Tol Cipularang.
Rabu, 11 Mei 2005.
Panas. Gersang. Saya dan rekan sekantor melaju kencang di jalan tol yang baru ini. Mesin pendingin kalah melawan gerahnya udara, belum lagi keharusan memakai baju rapi yang tidak membuat badan terasa lebih baik.
Ini (lagi-lagi) sebuah perjalanan pulang-pergi, menuju Wisma Aldiron – Gatot Subroto, Jakarta Keparat atas nama pekerjaan.
Tape ngadat. Tidak ada hiburan dan saya dilarang menyanyi – bahkan ketika saya baru saja bersenandung “Sudah lama….”, dua kata pembuka lagu Penuh dengan Cinta-nya – Cozy Street Corner featuring Bonita, rekan saya berteriak-teriak bak kesetanan “Lo nyanyi gue turunin.”
Tapi dia juga melarang saya untuk tidur – padahal jika tidak bersuara saya suka mengantuk lalu tertidur.
Akhirnya daripada terjadi huru-hara dalam mobil, kami berinisiatif untuk mengobrolkan hal-hal yang seriusnya berskala mulai dari nol sampai delapan. (Untuk topik yang skala seriusnya kurang dari satu, lebih baik off the record saja, karena itu bisa mendegradasikan citra keren kami, bo! *DZIGH!* Hihihi)
Salah satu pembicaraan yang bagi saya cukup menarik adalah mengenai uang. U-a-n-g. Awalnya entah dari mana, mungkin dari pertanyaan mengapa uang menjadi begitu penting dalam kehidupan manusia. Bahkan ada yang rela membunuh demi uang. Lalu banyak reality show yang bertemakan ‘membahagiakan orang yang tidak mampu’.
“Sebenarnya kan konsep jual-beli sekarang intinya sama aja seperti system barter barang jaman dulu, pertukaran.”seru rekan saya,” Kalau dulu alat tukarnya adalah barang, sekarang uang.”
”Duuuh, coba yah, kalo system barternya masih barang, bukan uang. Pasti sekarang orang-orang nggak nganggep uang itu penting”
Sebut saya tidak waras, tapi dalam benak saya seperti terputar film; bintang utamanya ya saya dong, menjadi perempuan di masa mata uang belum dikenal.
Settingnya, adalah daerah tempat tinggal saya yang hanya memungkinkan untuk menanam sayur-mayur. Lalu saat masa panen tiba, ternyata persediaan sayur berlebihan dan karena saya bukan kambing, mulailah terpikir untuk menukarkan sayur tersebut dengan kebutuhan lain : beras.
Maka berjalanlah si saya ini ke desa yang letak geografisnya hanya memungkinkan untuk menanam padi. Saya bertemu dengan seorang laki-laki,.. and we live happily ever after *loh?* Bukan, maksud saya, laki-laki tadi membutuhkan sayur dan saya membutuhkan beras, Maka terjadilah barter barang di sana.
Bagi saya, sayur menjadi alat tukar. Bagi laki-laki itu, beraslah yang menjadi alat tukar. … And we live happily ever after, (okay, okay, sorry! Hehehe)
“eh tapi ribet juga kali, ya? Kan kebutuhan manusia makin banyak, musti bawa-bawa berapa kuintal beras dan hasil ternak buat ditukerin dengan sejuta kebutuhan kita,ya?” saya meralat.
Tiba-tiba saya jadi geli, dalam benak saya terbayang sekelompok anak SMU masa kini dengan atribut gaya sedang mengobrol, “Aduuuh, lo baru beli ipod,ya? Beli dimana?” dan dijawab “Itu, di BEC, murah lho, cuma satu sapi, satu kambing, satu ayam dan satu karung beras plus sedikit hasil palawija..”
“Trus satu lagi, masalah standarisasi, uang juga ada karena standarisasi nilai, Kew. Benda yang dianggap bernilai oleh seseorang, belum tentu dianggap berharga sama orang lain. Kebayang gak, lo nganggep sepatu converse klasik lo berharga, mau nggak dituker sama bumbu dapur?” Tanya teman saya.
“Gigi lo gondrong! Ya nggak lah!” protes saya.
“Tapi, orang yang mau nuker itu, nganggep bumbu dapur adalah benda berharga,lho.”
“Nggak mau!”
Hening sejenak. Berpikir. Lalu saya mulai bersenandung “Sudah lama..” dan teman saya berteriak “Woy, toa masjid, jangan nyanyi.” (Sial!)
“jadi, uang memang penting. Sebagai alat tukar konvensional – walaupun di tiap Negara masih beda-beda juga.” Rekan saya mengambil satu konklusi yang nggak penting.
“Tapi juga, jangan salah, sekarang fungsi uang bukan Cuma sebagi alat tukar, kaliii. Banyak nilai simbolis juga, symbol status. Lo banyak uang, berarti lo tajir dan dengan status tajir, lo dideketin banyak orang” tambah saya.
Hening lagi. Kami hampir sampai Jakarta. Saya mulai berpikir, ternyata uang itu benda kecil yang simple tapi sangat powerful.
Kita nggak mungkin bisa tenang kalau kebutuhan-kebutuhan kita nggak terpenuhi, dan untuk memuaskan kebutuhan kita, mostly, kita menggunakan uang. (Mau makan? Uang. Mau jalan-jalan? Uang, mau ini? Uang. Mau itu? Uang, apa sih yang gratis, bahkan pipis dan boker pun mengeluarkan uang.)
Penting nggak sih uang bagi saya?
Hmm.. lumayan.
“Eh keluarnya di sini bukan?” rekan saya menunjuk suatu plang.
“Bukan. Satu lagi” jawab saya. Ia melajukan mobil mengikuti telunjuk saya.
“Monyet! Itu pancoran! Kita kelewat.”
“Hihi, ya maab. Udah deh gue gak mau nunjukin jalan lagi. Gue nyanyi aja deh.”
“Arrrghhh!”
....
UPDATED:
Turut berduka cita atas kepergian teman blogger kita, Marrie-Dorothea Viella Maharani-Hertzl (27 November 1975 - 9 Mei 2005).
http://sayittwice.blogspot.com
Recent Artworks in Gallery
Recent Posts in Blog
0
komentar