"Masa sih, dua bulan yang lalu Pi bilang sama ibunya gini coba : Mama, kenapa kalo deket-deket ibu guru titit Pi tegang, kayak mau pipis?"celetuk Wo, temanku, suatu siang di sebuah toko buku. Aku terbahak, buku cerita anak-anak yang kupegang hampir saja terlepas dari tangan, beberapa kepala memutar; memandangku dengan pandangan terganggu.
(Pi adalah seorang anak laki-laki berumur 15 tahun, beberapa tahun yang lalu mengalami kecelakaan mobil yang parah, sehingga menyebabkan perkembangan mental dan intelektualnya mengalami kemunduran, dan sama sekali tidak memiliki filter benar-salah, baik-buruk, bahaya-tidak bahaya. Malu-tidak malu. Dan Wo adalah trainernya.)
"Kok bisa? lo ngajarnya gimana, Wo? sambil buka celana?" bisikku.
"Ya enggak laaaaah..."
"Jadi?"
"Grepe-grepe."
"Cewek brengsek banget lo."
Dia tertawa.
"Ya enggak. Gue juga gak tau, Pi tiba-tiba nanya aja. Sumpah nggak pernah gue ditodong kayak gitu. Nggak ada satu anak pun yang gue ajar, pernah berani menyebut alat kelaminnya secara blakblakan." jelasnya.
"Trus gimana lo jawabnya."
"Bingung juga. Tadinya gue mau jawab : soalnya Ibu guru merangsang sih, sorry ya. hehehe."
"Sinting."
"Gue panik, tapi nggak sempet jawab. keburu nyokapnya marah gitu sama dia."
Aku hanya bisa terdiam, merasa jauh lebih beruntung daripada Pi, maksudku ketika aku bertanya permasalahan tentang kelamin pada orangtuaku, mereka tidak marah - tapi tidak juga menjawab, yang jelas terlihat adalah wajah mereka yang panik - lalu mulai saling menjebak pasangan (maksudnya kalau aku bertanya pada ayah, maka ayahku akan berkata "tanya ibu deh.", kalau aku bertanya pada ibu, maka ibu akan ngeles, "tanya ayah deh.".)
"Trus, Pi pas dimarahin gimana?"
"Mmm, dia bengong sih, nggak ngerti kenapa mamanya marah sambil bilang : jangan ngomong gitu, nggak baik."
"Dan...?"
"Dia bilang, oh jadi titit itu nggak baik ya? Dan sepanjang pelajaran, dia nggak pernah nanya-nanya lagi, juga besoknya, dan besoknya, sampai sekarang."
Wah, aku tidak tahu, akan sampai kapan Pi menganggap bahwa kelaminnya tidak baik. Kalau aku dulu hanya sampai tahap menganggap bahwa kelamin adalah benda yang tidak boleh disebut apalagi ditanya (dalam penyebutannya menjadi 'itu' atau 'anu'), bahkan lebih parah lagi; kupikir aku itu kelaminless, tidak punya kelamin - karena bagian itu tidak pernah tersebut pada pelajaran mengenali bagian-bagian tubuh. Dan itu berlangsung sampai aku mendapat mens pertama; baru ibuku menjelaskan semuanya dengan tersirat.
Aku baru mengerti saat kelas Biologi di tingkar SMP, guru menerangkan semuanya dengan detil mengenai alat reproduksi; aku ingat kelas kemudian menjadi senyap, seluruh murid terutama yang perempuan memerah mukanya. tapi saat itu aku baru tahu bahwa punyaku bernama! Yaitu vagina, bukan 'itu' atau 'anu'
"Kalo gitu lo selamet, nggak ditanya-tanya..." celetukku, Wo mengangguk, kami terdiam dan mulai menelusuri kembali rak demi rak buku.
"Mbak,Kenapa ya gue tuh grogi banget deh, kalo ada anak-anak yang nanya segala sesuatu yang berhubungan dengan kelamin yah?" tanya Wo mendadak.
"Iya, sama aja sama gue, Wo. Padahal coba deh, kan kelamin itu bagian dari tubuh, kan? sama seperti tangan, sama seperti hidung, telinga, kepala, pundak, lutut, kaki? Kenapa juga musti salah tingkah nyebut bagian-bagian itu, sedanglan nyebut kaki, tangan dan seterusnya biasa-biasa aja"
"Iya, ya Mbak? Benda itu sepertinya nggak baik banget. Sumber aib, sumber malu, liat aja istilahnya di koran-koran ttg berita kriminalitas : kemaluan. Trus kalo kepaksa nyebutin hal itu, pasti bakal banyak pake metafora ; burung, bibir bawah, biji, batang dan seterusnya. Kalopun ada yang berani ngegunain versi kasarnya seperti di situs 17tahun, pake Me-titik titik dan Kon-titik titik, itu kan bukan konsumsi buat anak kecil." Wo menerangkan panjang lebar lalu diakhiri dengan senyum jahil.
"Me-titik titik dan Kon-titik titik apaan? Memek dan kontol?"
"Anjing! Sakit jiwa lo, Mbak!" aku dan dia cekikikan geli.
"Ah, coba deh, kalo orang yang ngomong gitu disuruh ngomong langsung, didepan anak kecil, nggak akan lah dia berani."
"Iya kali ya."
"Mmm, kayaknya mau sampai kapanpun, alat kelamin itu tetap akan menjadi tabu, tidak boleh disebut dengan gamblang dan sembarangan depan anak-anak."
"Apa karena enak, ya Mbak?"
"Iya kali ya, anak kecil kan masih tolol, blom tau bahwa memperlakukan alat kelamin sehingga menimbulkan rasa enak itu punya konsekuensi - dan butuh tanggung jawab .. jadi bahaya."
" Bahasa lo najis banget sih, Mbak! So, kalo ada murid-murid kita yang nanya tentang alat kelaminnya gimana. Mbak?"
"Gue sih biasanya pura-pura nggak denger, atau mengalihkan perhatiannya dia."
"Heheh licik."
Aku dan Wo mengelilingi toko buku sekali lagi, lalu menuju ke kasir, membayar buku-buku dongeng anak-anak untuk perpustakaan mungil kami.
Recent Artworks in Gallery
Recent Posts in Blog
0
komentar