Lo tau nggak?
Nggak..
Jangan motong. Dulu gue pernah nanya sama guru SD gue, "Kenapa Hari Ibu di Indonesia ada, tapi Hari Bapak nggak ada?' - tau nggak jawaban guru gue apa?
Nggak tau. Kan gue nggak se-SD sama lo.
Guru SD gue bilang, 'Hari Bapak nggak ada, karena setiap hari udah hari Bapak.'
Hehehe.. guru sesat.
-hening-
Lo pasti nggak pernah merayakan hari ibu.
Kok tau?
Iya lah, secara elu gitu lho.
Kenapa secara gue?
Pasti lo nggak sudi ngerayain hari ibu karena udah pemaknaan Hari Ibu sendiri sudah bergeser dari sejarahnya. Dari hari di mana perempuan merumuskan beberapa tuntutan penting bagi kaum perempuan untuk membebaskan diri, eh malah jadi hari yang di-ibu-kan, kalau mengacu perkataan guru gue dulu, hari ibu dibuat seolah-olah memang cuma hanya satu hari di mana ibu diistimewakan, sedangkan dari tanggal 23 desember sampe 21 desember tahun berikutnya, bapak yang diistimewakan.
Iya sih, gue ngerasa inti perayaan hari ibu hare gene tuh ga penting. Tapi, itu bukan alasan utama gue, jadi, ya nggak juga.
Jadi kenapa dong?
Soalnya tanggalannya nggak merah, jadi gue gak inget.
Dari dulu saya nggak pernah merayakan Hari Ibu karena memang selalu terlupa. Banyak orang menyangka karena hal-hal tertentu saya tidak menyukai Hari Ibu . Tak jarang mereka menambahkan supaya saya berpikir positif saja tentang Hari Ibu, menjadikan sebagai hari peringatan untuk menghormati kaum ibu.
Mereka salah, bukannya saya nggak suka [tapi catatan: suka juga enggak], ya... Memang lupa, bo..mau begimana lagi? Salah siapa tanggalannya nggak dimerahin? :P
Beneran! sekarang sih saya tidak mempermasalahkan apapun yang berkaitan dengan Hari Ibu. Saya sudah mengajukan pensiun dini memperkarakan pelurusan kembali makna perayaan Hari Ibu di Indonesia. Seperti disebutkan teman saya, seharusnya 22 Desember yang dirayakan sebagai Hari Ibu diganti sebagai hari perempuan - karena berdasarkan sejarah, terbukti bahwa hari itu bukan cuma penting bagi ibu, tapi justru bagi seluruh kaum perempuan untuk memikirkan hal-hal di luar menjadi ibu yang masak, macak dan manak.
Saya juga sudah resign dari geng pemberi komentar pidato Bung Karno pada Kongres Kaum Ibu Desember 1928, untuk menghimbau perempuan agar ikut serta dalam perjuangan nasional, yang ujung-ujungnya menambah kewajiban lagi bagi perempuan masa itu.
[jadi terpikir, semua yang dilakukan perempuan masa itu kok untuk kepentingan pihak lain mulu,ya? Di rumah tangga yang diurusi adalah perkara rumah tangga, di luar rumah tangga pun mengurusi masalah perjuangan nasional. Kapan mikirin diri sendiri sebagai perempuan?]
Terserah saja lah. Mau dimaknai, mau dirayakan bagaimana Hari Ibu itu. Bebas.
Hari Ibu terlewat cuma karena saya lupa.
Lagipula, kalau pun kebetulan teringat, mau apa?
Rasanya maksain merayakan Hari Ibu sesuai dengan 'tradisi' sekarang : memberi bunga [atau kado], meliburkan para ibu dari tugas dapur dan rumah tangga, supaya mereka memiliki kebebasan untuk mikirin apa yang mereka mau - percuma, deh kayaknya.
Ibu saya nggak suka buket bunga segar, 'Kalau sudah kering nyampah!' katanya,'Mending bunga deposito.' - ini masih katanya, yang sering saya ledek ,'Ibu Matre...' dan ia mengimbuh '..ke laut aje..'
Pemberian kado sudah saya lakukan setiap saat saya menemukan kalung yang sesuai selera saya [kenapa kalung? Kenapa selera saya? supaya saya bisa nebeng pakai dong ah! Atau syukur-syukur beliau tidak suka, jadi kalung tersebut dihibahkan pada saya], begitu pula sebaliknya, beliau selalu membelikan kalung yang beliau suka untuk saya [dengan motif *motif di sini maksudnya : tujuan* yang sama, tentunya!]
Meliburkan ibu dari tugas dapur? Ibu saya dari dulu beliau jaraaaaang sekali masak, karena memang nggak suka masak, gerah plus ribet katanya. Beliau juga nggak pernah memaksa saya melakukan hal itu. Kami berdua memasak jika ingin [dari aktivitas masak-memasak, kami punya kesamaan : tidak suka mencuci peralatan masak]
Meliburkan ibu dari tugas beberes dan bebersih? Hoho, jangan berani-berani, beberes dan bebersih adalah candunya, bisa iritasi batin mampus jika dilarang. Malah, biarpun kami sekeluarga sudah membuat kesepakatan membereskan dan membersihkan area tertentu sesuai perjanjian, tapi beliau kerap melanggarnya.
Membebaskan ibu melakukan pilihan-pilihannya? Sudah - beliau dibebaskan untuk melakukan apa pun yang disuka dengan bertanggung-jawab; sama seperti beliau membebaskan saya dan anggota keluarga lain melakukan apa saja yang disuka. Dengan catatan : tidak mengorbankan/menyusahkan diri sendiri dan orang lain.
Jadi.. buat apa lagi coba saya merayakan Hari Ibu untuk beliau? Kalau memang Hari Ibu dirayakan dengan begitu, ya setiap hari sudah merupakan perayaan Hari Ibu bagi ibu saya ..
Nggak tau ya untuk ibu-ibu lain...