0
komentar
Menghabiskan makan siang bersamanya menjadi sebuah rutinitas yang menyenangkan bagi saya akhir-akhir ini. Setelah itu, untuk membuang sisa menit istirahat, kami akan mengunjungi salah sebuah taman kota untuk duduk di salah satu bangku favorit kami.
Siang ini, seperti siang-siang yang lain, saya duduk bersisian dengannya, di bangku yang sama. Mengobrolkan banyak hal, apa yang saya alami di kantor, apa yang ia alami di kantor. Kali ini ia bercerita tentang bossnya yang sedang keluar kota. Saya mengamati wajahnya dengan seksama ketika ia bercerita.
Wajah itu selalu terlihat tanpa senyum, sampai-sampai saya sering menggodanya,"Bar,kamu tuh saking jarangnya senyum, bisa-bisa pas senyum muka kamu retak kali ya?". Seperti biasa, laki-laki itu hanya menyunggingkan sedikit.. catat; sedikiiiit senyum di bibir, lalu beberapa detik kemudian menghilang.
Tapi saya selalu bisa melihat tatapan teduhnya. Baruna, laki-laki yang kini telah mengisi hari-hari saya, yang mendengarkan celoteh saya tentang banyak hal, yang tertawa sejenak mendengarkan lelucon saya yang kadang tidak lucu, yang meredakan kemarahan-kemarahan saya pada hubungan terdahulu, yang selalu memainkan gitar setiap malam melalui telepon untuk menutup pembicaraan panjang lebar kami.
Baruna, laki-laki yang kini menjadi candu saya.
Mengingat apa yang sudah kami alami bersama selama ini, tiba-tiba hati saya melonjak, bahagia.
"Sayang kamu, Baruna.." cetus saya, tanpa memperdulikan apakah ia sudah selesai bercerita atau belum, tidak tertahankan lagi. Seperti biasa laki-laki itu hanya tersenyum simpul, tanpa menjawab. Selalu begitu, padahal sungguh, saya ingin mendengarnya berkata,"Sayang kamu juga.."
"Bar, sayang kamu..." kali ini nada saya sedikit memaksa.
Lagi-lagi ia hanya tersenyum.
"Baaar, saya sayang kamu,lho..." ya,ya, saya tahu, intonasi suara saya sudah terdengar intimidatif, saya rasa ia pun merasakan itu.
"Juga..." ia menjawab singkat.
"Juga apa?"
"Juga itu..."
"Itu apa?"
"Yaaa.. itu..." wajahnya memerah.
Saya geli melihat ekspresi wajahnya.
"Bar.."
"Ya?"
"Susah ya, buat kamu untuk bilang 'sayang kamu' ?" tanya saya.
"Agak..."
"Kenapa?"
"Nggak biasa..."
"Kok? Memang kamu nggak pernah ngomong kayak gitu?"
"nggak.."
"Sama ibu kamu?"
"Nggak.."
Sebagai orang yang tumbuh di tengah-tengah keluarga yang begitu ekspresif, di mana setiap saat saya bisa mengatakan 'Sayang,Bunda...", atau ,"Sayang,Eyang.." - mendengar bahwa ada orang yang tidak bisa berkata demikian pada orang yang disayangi adalah.. hm.. aneh?
"Lagipula, Liv.. masa nggak kerasa kalau saya..ehm.. itu juga sama kamu?" tanya Baruna.
"Itu juga, apa?"
"Ya itu... masa nggak kerasa?" wajahnya kembali memerah.
Ya, sungguh, saya sangat merasakan bahwa Baruna begitu menyayangi saya. Setiap hal kecil yang ia lakukan, entah mengingatkan untuk makan siang atau malam lewat telepon, entah melarang saya membalas sms ketika menyetir, entah mendengarkan omong kosong tentang mimpi-mimpi-yang-tak-kunjung-kesampaian yang saya miliki, entah untuk meladeni saya ketika saya mengajaknya untuk mengerjakan project iseng... simply semua hal, membuat saya yakin, bahwa ia menyayangi saya.
"Hm, nggak kerasa, tuh... abis kamu nggak pernah bilang sih..." saya mencibir.
"Bukannya yang penting tindakan, bukan kata-kata?"
"Ah, saya pengen ngedenger kamu bilang itu."
"Untuk?"
"Pengen aja..saya pengen denger kamu bilang, supaya saya yakin bahwa kamu benar-benar sayang. Kalau sekarang kan, saya ragu-ragu." Sesungguhnya saya berbohong, tidak sekali pun saya meragukan sayangnya pada saya.
"Ah..kamu tuh.."
"Hm, dua minggu lagi kan saya pergi... kalau ternyata misalnya terjadi satu dan lain hal, misalnya ada gempa susulan, atau gunung meletus, dan saya jadi korban...lalu saya nggak balik gimana? Kamu tega ngebiarin saya pergi penasaran? Lalu kamu yakin nggak bakal nyesel nggak pernah sempat ngomong sayang sama saya?" tanya saya.
Baruna terdiam. Cukup lama, ia menatap saya dalam.
