(saya tahu posting saya kali ini mungkin agak sensitif , you need to open your mind before reading it)
”Liat ini!” seorang teman menunjukkan sebuah brosur padaku suatu siang.
”Apaan?”tanyaku.
”Baca aja...”
Aku menurut,kuambil brosur itu, dan membaca isinya, ternyata brosur mengenai beasiswa penuh yang diberikan oleh sebuah yayasan Kristen tempatnya bekerja, untuk mahasiswa yang kurang mampu.
”Ya? Terus kenapa?” aku melipat kembali brosur itu.
”Liat persyaratannya dong. Dua butir yang pertama khususnya.”
Aku menurut, kubuka lagi lembar persyaratannya, dan membaca butir-butir persyaratannya :
Butir satu : Anak Tuhan Lahir Baru
Butir dua : Sudah terlibat dalam pelayanan baik di gereja ataupun di persekutuan
”Trus?” aku masih belum melihat ada yang salah.
”Liat dong, secara gamblang disitu dinyatakan bahwa yang mendapat beasiswa Cuma yang Kristen aja, apa kabar yang Islam? Kenapa dibedakan? Kan yang sekolah di sini bukan melulu orang Kristen aja?” ia bertanya bertubi-tubi. Kebetulan temanku bukan seorang Kristen.
”Ya wajar, ini kan yayasan Kristen, bow.” aku menjawab singkat, temanku dengan jelas menampakkan wajah tidak suka.
”Di saat kita harus berpikir global, kemajuan harus merata untuk semua, kenapa yayasan masih aja mikir secara parsial dan terkotak-kotak, kalau disini jelas kotaknya agama, Ini sih udah nggak bener.”
Aku hanya tersenyum getir; dan satu pikiran terlintas dalam benakku ”ketika satu kelompok menjadi minoritas dalam suatu komunitas (minoritas – komunitas, rhyming , isn’t it? Ah, nevermind.), maka what so call keadilan yang merata tentunya nggak ada. Apa yang dilakukan yayasan ini nggak bisa juga dikatakan salah (walaupun benar juga enggak)
Aku jadi ingat, bertahun-tahun yang lalu aku pernah merasakan hidup sebagai minoritas - cukup lama, lima belas tahun aku menghabiskan masa kecilku di suatu tempat yang mayoritas beragama Islam; saat itu banyak sekali kesempatan-kesempatan emas yang nggak bisa aku dapatkan hanya karena aku non-muslim atau tidak berjilbab. Nah, bagaimana dengan itu? salah atau benar?
Dan tiga tahun sewaktu SMU aku sekolah di tempat dimana mayoritas murid memiliki ras tiong hoa, banyak juga kesempatan yang terpaksa aku lewatkan hanya karena aku indi djen, bukan cung kuo djen (ngga tau nulisnya gimana, indi djen artinya : Indonesia; cung kuo djen artinya orang tiong hoa). Nah sekali lagi, itu benar atau salah?
Well, lepas dari salah-nggak salah, adil-nggak adil, semua itu aku pikir sangat wajar, karena setiap manusia punya kecenderungan untuk mementingkan dan memajukan kelompoknya terlebih dahulu baru yang lain, ya ngga sih?
Sebenarnya aku ingin meminta dia –temanku itu- untuk melihat dari sisi lain permasalahan ini ; memang sih posisinya bukan sebagai yang diuntungkan, melainkan sebagai si minoritas. Tapi coba kalau kejadiannya di balik? Dia menjadi mayoritas, dan orang lain menjadi si minoritas? Beda lagi lah ceritanya, dia nggak mungkin marah-marah untuk membela si minoritas.
Tapi , pada akhirnya aku hanya bisa bilang, “yah, kalau nggak suka, diskusikan sama atasan, ngomelnya jangan sama gue.”
Nah itu tadi soal mayoritas dan minoritas, sekarang soal nilai-nilai benar dan salah; memang susah sih untuk berpikir dari dua sisi, kecenderungan orang adalah sangat mempercayai nilai-nilai benar yang sudah dimilikinya sejak lahir – salah dan benar itu jadi absolut dengan dasar nilai-nilai benar dan salah dari kacamata sendiri.
Okay, Sebagai penutup (tsah!) ada beberapa contoh kasus salah - benar:
(satu) seorang teman berpindah agama dari Kristen menjad Muslim karena menikah dengan seorang Muslim, seorang teman yang lain menghujat temanku dengan kata-kata “Kamu salah, kamu murtad.”
(dua) seorang blogger memutuskan untuk memeluk agama Kristen dan mengundang kontroversi karena ia menuliskannya secara gamblang dalam blognya, banyak yang komentar, mostly berupa hujatan menganggap dia telah melakukan keputusan yang salah, murtad.
Untuk dua kasus di atas, masalah 'salah' itu bisa dengan mudahnya dijadikan benar, kalau dibalik cara memandangnya :
(satu) Berpindahnya temanku menjadi seorang Muslim, tentu saja disebut sebagai suatu keputusan yang ‘benar’ oleh para Muslim, kan?
(dua) berpindahnya Nunik, (ups kesebut namanya) tentu saja oleh umat Kristiani di sebut sebagai ‘kembali ke jalan yang benar’
Dari sini keliatan kan? Gak ada itu benar atau salah yang absolut dalam kehidupan sosial; semuanya sangat relatif, tergantung sudut pandang.
Duh, Permasalahan agama dan ras memang sangat sensitif,ya? makanya aku memiliki kecenderungan untuk membuka kotak-kotak atau sekat-sekat agama dan ras dalam kehidupan sosialku; dan memilih sikap : Fuck agama, fuck ras. :). Orang-orang boleh melakukan apapun dalam kehidupannya, terserah.
Mebbe everyone should do that, too… ;-)