"...Dikotomi perempuan-lelaki adalah topik utama kaum feminis : dunia ini tidak adil terhadap perempuan, karena kebudayaan dunia merupakan manifestasi penindasan lelaki terhadap perempuan - sengaja atau tidak, dunia ini menguntungkan lelaki..... Apa boleh buat, hal itu memang terbukti. Bahkan berlangsung internalisasi nilai-nilai patriarki dalam diri kaum perempuan sendiri. Seolah-olah nasib malang kaum perempuan adalah kodrat.."
Berikut cuplikan pengantar Seno Gumira Ajidarma untuk Calonarang: Kisah Perempuan Korban Patriarki, prosa lirik karya Toeti Heraty. Entah kenapa, saya langsung setuju. Kebudayaan berlandaskan sistem patriarki memang selalu tidak adil terhadap eksistensi perempuan.
Sebagian besar pria pasti akan memungkiri kenyataan ini, bahkan dengan gagahnya mereka berkata "Saya tidak pernah berlaku tidak adil dan menindas perempuan."
Bolehlah, bisa jadi secara individual mereka (pikir mereka) tidak. Tapi, ada hal yang harus dicatat bahwa masyarakat sudah sangat terbiasa dengan pola pikir sistem patriarki, sehingga pada akhirnya seluruh ketidakadilan dan penindasan kemudian dianggap menjadi hal yang memang seharusnya begitu. Laki-laki, ditempatkan sebagai sosok superior. Perempuan, inferior. Sudah, begitu, titik. Period.
Ada banyak hal yang bisa dijadikan contoh tapi mungkin saja luput dari perhatian. Lihat berita-berita pemerkosaan, ketika membincang perlakuan biadab sang laki-laki, maka kata gagah-lah yang digunakan : menggagahi. Seolah-olah, perbuatan tersebut menunjukkan superioritas laki-laki, untuk gagah-gagahan. Tapi sebaliknya dalam buku atau artikel-artikel tips dan trik menjadi istri yang dicintai suami, kata-kata yang sering tertera adalah melayani.
Ketidakadilan ini juga muncul di acara-acara TV (yang seharusnya mengedukasi masyarakat). Lihat citra sebuah keluarga yang kerap ditayangkan sinetron. Laki-laki menjadi pencari nafkah di luar rumah, sedangkan istri berkutat menjadi dewi domestik (atau ratu rumpi arisan? Ha!). Ketika suami pulang, istri sudah siap sedia menyambut dengan senyum manis membawakan tas suami dan menyiapkan makan malam dan seterusnya. Bahkan dalam sinetron rohani yang 'kagak ade matinye' itu – sering istri ditampilkan sebagai sosok penyabar yang dizalimi, mengabdi membabi buta pada suaminya yang notabene adalah laki-laki brengsek.
Masih ada lagi, citra ibu sempurna dalam berbagai iklan perlengkapan rumah tangga dan makanan yang selalu digambarkan sebagai perempuan cantik nan lemah lembut, yang dengan terampilnya, menyetrika, mencuci pakaian keluarga, membuat masakan yang luar biasa enak. (walaupun saya sering bingung, memang bisa ya, kerja begitu keras memeras jeruk *alah, ketularan*, dengan pakaian super rapi, tapi tubuh tidak berkeringat, wajah tetap berseri, make up tidak luntur? Hmm.)
Memang, tidak ada yang salah dengan menjadi perempuan cantik nan lemah lembut dan terampil dalam pekerjaan rumah tangga, tentunya. Tapi alangkah tidak adilnya, ketika perempuan cantik nan lemah lembut dan terampil dalam pekerjaan rumah tangga tersebut dijadikan sebagai sebuah konvensi.
Bahwa untuk menjadi perempuan sempurna, haruslah seperti yang ditampilkan di media massa. Akan lebih parah lagi, jika konvensi tersebut, kemudian dibakukan sebagai sesuatu yang disebut kodrat (BTW, bukan 'kemudian dibakukan' tapi kalau melihat keadaan sekarang 'sudah dibakukan'.)
Kalau sudah begini, perempuan jadi tidak punya pilihan; jangankan melakukan, atau dengan keras berbicara mengenai ingin jadi apa dan ingin hidup seperti apa, memiliki pemikiran nyeleneh dari citra perempuan 'sempurna' (yang sebenarnya konvensi bersama akibat terlalu terbiasa dengan pola pikir patriarki) saja tabu. Semuanya akan dikembalikan pada kata 'kodrat'.
Ehm, jadi ingat, saya pernah dinasehati "jangan lupa kodrat",ketika berbicara mengenai pilihan hidup pada seorang kawan.:)
Padahal, apa sih kodrat itu?
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, definisi dari kodrat sendiri adalah :
- Kod.rat n 1 kekuasaan (Tuhan): manusia tidak akan mampu menentang –-- atas dirinya sbg mahluk hidup; 2 hukum (alam): benih itu tumbuh menurut ----nya; 3 sifat yang asli; sifat bawaan: kita harus bersikap dan bertindak sesuai dengan --- kita masing-masing.
Merujuk dari definisi di atas, jelas sekali bahwa kodrat kurang-lebih berarti : keadaan yang diberikan oleh Tuhan pada mahluk hidup, yang tidak bisa ditolak atau dipungkiri lagi.
Perempuan memiliki payudara, vagina dengan labia mayora dan minoranya, vulva, rahim, hormon progesteron itu adalah kodrat. Saya tidak bisa menolaknya, karena saya perempuan. Lalu, semua hal, yang tersangkut paut dengan keadaan-keadaan tersebut adalah kodrat, mulai dari sindroma jelang menstruasi yang menyebalkan, birahi, ketertarikan seksual terhadap lawan jenis, sampai panggilan-panggilan keibuan seperti yang saya alami kemarin-kemarin.
Banyak anggapan yang salah mengenai perempuan-perempuan yang menentang ketimpangan gender, mereka berpikir bahwa perempuan-perempuan seperti itu ingin menjadi sama seperti laki-laki. Saya percaya, baik mereka maupun saya, sangat mencintai diri kami sebagai perempuan, tidak sekalipun kami ingin menjadi laki-laki apa pun yang terjadi. (Saya tidak bisa membayangkan, jika bangun di suatu pagi, mendapati adanya tonjolan di selangkangan dan leher saya, lalu tonjolan di dada saya menghilang – hah, males!)
Hal-hal lain di luar apa yang sudah disebutkan di atas adalah pilihan. Ingin seperti perempuan sempurna yang ada di media massa, yo monggo – tapi bukan berarti semua perempuan harus begitu dengan mengatasnamakan kodrat.
Maaf, saya sedang agak gemas mendengar betapa kodrat perempuan sering digunakan untuk hal-hal yang salah, yang bisa menimbulkan kesalahan perlakuan terhadap perempuan sendiri.