Akhirnya..Setelah menunda ke dokter gigi selama sebulan untuk menambal geraham yang patah [paru goreng kering Sari Bundo keparat!], dua hari yang lalu saya buat juga janji bertemu dengan asisten dr. Hanny,dokter gigi langganan saya yang penyabar dan tidak pernah menyakiti :D .
Sialannya, hari itu dr Hanny sedang keluar kota digantikan oleh dokter muda nan imut. Argh! Saya sempat mengomel pada sang asisten karena tidak memberi saya informasi sedikit pun bahwa hari itu bukan dr.Hanny yang praktek, tapi apa boleh buat, daripada tertunda lagi, ya saya pasrah saja.
Untungnya, dokter muda itu ternyata sabar dan juga tidak gemar menyakiti - sama seperti dr Hanny, pfiuhh... [walaupun ia kerap memberi narasi horor untuk setiap aktivitas yang dilakukannya seperti : 'Sekarang saya bakal mengebor gigi Mbak', 'Dibersihkan sedikit ya,mungkin agak linu' dan 'aduh, ini bornya kenapa ya?']
Okay, gigi saya sudah tertambal dengan sukses, tapi bukan itu yang penting. Seusai keluar dari ruang praktek, tiba-tiba saya dihampiri oleh seorang ABG.
"Ci?" sapanya.
"Ya?" saya berusaha membuka laci-laci memori saya.
"Lupa ya? sombong! Ini Michelle!" serunya.
Oalah!
Michelle adalah mantan murid les menggambar saya beberapa tahun yang lalu. Waktu itu ia masih kelas lima SD. Sekarang? Dengan asupan gizi yang berlebih, ukuran tubuhnya lebih besar dari ukuran tubuh saya.
"Ya olloh, Syel! Gede bener kamu!" seru saya takjub.
"Iya dong,kan bertumbuh." Balasnya.
"Sama siapa?" tanya saya.
"Mamih, tuh.." ia menunjuk ke arah seorang perempuan yang duduk tidak perduli di salah satu kursi ruang tunggu.
Saya masih ingat bahwa itu ibunya. Ibu Sylvie.
"Gimana Kenken..?" tanya saya, setelah teringat sesuatu.
"Ah Cici, Kenken itu masa lalu.." serunya.
Saya geli, karena teringat masa saya masih menjadi guru privatnya. Lima belas menit awal les, selalu kami habiskan dengan membahas kisah naksir menaksirnya dengan Kenneth, seorang teman sekelas Michelle.
Ampun, anak seumur itu sudah kenal kata taksir-menaksir. Padahal seingat saya, pertama kali merasakan getar-getar cinta [halah!] terhadap lawan jenis adalah saat saya duduk di kelas I SMP, itu pun masih malu-malu singa – iya, singa bukan kucing, soalnya malunya besar banget kalau sampai ketahuan target dan teman-teman yang lain. Lha ini, Michelle, tanpa malu-malu bercerita bahwa ia sempat menghadiahi Kenneth Toblerone putih saat Valentine’s Day di depan kawan-kawan sekelasnya, serta rutin mengirim sms setiap malam pada pujaannya.
"Sempet jadian sama Kenken,ga Syel?" goda saya.
"Nggak, cuma sms-an doang.Kenkennya ga bikin first move, males.." ia mengerucutkan bibir.
"Ya kamu dong, bikin first move..."
"Kan udah, Michelle udah kasih sign gitu kok, dengan rajin nge-sms...Tapi ya gitu doang, dianya nggak bergerak. Capee deeh.."
Saya tertawa lagi.Lutuna anak ini. Dulu Michelle memang sangat hobi memamerkan sms-sms dari Kenneth. Salah satu sms yang paling saya ingat adalah :
Iy4, 6w 5uk4 sama T4ta Y0un9. 3lu kok t4U?
Sender.
K3nken d4rl1nk.
Hehe, masih SD dan sudah sms-an. Michelle ini sangat khatam dalam menggunakan seluruh fitur ponsel dan komputer. Setiap mendengar cerita Michelle mengenai apa yang baru dikerjakannya dengan ponsel dan komputer, rasanya masa kecil saya yang bermain gobak sodor, engklek, bekel, congklak, petak umpet, bentengan dan tak jongkok terjadi pada zaman pra sejarah.
"Kamu masih les apa aja?"tanya saya.
"Masih kayak dulu,lah Ci.... piano, renang, ballet, gambar,aritmatika, les inggris sama mandarin -- eh sekarang nambah deng, les vokal.."
