga sih?” atau dengan beberapa orang yang mengirimkan e-mail pada saya dan mendeklarasikan bahwa dirinya datang dari suatu golongan kepercayaan tertentu LALU menghujat karena beberapa opini dalam posting-posting tertentu di blog saya tidak sesuai dengan pandangan mereka (plus.. mereka menyuruh saya bertobat hehehe)
“Eh bo, jangan bilang kalo sekarang loe mo cerita semua isi buku Feminist Thoughts-nya Rosemarie Putnam Thong,” Potong saya buru-buru, karena saya tidak mau terjebak mengobrol sepanjang sore dengan orang aneh yang tidak menyenangkan.
“Ha? Iya, salah satu sumber gue tuh.. loe udah baca? Masa sih loe baca juga buku itu? gue pikir penggemar buku-buku seperti ini..” dia menunjuk lagi dereta buku bercover warna permen “..nggak suka baca buku-buku yang mikir.”
- Anjiiir.. sombongnya..
“Well,”saya tidak menanggapinya “Gue cuma mo bilang – loe harus punya tujuan yang bener kalo loe mau menganut sebuah isme, yang jelas tujuannya BUKAN untuk merendahkan atau menghujat orang lain . Trus satu lagi pahami bener-bener supaya loe nggak jadi fanatik nggak jelas atau malah kedengeran sok tau. Anyway ...Yuk, ah, gue duluan.” lanjut saya sambil berlalu. Dia terdiam.
Maaf-maaf saja, tapi saya sungguh-sungguh anti fanatisme dan deklarasi, – eh, kecuali untuk deklarasi singkat ini : ‘I’m damn hot.’ * (hahaha!)
*hasil belajar menjadi narsis dari seorang teman. (hi, Ben! Am I good enough, Mastahh? hihihi)
UPDATE!
Di angkot (damn car!), saya nggak sengaja mendengar seorang cowok, kayaknya sih lagi pdkt dengan cewek yang duduk di sebelahnya, dua-duanya ABG. Dan tampaknya cowok ABG ini termasuk orang yang menganut -isme 'yang penting deklarasi' - karena dengan kerasnya dia bilang "aku kan anak Band." - ayo, ayo, saya masih menunggu ada yang bilang 'aku kan anak basket'. Huhhhh.. AADOYSD (Ada Apa Dengan Orang Yang Suka Deklarasi), sih? :D