"Ngapain lo ke sini?" Ben , seorang sahabat (iya yang baru putus itu, yang lama-lama curhatnya ngeselin.. hehe, viss!), merutuk ketika melihat saya muncul di lobby kantornya beberapa hari yang lalu.
"Jalan yuk."
"Tumben?"
"Males pulang!" saya mulai merajuk.
"Kenapa?"
"Berantem sama nyokap."jawab saya.
"HAREE GENEE BRANTEM SAMA NYOKAP? ABG bener sih lo." ledeknya.
"Eh, kalo anak perempuan nggak pernah brantem ma nyokapnya, aneh tau!" saya bersidekap tepat di depannya, memasang wajah memberengut.
"Gaya lo ngeselin. Kenapa brantem?"
"Pulang telat."
"Berapa lama?"
"dua jam..."
"Pantes. Ih, kasian deh nyokap lo punya anak kayak lo, pasti hidupnya nggak tenteram..."
....
Mama. Saya memanggilnya demikian, seorang perempuan setengah baya yang selalu jadi sparing partner berantem setiap saat, sejak dulu. Ada saja hal-hal kecil yang kami ributkan.Mulai dari kebiasaan saya untuk lupa meletakkan barang, ketidaksempatan membereskan kamar, pulang telat, kenggratilan saya membongkar barang tapi tidak bisa memasangnya kembali (sampai-sampai beliau sering berkata "kamu kalo jadi tukang reparasi, iklannya gini aja : terima bongkar nggak terima pasang"), kebiasaan ngebut (sampai beliau bilang : "sumpah, mending naik angkot deh!"), sampai perdebatan masalah agama, pasangan hidup, takaran oregano kalau memasak spaghetti, berebut channel TV dan seterusnya.
Mama adalah sosok yang cerewet, gampang mengomel dan keras kepala. Tapi kata orang-orang, sifat itu menurun pada saya. Makanya nggak heran, kalau saya dan dia benar-benar seperti anjing dan kucing di rumah. Kalau sudah masanya kami bertengkar, biasanya ayah menjadi messenger, alias pembawa pesan - untuk mendamaikan kami.
Sebal nggak sih, saya padanya?
Nggak tuh.
Seru, gila.. punya mama seperti beliau.
Karena di luar pertengkaran-pertengkaran itu, kami juga adalah partner in crime. Ia yang kerap melindungi saya dari pertanyaan "kamu kapan kawin?" (biasanya sebelum saya menjawab dengan cemberut, beliau nyeletuk : "hari gini, kawin muda?" - ini serius!), kami kerap bertukar sepatu dan tas, bercurhat-curhat sepanjang malam, belanja grosir di pusat kota, bahkan ia tidak ragu ikut sebal pada orang yang menyakiti saya (begitu pula sebaliknya).
Ohya, ada satu hal lagi - ini cerita beberapa bulan yang lalu. Saya menindik hidung. Mama paling sebal dengan tindik di tempat yang (menurutnya) tidak seharusnya, cuma saat itu saya mupeng berat, ingin punya tindik hidung.
Sepanjang perjalanan pulang, saya mencari cara untuk menutupi bekas tindikan. Ketika tiba di rumah, karena terbiasa bercerita kegiatan hari ini setiap sore - beliau memaksa saya untuk duduk bersamanya, meminum teh mint oleh-oleh Teteh yang satu ini dari Maroko. Susah dong, menutupi hidung kalau sudah begitu?
Akhirnya, saya mengaku juga.
"Ma, saya masih anak Mama bukan?" tanya saya sambil menutup hidung dengan kedua belah tangan.
"Eh, kenapa nih?" beliau balik bertanya sambil curiga.
"Nih... Tadaaaaa...." saya membuka sebelah tangan, memamerkan tindikan.
Mama ternganga. Membeku. Saya merasa bahwa another perang Bratayudha akan pecah beberapa detik kemudian. Tapi saya salah.... Ia hanya menghela nafas.
"Cah gendheng." lanjutnya sejurus kemudian. Lalu ia mulai menceritakan kegiatannya pada hari itu, seolah lupa, bahwa putrinya baru saja menindik bagian tubuh yang tidak seharusnya.
Pada hari itu, saya merasa bahwa she's to-die-for Mom. :-) apalagi setelah mendengar pembelaan beliau mengenai tindik hidung saya beberapa hari kemudian : "nggak apa-apa lagi, namanya anak muda. Keren kan?" - pada setiap orang yang terheran-heran atau mencapku bandel HANYA karena tindik hidung.
Pfuh.... mendengar itu, saya berjanji, atas semua pengertiannya menghadapi saya, dan selalu menganggap bahwa saya putrinya - apapun yang saya lakukan : saya akan berhenti mencari gara-gara dan menjadi anak manis sedunia, setidaknya sampai natal tiba.
(tapi saya gagal, beberapa hari yang lalu kami perang lagi.)
....
"Eh, Ben.. berhenti di toko itu dong." seruku sambil menunjuk sebuah gift shop.
"Heh? ngapain?" tanyanya, sambil mengurangi kecepatan mobilnya.
"Beli kertas kado."
"Buat?"
"Nyokap. Dia kan ulang tahun tanggal 26 besok."
"Lah katanya lagi musuhan?"
"Eh, coba yah... kalo lagi musuhan, bukan berarti gue boleh ngelupain ngasih kado ulang tahun buat dia!" omelku.
Ben hanya tersenyum sambil memarkirkan mobilnya.
......
Happy Birthday, Mum. I love you so much.
PS:
saya sudah nggak berantem dengan beliau lagi kok, kami baikan pagi tadi, saat memberikan kado dan mengucapkan selamat baginya.
Recent Artworks in Gallery
Recent Posts in Blog
0
komentar