Sore yang gerah (bukan cerah). Sebuah kedai kopi londo di salah satu mall bernuansa pedestrian. Sebuah buku. Sekotak rokok kretek menthol. Decaf House Blend dan sepotong brownies.
Moodku sedang tidak terlalu baik. Dua minggu ini , semua yang kukerjakan rasanya tidak ada yang bisa dikatakan sempurna. Kalau sudah begini - jeleknya, semua terlihat menjadi salah. Menjengkelkan.
Sudah lima belas menit dari waktu yang dijanjikan, tapi orang yang kutunggu tak kunjung terlihat batang hidung dan segala batang yang dimilikinya.
Kuambil ponsel, dan jempolku langsung aktif menekan tuts pada keypad ponsel.
New message
Text Message
Add recipients
Mirza.
Tiktaktiktuk.
Jempolku menari-nari.
Lo di mana? Gue basi mampus nungguin disini.
Send.
Delivery report
Sejurus kemudian ponselku berbunyi. Sebuah sandek (alias pesan pendek).
Read?
Yes.
Tumben ontime. Gw lg parkir. Sabar. Belum jamuran kan,Nyet?
Sender:
Mirza
+62811905***
Aku menghela nafas, menyelipkan ponsel ke dalam kantung depan ransel, menyeruput minumanku, kembali menenggelamkan diri dalam buku.
Tak sampai sepuluh menit, pintu kedai kopi terbuka. Seorang laki-laki masuk, sahabat lama. Kami hendak membicarakan tentang sebuah project bersama.
Ia terlihat berbeda, masih putih, masih cungkring tinggi, tapi gaya sekali.. Kacamata berframe gaya. Rambut rancung gaya, mengenakan tshirt putih gaya dan celana jeans agak belel gaya, memanggul ransel gaya di bahu kanan dan gulungan koran dalam genggaman lengan kirinya.. Ia tersenyum.
“Hai, sore, Nyet.”.
“Coba yaaaa… nggak kurang lama?”
“Sorry, gue harus nganterin istri gue ke rumah mertua.”
“Ah susah neh, bukan lajang sih. Pa kabar Nina?”
“Baek. Salam buat lo katanya. Disuruh bilang, buruan kawin, keburu menopause.”
“Uanying. Rese..” Aku terkekeh.
“Bentar, mo mesen dulu.”Ia memukul bahuku dengan gulungan koran itu. Keras, sampai berbunyi ‘plak.’
“Rese! Sakit tau!” umpatku.
“Ih, galaknya masih aja. Nggak laku-laku loh.” Ia meletakkan ranselnya di atas meja, menyenggol gelasku, isinya bergoncang.
“Lu gila, tumpah neh.”
Ia berlalu sambil menyeringai. Hanya lima menit kemudian, ia telah kembali. Membawa baki berisi Espresso Roast dan potongan pie.
“Lo jadi gendut.” Celanya setelah ia duduk.
“Sial.” Otomatis aku menahan nafas, karena aku tahu bagian mana yang terlihat membesar. Perut. Sudah jarang sit up.
“So, how’re you, neng?” ia memotong pie dengan sendok dan.. hap, memasukkannya dalam mulut.
“I’m.. hmm” aku menyulut rokokku yang kesekian,”… easy like Sunday morning.”
“How’s love life, then?” tanyanya sambil mengunyah.
“I am.. officially and completely jomblo.” Aku menyeringai.
“Ah. Yang bener?”
“Yup.”
“Kemana pria-pria itu?”
“Ke laut aje.”
“Lo sih, judes. Jadi kan pada takut.” Ia mencelaku lagi.
“Judes udah ada dalam gen gue. Yang takut karena gue judes, cuma yang payah aja.” Aku tak mau kalah.
“Ngeyel.”
“Bodo.”
Sekelompok perempuan-perempuan belasan tahun masuk ke dalam kedai. Pakaian warna-warni permen, tubuh langsing tanpa tonjolan kecuali bagian toket dan bokong, rambut lurus berponi. Wangi. Tapi yang terlihat oleh mataku adalah aura yang mereka tebarkan, aura yang kupunya dulu, aura ‘hey-hidup-ini-sangat-indah-dan-tidak-banyak-masalah-jadi-bersenang-senanglah.’
Mata temanku jelalatan liar. Dasar cowok.
“Fresh. Yummy.” Celetuknya pelan. Aku diam saja, menghirup rokokku dalam-dalam.
“Kayak mereka dong. Biar menarik perhatian cowok-cowok.” Ia mengalihkan perhatian padaku, memandang dari atas ke bawah. Ekspresinya menyebalkan. Seolah banyak sekali kesalahan padaku.
Rambut baru saja kupotong sangat pendek. Kaca mata half frame. T shirt putih berleher V, rok tenun ikat biru tua biru muda sebetis dan sepatu sandal biru Birkenstock.
Ada yang salah dengan itu?
(Uhm, kecuali untuk bagian perutnya, ya? Hehehe)
“Penting ya menarik perhatian cowok dengan penampilan fisik?”seruku dengan nada dibuat sesinis mungkin.