Lagi-lagi , perasaan saya masih sama : sering saya merasa menjadi mahluk tidak berguna ketika mengetahui bahwa Michelle menghabiskan hari-harinya setiap sore dengan les piano, les biola, les balet, berenang, les aritmatika. Ia lebih sibuk dari saya. Michelle itu gadis cilik sibuk. Mungkin sesudah besar, ia akan menjadi wanita karir yang sangat kompeten dan tangguh berkompetisi di bidangnya.
"Cici masih ngelesin gambar?" tanyanya
"Nggak..."
Ah, Michelle tidak tahu, bahwa ia adalah murid les terakhir yang saya ajar. Sesudah itu karir saya sebagai guru les menggambar tamat.
Ibu Sylvie, ibunda Michelle, iya itu, yang duduk tidak perduli di sana, perempuan yang [ternyata] lebih muda setahun dari saya, telah memecat saya. Damn, you B*tch! Hehehe...
Saya masih ingat sekali, hari itu. Ibu Sylvie mengajak saya duduk, untuk 'sedikit membahas tentang Michelle' -katanya.
"Perkembangan Michelle itu gimana sih ?" tanyanya.
"Baik, kenapa Bu?" tiba-tiba saya mencium ada yang tidak beres di sini.
"Lain kali, kalau les menggambar, jangan kebanyakan ngobrolnya,Mbak.." tegur Bu Sylvie.
"Iya, Bu.. maaf. Saya memang suka mengobrol dengan Michelle.." jawab saya sesantun mungkin.
"Dan terus, Itu – ehm, emangnya Mbak ngebiarin Michelle ngegambar matahari warna biru, laut warna pink, dan orang bermata satu ya?"
"Iya." Saya mengangguk.
"Terus mbak juga membiarkan anak saya menggambar rumah transparan, segala meja dan kursi terlihat dari luar?"
"Iya."
"Tapi kenapa,Mbak?"
Ampyun. Inilah sejenis ibu-ibu yang nggak mengerti bahwa sebenarnya dalam melatih seorang anak menggambar, tidak sama denga mendikte ‘bagaimana menggambar dengan benar’ menurut logika orang dewasa.
"Ya soalnya, saya nggak mau merusak daya imajinasi Michelle, Bu... Kalau pun nantinya Michelle menggambar matahari berwarna kuning, atau air berwarna biru, biarin aja itu melalui proses yang dilakukannya sendiri..." saya mengatur kata-kata sedemikian rupa.
Kening Ibu Sylvie berkerut-merut.
"Tapi itu kan salah....masa matahari warna biru, laut pink dan mata orang ada satu?"cetusnya perlahan.
"Nggak ada yang salah dalam ide dan kreativitas, yang bisa diajarkan oleh saya, sebagai tutornya cuma teknik menggunakan alat gambar serta sedikit teknik dasar menggambar – mungkin sedikit perspektif, rendering dan bentuk-bentuk , selebihnya, biarkan ide dan kreativitas Michelle terus berkembang – sendiri."saya berusaha menjelaskan, wah, lagak saya seperti Pak Primadi Tabrani saja.
"Tapi itu ngaco deh..."
Saya menghempaskan nafas. Sebal juga, ini ibu ngeyel banget sih! Saya berusaha merangkai kata lagi untuk meyakinkan Ibu Sylvie bahwa metode mengajar saya itu demi kebaikan Michelle juga.
"Saya Cuma nggak mau Michelle hanya mampu menggambar gunung biru, sawah, matahari terbit – seperti teman-temannya.."
"Yah, biar aja kan sama, asal bisa lebih bagus mah.."
&*$#^%^#*$!
"Masalahnya gini, Michelle itu dapet nilai jelek melulu di art classnya, kata gurunya Michelle ngaco. Terus kemarin pas ikutan lomba gambar, Michelle kalah – pas saya Tanya jurinya, kata mereka gambar Michelle ngaco." Jelas Ibu Sylvie panjang lebar.
Aku hanya bisa menghempaskan nafas. Metode yang saya terapkan pada Michelle adalah hasil serapan dari kuliah kreativitas salah seorang dosen saya. Beliau menjelaskan bahwa betapa salahnya jika dalam mengajarkan anak-anak, terutama menggambar, kita memakai ‘logika’ benar-salah orang dewasa, karena ini sama saja dengan mengatur dan menghambat daya imajinasi dan kreativitas anak-anak.
"Tapi Bu, kita kan nggak bisa ngatur anak-anak..."
"Anak-anak itu harus diatur karena mereka nggak tau mana yang salah mana yang benar." Potong ibu Sylvie cepat.
"Tap..."
"Yah gini aja deh.." intonasi Ibu muda ini menunjukkan bahwa ia gusar."Mbak mau nggak ngajar Michelle cara menggambar yang benar?" lanjutnya.
