Membebaskan sepenuhnya cara berpikir serta berperilaku dari konstruksi sosial buatan budaya patriarki ternyata adalah hal yang benar-benar susah untuk dilakukan, atau setidaknya itulah yang saya rasakan. Bukannya tidak jarang saya, tanpa sadar, terjebak mengikuti arus pemikiran budaya ini, bahkan kemudian berperan sebagai pemandu sorak yang mendukung. Gaswat,nih!
Mungkin candaan Bapak Snydez memelesetkan budaya patriarki sebagai aki-aki [kakek-kakek] patri yang hebat,benar adanya. Konstruksi budaya ini sudah aki-aki, tapi kok ya nggak impoten-impoten juga. :D
Saya jadi ingat salah seorang kawan, sambil berseloroh berkata "mikir amat sih, soal reputasi perempuan baik-baik!", ketika suatu waktu beberapa tahun yang lalu terlalu kuatir terlihat 'murah' karena ragu untuk membeli sebuah atasan halter neck hitam. Padahal saya suka sekali modelnya dan yakin akan terlihat seksi di dalamnya, dan hehehe, saya harus mengakui ini : sebenarnya saya senang menampilkan seksualitas saya sebagai perempuan. ;-). Bukan dari segi penampilan saja, tapi dari sikap, gesture, cara berbicara dan segala aspek dalam kehidupan saya. Tapi kesenangan tersebut berkali-kali harus saya tekan, karena takut disebut bukan perempuan baik-baik.
Padahal, dikotomi perempuan baik-baik dan perempuan tidak baik-baik murni konstruksi dari budaya patriarki. Bagi budaya ini, seorang perempuan haruslah bersikap keibuan, lembut, mengayomi, lemah-lembut, sensitif, harus dilindungi, tidak menampilkan seksualitas, pasif dan seterus-seterusnya, nilai-nilai inilah yang kemudian disebarkan oleh budaya patriarki untuk mendefinisikan 'perempuan baik-baik' - di luar itu, seorang perempuan akan dilabeli sebagai perempuan tidak baik-baik.
Jadi jangan heran, jika kemudian terdapat mitos perempuan suci dan baik : mengenakan busana tertutup, tidak menampilkan seksualitas, pasif dan seterusnya. Jika seorang perempuan tampil dengan busana terbuka, menampilkan seksualitas, agresif pasti label 'cewek nggak bener' akan melekat pada dirinya.
Lihatlah, betapa mudahnya saya terjebak dalam nilai-nilai yang telah dikonstruksi sedemikian rupa oleh budaya ini. Tiba-tiba saya mempercayai nilai-nilau hasil konstruksi tersebut dan menekan keinginan saya untuk menjadi agresif serta menampilkan potensi seksual yang saya miliki [halah!], baik dari gesture, cara berbusana, berperilaku, berpikir dan seterusnya.
Padahal, nggak ada yang salah dengan menampilkan potensi seksual perempuan, ini kan salah satu cara mengekspresikan diri dan berbangga menjadi perempuan. :)
Lebih jauh lagi, aduh, saya cukup malu mengatakan ini - setelah menjadi pengecut dengan merepresi potensi seksual atas nama reputasi perempuan baik-baik, saya juga dengan sok taunya berprinsip 'perempuan jangan jadi objek dan jangan membuat dirinya jadi objek'
Tapi sayangnya prinsip demikian membuat saya bersikap menghakimi orang-orang [perempuan].
Saya ingat pernah melihat seorang perempuan yang luar biasa seksi di sebuah mall, dipandangi begitu rupa dari atas ke bawah oleh setiap laki-laki. Saat itu saya langsung menarik kesimpulan bahwa perempuan tersebut telah menjadi objek [fantasi/selera] laki-laki.
Lalu di kali lain, dalam perjalanan menggunakan bus malam beberapa tahun yang lalu dalam perjalanan Bandung - Yogyakarta [saat itu Inul sedang jaya-jayanya dijadikan bahan omongan gara-gara goyang ngebornya] dan kebetulan mendapat hiburan berupa pemasangan VCD kompilasi penampilan Inul saat ia masih menjadi penyanyi lokal di Pasuruan. Laki-laki di sebelah saya domblong [melongo] sedangkan dua laki-laki yang duduk diagonal dari bangku saya berulang-ulang berkata 'anjis, erotis banget.' --- simpulan saya waktu itu adalah : Inul, objek.
Atau jika perempuan terlalu sibuk memoles penampilan fisiknya, maka saya akan segera menghakimi 'Gitu-gitu amat sih, mau memenuhi selera/fantasi laki-laki ya? Mau jadi objek ya?'
Yap, dengan mudahnya saya berkata demikian [bahkan kadang-kadang dengan merendahkan] ketika melihat kejadian perempuan membuat laki-laki terbengong-bengong dan terkaing-kaing karena berani menampilkan potensi seksualnya.
Padahal dengan berprinsip seperti itu, berarti saya juga telah membatasi [dan cenderung menyalahkan] semua perempuan yang berani menampilkan potensi seksualnya. Padahal, sekali lagi, nggak ada yang salah dengan menampilkan potensi seksual perempuan, kalau memang perempuan-perempuan tersebut menyadari dan ingin mengeksplorasi hal tersebut. Itu adalah pilihannya, yang dipilih secara sengaja, sadar dan bertanggung jawab atas resiko yang akan dihadapinya [saya percaya perempuan seksi di mall dan Inul, pasti memilih demikian dengan sengaja, sadar dan tanggung jawab - mengingat masyarakat masih terjebak dengan pola pikir perempuan baik dan tidak].