"Jangan ngomong macam-macam.." ia mendelik, terlihat kekuatiran di binar matanya.
"Makanya..."
"Livia, sudahlah. Saya tidak bisa, atau tepatnya tidak terbiasa seekspresif kamu dalam mengungkapkan perasaan. Dari kecil, saya tidak pernah dibiasakan seperti itu dalam keluarga saya..."
"Tapi kaaaan...."
"Lagipula, bagi saya kalau terlalu sering disebut, maknanya bisa hilang..."
"Nggak mungkin... kalau kamu mengucapkannya dengan tulus, sesering apa pun disebutkan, maknanya tidak akan pernah hilang..."
"Ngeyel."
"Biar, ngeyel is my middle name.."
"Selain belagu dan ngeselin?"
"Yah itu juga..."saya terkekeh.
Kami berdua diam. Saya mengalihkan pandangan ke arah orang-orang yang berlalu lalang.
"Eh Bar, Bar... tau nggak?" saya menggenggam lengan kokohnya dengan lembut
"Apa?" ia balas menggenggam.
"Mengucapkan 'Sayang kamu', sama bahagianya dengan menerima ucapan itu,lho.."
Baruna tidak menjawab, ia hanya memandang saya lama. Genggaman lengannya semakin erat.
"Sayang kamu, Bar..." saya berusaha lagi, memecah keheningan.
"Juga.."
Akhirnya saya menyerah. Baruna memang begitu, susah berubah. Ia sangat susah untuk mengekspresikan perasaannya lewat kata-kata. Yah, sudahlah.
"Bar... saya harus kembali ke kantor lagi... " cetus saya ketika tanpa sengaja pandangan saya jatuh pada arloji yang melilit pergelangan tangannya. Jam 13.15.
"Ya sudah, saya juga harus kembali ke kantor. Mau diantar?"
"Nggak usah.." saya berdiri,"Sampai nanti,Bar.."
"Sampai nanti,Liv.."
Saya berbalik, melangkah menuju arah kantor.
Baru saja beberapa langkah berjalan, saya merasakan ponsel saya bergetar di dalam kantung celana panjang. Segera saya raih.
1 New Message.
Saya tekan tombol 'read'. Terlihatlah sederet pesan pendek.
Hati saya melonjak.
Saya menoleh, ke arah kami tadi berpisah, bangku itu telah kosong. Sosok Baruna terlihat melangkah sambil menunduk. Saya berbalik, menatap punggung Baruna yang terlihat semakin lama semakin menjauh.
Saya melanjutkan langkah kaki dengan ringan dan senyuman tersungging di bibir.
Siang ini, seperti siang-siang yang lain, saya duduk bersisian dengannya, di bangku yang sama. Mengobrolkan banyak hal, apa yang saya alami di kantor, apa yang ia alami di kantor. Kali ini ia bercerita tentang bossnya yang sedang keluar kota. Saya mengamati wajahnya dengan seksama ketika ia bercerita.
Wajah itu selalu terlihat tanpa senyum, sampai-sampai saya sering menggodanya,"Bar,kamu tuh saking jarangnya senyum, bisa-bisa pas senyum muka kamu retak kali ya?". Seperti biasa, laki-laki itu hanya menyunggingkan sedikit.. catat; sedikiiiit senyum di bibir, lalu beberapa detik kemudian menghilang.
Tapi saya selalu bisa melihat tatapan teduhnya. Baruna, laki-laki yang kini telah mengisi hari-hari saya, yang mendengarkan celoteh saya tentang banyak hal, yang tertawa sejenak mendengarkan lelucon saya yang kadang tidak lucu, yang meredakan kemarahan-kemarahan saya pada hubungan terdahulu, yang selalu memainkan gitar setiap malam melalui telepon untuk menutup pembicaraan panjang lebar kami.
Baruna, laki-laki yang kini menjadi candu saya.
Mengingat apa yang sudah kami alami bersama selama ini, tiba-tiba hati saya melonjak, bahagia.
"Sayang kamu, Baruna.." cetus saya, tanpa memperdulikan apakah ia sudah selesai bercerita atau belum, tidak tertahankan lagi. Seperti biasa laki-laki itu hanya tersenyum simpul, tanpa menjawab. Selalu begitu, padahal sungguh, saya ingin mendengarnya berkata,"Sayang kamu juga.."
"Bar, sayang kamu..." kali ini nada saya sedikit memaksa.
Lagi-lagi ia hanya tersenyum.
"Baaar, saya sayang kamu,lho..." ya,ya, saya tahu, intonasi suara saya sudah terdengar intimidatif, saya rasa ia pun merasakan itu.
"Juga..." ia menjawab singkat.
"Juga apa?"
"Juga itu..."
"Itu apa?"
"Yaaa.. itu..." wajahnya memerah.
Saya geli melihat ekspresi wajahnya.
"Bar.."
"Ya?"
"Susah ya, buat kamu untuk bilang 'sayang kamu' ?" tanya saya.
"Agak..."
"Kenapa?"
"Nggak biasa..."
"Kok? Memang kamu nggak pernah ngomong kayak gitu?"