“Ehm. Yah. Nggak juga sih.”
“Kenapa penampilan penting?”
“Oh no, there she goes again!” Ia menepuk jidatnya.
“No, tell me. Sebagai cowok, lo ngeliat apa sih dari cewek?” nadaku melunak.
“Jujur?”
“Iya.”
“Pertama, fisik. Maksud gue – fisik kan kemasan yang mudah dilihat, jadi ya otomatis, pertama banget gue bakal terpesona secara fisik.”
“Then?”
“Baru isi.”
Aku terkekeh. Jawaban standar. BasiBasiBasi.
“Kenapa?”
“As a copywriter, you’re basi. Tidak inovatif.”
“by the way, Lo pernah lho mempesona gue dengan kemasan.” Cetusnya.
“He? Kapan?”
“Long time a go..”
“..in Betlehem?” aku menyambung, “how about now?”
“Yaaah… hmm, gimana yah.” Ia menyeringai jahil.
“SIYAL!” Kutonjok bahunya.
“Umur tak menipu. Semakin tua, secara fisik yah, gimana ya, semakin layu. Semakin bergelambir dan tidak fresh.”
“Sial..sial..sial..” kembali kutonjok bahunya berkali-kali.
“Ampuun!” ia terbahak,”Dan satu lagi, semakin tua seseorang, pesonanya semakin berkurang karena udah tahu susahnya survive di dunia. Yah, layu aja gitu, ampir expired… Eits, jangan nonjok.” Ia mengelak.
Aku dan dia tertawa berbarengan. Ia menyesap kopinya.
“Wah, susah nih kalo gini. Fisik gue udah nggak bisa diandalkan lagi untuk mengundang perhatian cowok-cowok. Mo jungkir balik bergaya seduktif juga percuma.” Aku terkekeh.
Laki-laki itu hampir menyemburkan isi mulutnya.
“Geblek.. Dipikirin lagi…” serunya setelah berhasil menelan kopinya.
“Lah, iya dong. Kalah saing. Segeran cewek-cewek muda itu lah,dari gue kemana-mana. Gayaan mereka pula. Udah deh, gak masuk itungan bakal ditoleh deh.” Aku berkelakar.
“Tapi, penampilan fisik itu kan cuma impresi pertama aja, tapi selanjutnya kan content, otak, hati dan attitude gitu. Kalo cuma berhenti sampe fisik doang, ah.. gue dan gue pikir cowok-cowok lain juga males deh. Content itu juga bisa seksi lagi, neng”
“Nah itu, masalahnya. Kalo kemasannya udah nggak menarik, gimana mau melihat lebih jauh ke isi, coba?” seruku.
Ia terdiam, sok berpikir. Tak berapa lama, ia berkata, “Bener juga, lo nggak ada harapan lagi.”
“MONYET! Sialan.” Aku menonjoknya lagi.
“No, honey. Don’t worry. Lo atraktif kok. Dengan cara lo sendiri.”
“…” aku menatapnya.
“Serius. Lo menarik di content”
“I do?”
“Yes, you do.”
“Tunggu.. tunggu.. menarik di content? Berarti kemasannya enggak dong?”
“Hmm.. buat gue sih kemasan lo cuma segitu doang.”
“Siyaaaaaaaaaalll…”
Ia terbahak.
“Lo lagi kenapa sih, nanya-nanya gini?” tanyanya. Aku tidak menjawab, hanya memamerkan cengiranku yang terlebar.
“Ah, I know. Krisis PD,ya?” tebaknya. Aku (lagi-lagi) hanya menyeringai.
“Don’t be. Setiap orang itu menarik dengan caranya sendiri-sendiri. Dan lo, neng.. lo menarik.. Serius.”
“Thanks.”
“Anytime.”
“Lo emang sahabat gue banget. Selalu ada buat jadi energy booster.”
“Halah, nggak usah jadi mellow. Gak pantes.”
“Hihihi..”
Lalu kami memutuskan untung menghentikan topik nggak penting ini dan masuk ke dalam topik utama, pembahasan mengenai project kami.
Lean on Me - Bill Withers
Sometimes in our lives we all have pain
We all have sorrow
But if we are wise
We know that there's always tomorrow
Lean on me, when you're not strong
And I'll be your friend
I'll help you carry on
For it won't be long
'Til I'm gonna need
Somebody to lean on
Please swallow your pride
If I have things you need to borrow
For no one can fill those of your needs
That you don't let show
Lean on me, when you're not strong
And I'll be your friend
I'll help you carry on
For it won't be long
'Til I'm gonna need
Somebody to lean on
If there is a load you have to bear
That you can't carry
I'm right up the road
I'll share your load
If you just call me
So just call on me brother, when you need a hand
We all need somebody to lean on
I just might have a problem that you'd understand
We all need somebody to lean on
Lean on me when you're not strong
And I'll be your friend
I'll help you carry on
For it won't be long
Till I'm gonna need
Somebody to lean on
Memiliki teman itu memang menyenangkan, bukan? :-)
Recent Artworks in Gallery
Recent Posts in Blog
0
komentar