"masih ada pasien suster?" tanyaku pada Sinta, susterku hari ini.
"Masih, ada satu lagi, namanya ibu Astrid." Jawabnya malas-malasan sambil membuka tirai pembatas antara ruang praktekku dengan ruang tunggu.
"Coba panggilkan.." kataku. Lalu Sinta menyibakkan tirai yang terbuat dari handukku yang bermotif Donald duck. Ia mempersilahkan pasien terakhirku untuk masuk, lalu ia menghilang entah kemana. Mungkin Sinta bosan menjadi suster.
"sakit apa, ibu?" tanyaku pada ibu Astrid sesudah ia duduk di bangku plastik warna hijau. Oh ya, bangku plastikku sendiri berwarna merah, sedangkan diruang tunggu, hanya ada satu bangku berwarna pink, milik Sinta. Satu bangku saja cukup, toh pasienku sejak aku menjadi dokter hari ini selalu satu.
"Ini dokter, saya sakit perut." Kata ibu Astrid.
"Sakit perut.. hmm..." aku mencoba mengingat-ingat kosa penyakit yang sering mamaku sebut. Kalau sakit perut apa ya namanya? Oh, ya.. Kol.. hmm, koler.. hmm Ah, apa sih namanya? Susah banget. OH YA! Kolerestol. Mama selalu menolak untuk makan jeroan, takut kena penyakit kolerestol. Mungkin itu penyakit perut yang disebabkan oleh jeroan.
"Mungkin ibu kena penyakit kolerestol. Mari saya periksa." Aku membimbing ibu Astrid menuju meja periksaku yang berseprai matahari berwarna kuning. Pasienku berbaring disana, aku memeriksanya dengan stetoskopku yang berwarna pink-biru.
"kadang-kadang saya suka mual gitu bu dokter" kata Ibu Astrid.
"Sebentar, coba buka mulutnya.. Aaaa.." kataku. Ibu Astrid membuka mulutnya. Aku memeriksa mulutnya memakai senter papa yang berwarna biru tua. Biasanya senter ini dipakai kalau mati lampu. Ih, di sela gigi bu Astrid ada bekas sayuran. Tapi seorang dokter tidak boleh jijik.
"Hadi henar haya hakik halereshol?" Ibu Astrid berkata sesuatu dengan tidak jelas, karena mulutnya masih terbuka saat ia berbicara.
"apa?" tanyaku.
"Jadi benar saya sakit kolerestol?" Tanya bu Astrid.
"Oh iya benar, ibu sudah saya periksa, sekarang saya mau kasih resep obat ya, obatnya diminum tiga kali sehari, sesudah makan." Aku kembali ke bangku plastikku, ibu Astrid mengikutiku. Kusobek lembaran tengah buku tulis matematikaku, dan menuliskan resep yang harus diminum dengan spidol pink.
Penyakit kolerestol ibu Astrid cukup parah, jadi supaya cepat sembuh, aku beri empat macam obat. Semoga pasienku menuruti waktu minum obatnya, supaya penyakit kolerestolnya tidak semakin parah.
Ibu Astrid menerima resepku, dan kutunjukan jalan menuju apotik. Ohya, rumah sakit milikku punya apotik loh, dan yang melayani di apotik, ya aku sendiri. Soalnya Sinta tidak kelihatan batang hidungnya.
"mau beli obat apa, Bu?' tanyaku pada ibu Astrid, tukang jualan di apotik harus ramah, supaya pasien-pasien cepat sembuh. Ibu Astrid menyerahkan resep obatnya. Hmmm, ada tidak ya obatnya?
Aku segera berlari keruang tengah, menuju ke lemari obat, tempat mama biasa mengambil obat merah kalau aku jatuh. Wah, terlalu tinggi, tanganku tidak sampai. Hmm. Obatnya apa lagi ya? Wah, jangan sampai apotikku tidak punya obat pesanan ibu Astrid, kan malu punya apotik tidak lengkap?
Ah,iya! Aku teringat mesin jahit nenekku, di dalamnya banyak sekali kancing, warna merah, biru, kuning, putih. Itu saja! Kan mirip tablet obat! Aku berlari ke kamar nenek, dia tidak ada! Bahkan tidak ada orang di dalam rumah, Ah sepertinya mama dan nenekku sedang di halaman. Aku membuka laci mesin jahitnya, lalu kupenuhi genggamanku dengan kancing warna warni itu, dan berlari kembali ke dalam apotik.
"ini ibu, obatnya, jangan lupa diminum, supaya penyakit kolerestol ibu cepat sembuh!" Ibu Astrid menerima tablet-tablet yang kuberikan, tepat pada saat itu, bel pintu depan rumahku berbunyi. Jam berapa ini? Oh, jam lima sore! Itu pasti Bi Tun, pembantunya Astrid dan Sinta yang disuruh menjemput mereka pulang.
"Saya pulang dulu, ya bu... besok saya datang lagi! tapi besok saya yang jadi dokternya ya?" kata Astrid sambil memasukkan tablet-tablet itu kedalam kantung bajunya.
"Nggak, ah! Besok kita mau main koki restoran!" jawabku, yang disetujui oleh Sinta, yang tiba-tiba saja sudah ada disebelahku, tidak kulihat datangnya darimana. Aku tahu, dibandingkan bermain dokter-dokteran, Sinta lebih suka bermain masak-masakan.
"iya, deh.. sampai ketemu besok ya?" mereka berdua pulang, aku masih bisa mendengar mereka pamit pada ibu dan nenekku.
"dag tante! Dag omaaa!"
.....
"Oh, gak papa kok Mbak, anak saya dulu juga pernah menelan kancing. Banyak nggak? Cuma dua, dan keburu ketauan? Gak papa, gak usah kuatir, nanti juga keluar kalo Astrid buang air besar, kan kancing nggak bisa dicerna. Sudah, tenang. Kancing itu nggak beracun kok. Atau biar yakin, dibawa ke dokter aja deh" besoknya, aku mendengar mama berbicara ditelepon, sepertinya sih dengan tante Mel, ibunya Astrid dan Sinta.
"Kamu main apa sama Sinta dan Astrid kemarin?" mama merangkulku sambil berjongkok tepat disampingku.
"dokter-dokteran." Jawabku.
"lain kali, kalo main dokter-dokteran, obatnya jangan pakai kancing, ya? Sejak kapan coba kancing buat dimakan? " kata mama lagi lembut.
"Iya, Ma..." kataku, sambil berpikir keras, Hmm, benda apa yang bisa dijadikan obat lagi kalau bermain dokter-dokteran ya?
Ohya, tapi sore ini aku tidak jadi bermain masak-masakan, karena Astrid harus ke dokter, dokter betulan, bukan dokter aku.