0
komentar
beberapa bulan yang lalu
“Bisa nanganin foto pre-wedding kan? Undangan bisa sekalian dirancangin nggak? trus kalo dekorasi gedung bisa sekalian?” laki laki itu datang padaku dan teman-teman dengan pertanyaan bertubi-tubi.
“Ha? Siapa yang mau nikah?” aku menganga.
“Gue.”
Tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang terjatuh dari rongga dadaku.
Whoops, is that my heart?
Hanya satu kata yang bisa aku katakan padanya setelah mendengar kabar itu : “Anj***, lo menikah juga akhirnya! Selamat ya? Adeeuh…” dengan antusiasme yang dibuat-buat.
mengasuh Sarah, berdua dengan sahabat –
Beberapa hari yang lalu.
“Gila lo, masa sih orang mo nikah masih lo gebet juga!” sahabatku mengomeliku panjang lebar, sambil mengawasi Sarah, keponakannya mendayung perahu di wahana Perahu Indian.
“Gue bukan ngegebet, lagi, gue emang udah suka dengan dia dari dulu!” protesku, sambil memasukkan potongan gula-gula milik keponakannya, “Duh, sumpah. Gue gak rela dia nikah.”
“Lo suka dari kapan,sih?”
“Jangan teriak… tahun sembilan tiga..”
“GILAAAA!”
“Kan gue bilang jangan teriak!” omelku.
“Dianya suka sama elo juga nggak?”
“Sama aja.”
“Lah kenapa nggak jadian aja dari dulu?”
“Nah, waktunya gak match mulu, dia lagi jomblo, gue lagi jadian, pas dia jadian, guenya jomblo. Tapi terakhir, pernah sih, sama-sama lagi jomblo.”
“Trus pendekatan?”
“Iya, tapi guenya kabur.”
“Lho?”
“Abis orangnya serius sih.Gue takut kalo gue jadi sama dia, arahnya ke pernikahan.”
“Loh? Elo tuh gimana sih? Dulu waktu dideketin sama dia, lo kabur, trus pas dia mau nikah, lo nggak rela gitu, egois bener. Lo tuh emang super egois. Bukannya lo tuh udah punya pacar trus bahagia dan cinta banget sama dia? Nah, masa sih dia mau bahagia sama pasangannya lo nggak rela?”
“Bukannya nggak rela…” aku terdiam menggigit bibir, “Eh iya sih, nggak rela juga.”
“Bentar, gue beli es krim dulu.” Potongnya, sambil berlari menuju penjaja es krim yang letaknya hanya beberapa langkah dari tempat kami berdiri. Aku mengaktifkan menu kamera di ponselku untuk memotret Sarah yang lewat tepat dihadapanku.
Tak lama, sahabatku muncul, dengan satu cone es krim.
“Nah, sekarang gimana?”tanyanya sembari menjilat ujung es krimnya dengan gaya yang seduktif, “Hh, sayang yang ngeliat gue jilat es krim kayak tadi itu elo, ya.. Bukan mahluk-mahluk berbatang dan berbiji.”lanjutnya.
Aku terkekeh.
“Ya gak gimana-gimana lah, atau harusnya ada gimana-gimana?” aku bingung sendiri.
“Gimana, gimana maksud lo?”
“Nevermind.”
“Heh! Don’t even think about that!” ia mendelik.
“Iya sih, gedung udah disewa,cincin udah di beli, baju adat kawinan udah dipesen. Nggak mungkin lah.Mmm, atau mungkin?” aku mengelus hidungku, seperti biasa jika aku menemukan ide (jahat) yang cemerlang.
“Heh! Jangan gila. Lo nggak mikirin perasaan calon istrinya apa?”
“Ih, kan gue gak kenal ini.”
“Cuma satu hal yang bisa lo lakuin sekarang” kali ini sahabatku sibuk menjilati bibirnya yang berlumuran es krim.
“Apaan?”
“Hmm, forget him.Gue rasa ini cuma masalah elo dan ego lo aja. Dia mau menikah dengan orang lain, lo ngerasa tersingkir kan? Kalah? Nggak dibutuhkan lagi. Gue bener kan?”
Aku terdiam.
Lama.
Tidak berhasil memutuskan apakah sahabatku benar,atau tidak.
Terdengar suara tawa kecil, aku menoleh. Sahabatku sedang terkekeh geli.
“Kenapa?”tanyaku keheranan.
Ia melangkah mendekati, lalu mengelus-elus punggungku.
“Yah, Tabah, ya nak. Jangan sedih, memang shits happen to morons.”
“Gobl..” umpatanku terpotong.
“Yuk, tante, kita naik jet coaster.” Sarah sudah selesai naik Perahu Indian.
malam dua hari yang lalu,
setelah dia datang ke rumah.
Ku raih ponselku.
Kuletakkan kembali.
Kuraih lagi ponselku memandang layarnya
Kuletakkan kembali.
Butuh waktu lebih dari setengah jam untuk akhirnya membulatkan keputusan untuk mengiriminya sebuah sms. Aku menghempaskan nafas, mulai menekan-nekan tombol pada keypad ponselku.
New Message
Text Message.
I wanted to kiss your lips yesterday,
And about to do that when suddenly
that ‘he-is-going-to-get married’ thoughts
flashed in my mind. Arrgh. I guess I have to let you go.
Add recipients.
T
Tara
Tika
Tina
Tisha
Torro.
T…
Aku menekan nama terakhir yang berinisial T dalam address bookku
Send
Sejurus kemudian, aku menerima sebuah sms balasan.
Why didn’t you?
I intended to do the same thing.
Can we meet again?
Sender : T
+6281**********
Arrghh.