Kalau pun pada akhirnya mereka disuit-suiti diberi label nggak bener, bahkan dikritik oleh banyak orang sebagai perempuan bodoh yang mau dijadikan objek atau dieksploitasi, lalu kenapa? Kan mereka sadar melakukan itu. Justru disitulah letak kebebasannya, mereka bisa mengekspresikan diri[keperempuanannya] dengan nyaman, tanpa perduli orang mau berpikir apa. Seorang perempuan bebas melakukan apa yang dia maui, tanpa kuatir apa pun. Seperti cuplikan dari lirik lagu In Your Mind-nya Anggun :
`cause a woman should do
What she wants to do
There is no reason
For your shallow aggravation
Nothing wrong with this dress I wear
Nothing wrong with this smile I dare
Nothing wrong with my long back hair
I'ts all in your mind, in your mind
Jadi, kalau orang berpikir sing mboten-mboten, ya salah sendiri. :)
Saya teringat perkataan pria-terkeren-di-dunia, Bapak saya. Salah satu kalimat yang sering dikatakan beliau untuk menyemangati saya belajar sesuatu adalah : 'Kamu pribadi adalah kamu yang ada di dalam pikiranmu', maksudnya, ketika saya menyakini sesuatu dalam pikiran saya, maka itulah saya. Jadi, seperti waktu saya belajar berenang, menaiki sepeda dan bermain sepatu roda, ketika saya bilang 'nggak bisa' maka nggak bisa lah saya, ketika saya bilang 'susah' maka susahlah berenang, menaiki sepeda dan bermain sepatu roda itu. Mungkin itu juga yang terjadi pada perempuan-perempuan [termasuk saya] : semakin sering berkata bahwa kita adalah objek atau korban, maka kita memang objek atau korban. :)
Oh ya, perempuan seksi di mall, Inul, mbak-mbak pedandan, bahkan kalau mau dibalikkan, sebenarnya adalah 'subjek', tepatnya 'objek' yang menjadi 'subjek' dan semua orang yang melihat mereka sambil terkaing-kaing adalah murni objek yang mereka kendalikan karena mereka berani melakukan apa yang mereka ingin lakukan.
Seperti pembahasan Aquarini Prabasmoro dalam buku ini tentang Hiroko, tokoh seorang penari telanjang di 'Namaku Hiroko' sebuah novel karya NH.Dini. Ia bisa mentertawakan penonton [laki-laki] yang terplonga-plongo melihatnya.
"...sebagai penari telanjang, ia menyajikan permainan birahi yang lebih merupakan ilusi.Laki-laki penontonnya diperdaya dengan seksualitas perempuan yang dibesar-besarkan, dibuat percaya bahwa tubuh yang dilihatnya dapat dimiliki, dan ketika pertunjukkan usai, ilusi pun hilang..." (AP, 2006 hlm 158)-- [sial, saya membaca novel ini waktu SMP dan waktu itu hal beginian sama sekali nggak keotakan. Saya malah berpikir, kok mau-maunya si Hiroko ini jadi obyek.]
Lalu, menyoal Inul, banyak yang menganggap bahwa dia adalah sosok perempuan yang tereksploitasi karena goyang ngebornya, dianggap bahwa Inul telah menjadi objek pemuas selera dan fantasi laki-laki mengenai perempuan.
Padahal jika dipikir lagi, Inul itu menjadi objek hanya dalam pikiran audiensnya, pada kenyataannya? Sama seperti Hiroko, ia hanya menampilkan ilusi, mempermainkan benak audiens. Lagipula dengan goyang ngebornya kemudian ia bisa membuka karaoke keluarga berlabel Inul Vista, sampai tujuh cabang! [informasi ini saya dapat dari salah satu infotainment sebulan yang lalu, entah kalau sekarang cabangnya nambah lagi.Hehe]. Belum lagi Djeung Madonna yang kagak ada matinya itu, ia dengan begitu berani menampilkan potensi seksualnya biar pun diprotes sana sini oleh kaum agama, moralis dan entah apa lah, serta mempermaikan benak para audiens. Dengan itu...., ia kaya raya, Gila! :D
Yah begitu lah, selama saya belum bisa berani menampilkan potensi seksual saya, berarti saya belum bebas. Selama saya belum terlepas dari konsep perempuan baik - perempuan tidak baik, saya juga belum bebas. Selama saya terus menerus berkata bahwa 'perempuan adalah objek', maka 'perempuan(saya) itu memang objek' dan itu berarti saya belum bebas . Dan ini yang gawat lagi, ketika saya masih dengan seenaknya saya bersikap judgmental terhadap perempuan-perempuan lain, berarti saya juga belum bebas.
Ilustrasi diperoleh dari Corbis dengan keyword : sexuality.
*Sebuah pemikiran yang tiba-tiba terbersit ketika ketawa-ketawa gila sambil jejingkrakan nonton konser Anggun, Sabtu kemarin bersama-sama dengan Melly, Mbak Okol, Dinda dan dua teman baru [maafkeun, saya kok lupa ya namanya? *bletagh*]. Anggun itu seksi banget dan dia sadar serta menampilkan itu dengan nyaman. Itu yang membuatnya keren.
Recent Artworks in Gallery
Recent Posts in Blog
0
komentar