"Saya mengajar Michelle cara menggambar dan mengembangkan kreativitas yang benar" saya mulai ngeyel, walaupun sesaat saya jadi ragu - benar atau nggak ya metode saya?
"Bukan.. lupakan metode kreativitas apalah itu, saya Cuma pengen anak saya menggambar seperti anak-anak lainnya, nggak aneh sendiri gitu..."
Okay, maksudnya, ia ingin agar saya menyuruh Michelle menggambar suasana pedesaan yang indah, gunung biru, matahari terbit kuning, ada pohon kelapa menghijau, ada rumah mungil serta sawah yang menguning?
Entah kenapa, saya nggak rela membiarkan Michelle melakukan itu.
"Mmm, saya nggak tega Bu.." cetus saya pelan
"Yah sudah, kalau gitu, ini bayaran bulan ini. Dan maaf saja, mulai bulan depan, Michelle akan saya daftarkan ke Sanggar Ceria, kursus gambar yang udah banyak menghasilkan banyak juara-juara menggambar cilik..." kata bu Sylvie tegas sambil menyodorkan sebuah amplop putih. Bayaran bulan ini.
Tiba-tiba saya merasa lemas. Saya menerima amplop tersebut dengan tidak bersemangat. Ini adalah penghasilan terakhir – hilang sudah sebagian dari income bulanan.
"Terima kasih, Bu Sylvie." Jawab saya terbata.
"Sama-sama.." Bu Sylvie bangkit – langsung menuju ke ruang depan dan membuka pintu, rupanya ia ingin agar saya segera enyah dari rumah ini. Saya berjalan gontai.
"Permisi Bu.." pamit saya setelah berada di luar. Ia tidak menjawab.
Saya duduk di lantai teras yang bersih untuk memakai sepatu. Ketika berbalik, untuk berbasa-basi pamit lagi, pintu telah ditutup. Sialan! Saya melangkahkan kaki menuju pintu gerbang.
Namun langkah kaki ini terhenti, ketika...
"Ciiiiiii !" seseorang memanggil saya, pasti Michelle. Si cantik berpipi gembil dan berambut curly seperti Shirley Temple keluar dari garasi.
"Apa, Syel?" saya berdiri di hadapan gadis cilik itu.
Ia merengut.
"Cici Ga bakal ngajar Michelle lagi,yah?" tanyanya.
"Iya, kata Mamih, bulan depan kamu mau dimasukkin ke sanggar Ceria."
"Michelle ogah. Kata temen-temen, di sanggar itu gurunya galak-galak dan suka nyuruh gambar yang kita ga mau..." serunya dengan nada merajuk.
"Hmmm.. Tapi kan Mamih nyuruh kamu masuk ke sana."
"Michelle nggak mau..." ia ngeyel.
"Atau.. Cici dapet ide. Gini aja....kamu... " tiba-tiba terlintas sebuah ide di benak saya.
"Apaan,Ci?" Mata Michelle berbinar-binar menunggu.
"Kamu tetep gambar yang kamu mau dan suka aja. Kalo disuruh gambar matahari warnanya kuning, kamu bikin yang biru kayak kemarin, atau warna apa lah yang kamu mau..."
"Nanti kalo ditanya kenapa mataharinya biru?"
"ya kamu bilang aja, itu matahari diwaktu malam, warnanya biru." Saya menjawab sambil tidak bisa menahan cengiran.
Paras Michelle kembali cerah.
"MICHELLLE! KAMU KE MANA SIH? AYO KERJAIN PR..." tiba-tiba terdengar suara Ibu Sylvie dari dalam rumah.
Ups.
"Ci , Michelle harus masuk."
"Ya udah, sana masuk. Inget ya, tetep gambar apa yang kamu suka.."pesanku.
"Beres, Ci! And, walopun cici udah ga ngajar Michelle, kita tetep keep in touch ya?" tanyanya.
"Beres, ntar sms-an deh.." jawab saya geli.
"Okay, see you,Cici...Take care ya..."
"Ya, you too.." balas saya.
Hari itu, saya pulang dengan perasaan campur aduk.
"Mana janji untuk keep in touch? Nomer Cici ganti ya?" todongan pertanyaan Michelle menyadarkan saya, mengembalikan pikiran yang cukup lama melayang-layang ke masa itu.
Saya hanya menyeringai, karena satu dan lain hal, awal tahun 2005, saya memutuskan untuk mengganti nomor ponsel dan lupa memberi tahu Michelle.
"Iya, ganti... ya udah, tuker nomer lagi deh..."
Pertemuan itu berakhir dengan pertukaran nomor telepon, ia harus masuk ke ruang praktek dan saya harus pulang.
Recent Artworks in Gallery
Recent Posts in Blog
0
komentar