"nggak.."
"Sama ibu kamu?"
"Nggak.."
Sebagai orang yang tumbuh di tengah-tengah keluarga yang begitu ekspresif, di mana setiap saat saya bisa mengatakan 'Sayang,Bunda...", atau ,"Sayang,Eyang.." - mendengar bahwa ada orang yang tidak bisa berkata demikian pada orang yang disayangi adalah.. hm.. aneh?
"Lagipula, Liv.. masa nggak kerasa kalau saya..ehm.. itu juga sama kamu?" tanya Baruna.
"Itu juga, apa?"
"Ya itu... masa nggak kerasa?" wajahnya kembali memerah.
Ya, sungguh, saya sangat merasakan bahwa Baruna begitu menyayangi saya. Setiap hal kecil yang ia lakukan, entah mengingatkan untuk makan siang atau malam lewat telepon, entah melarang saya membalas sms ketika menyetir, entah mendengarkan omong kosong tentang mimpi-mimpi-yang-tak-kunjung-kesampaian yang saya miliki, entah untuk meladeni saya ketika saya mengajaknya untuk mengerjakan project iseng... simply semua hal, membuat saya yakin, bahwa ia menyayangi saya.
"Hm, nggak kerasa, tuh... abis kamu nggak pernah bilang sih..." saya mencibir.
"Bukannya yang penting tindakan, bukan kata-kata?"
"Ah, saya pengen ngedenger kamu bilang itu."
"Untuk?"
"Pengen aja..saya pengen denger kamu bilang, supaya saya yakin bahwa kamu benar-benar sayang. Kalau sekarang kan, saya ragu-ragu." Sesungguhnya saya berbohong, tidak sekali pun saya meragukan sayangnya pada saya.
"Ah..kamu tuh.."
"Hm, dua minggu lagi kan saya pergi... kalau ternyata misalnya terjadi satu dan lain hal, misalnya ada gempa susulan, atau gunung meletus, dan saya jadi korban...lalu saya nggak balik gimana? Kamu tega ngebiarin saya pergi penasaran? Lalu kamu yakin nggak bakal nyesel nggak pernah sempat ngomong sayang sama saya?" tanya saya.
Baruna terdiam. Cukup lama, ia menatap saya dalam.
"Jangan ngomong macam-macam.." ia mendelik, terlihat kekuatiran di binar matanya.
"Makanya..."
"Livia, sudahlah. Saya tidak bisa, atau tepatnya tidak terbiasa seekspresif kamu dalam mengungkapkan perasaan. Dari kecil, saya tidak pernah dibiasakan seperti itu dalam keluarga saya..."
"Tapi kaaaan...."
"Lagipula, bagi saya kalau terlalu sering disebut, maknanya bisa hilang..."
"Nggak mungkin... kalau kamu mengucapkannya dengan tulus, sesering apa pun disebutkan, maknanya tidak akan pernah hilang..."
"Ngeyel."
"Biar, ngeyel is my middle name.."
"Selain belagu dan ngeselin?"
"Yah itu juga..."saya terkekeh.
Kami berdua diam. Saya mengalihkan pandangan ke arah orang-orang yang berlalu lalang.
"Eh Bar, Bar... tau nggak?" saya menggenggam lengan kokohnya dengan lembut
"Apa?" ia balas menggenggam.
"Mengucapkan 'Sayang kamu', sama bahagianya dengan menerima ucapan itu,lho.."
Baruna tidak menjawab, ia hanya memandang saya lama. Genggaman lengannya semakin erat.
"Sayang kamu, Bar..." saya berusaha lagi, memecah keheningan.
"Juga.."
Akhirnya saya menyerah. Baruna memang begitu, susah berubah. Ia sangat susah untuk mengekspresikan perasaannya lewat kata-kata. Yah, sudahlah.
"Bar... saya harus kembali ke kantor lagi... " cetus saya ketika tanpa sengaja pandangan saya jatuh pada arloji yang melilit pergelangan tangannya. Jam 13.15.
"Ya sudah, saya juga harus kembali ke kantor. Mau diantar?"
"Nggak usah.." saya berdiri,"Sampai nanti,Bar.."
"Sampai nanti,Liv.."
Saya berbalik, melangkah menuju arah kantor.
Baru saja beberapa langkah berjalan, saya merasakan ponsel saya bergetar di dalam kantung celana panjang. Segera saya raih.
1 New Message.
Saya tekan tombol 'read'. Terlihatlah sederet pesan pendek.
- Livia, sayang kamu juga, banget. :">
sender:
Baruna
+6281********
Hati saya melonjak.
Saya menoleh, ke arah kami tadi berpisah, bangku itu telah kosong. Sosok Baruna terlihat melangkah sambil menunduk. Saya berbalik, menatap punggung Baruna yang terlihat semakin lama semakin menjauh.
Saya melanjutkan langkah kaki dengan ringan dan senyuman tersungging di bibir.
Hey you, yes you! Sayang kamu!
And this entry is just for you! ;-)
current mood : happy.
current song : Right Here Waiting - Richard Marx.