0
komentar
"Gue mau nikah. Januari tahun depan."
"Hah? Serius lo?"
"Serius."
"Sama siapa?"
"Ada, temen kantor gue..."
"Udah lama kenalnya?"
"Baru seminggu. Dan dia bilang dia mau serius sama gue."
"Lo cocok sama dia?"
"Ngng.. nggak tau. Itu gimana ntar."
"Ah, lo gila! Kenapa sih tiba-tiba lo jadi kayak CKK* gini?"
"Mmm.. gue capek melajang kayak gini. Pengen berlabuh dan hidup tenang. Tu cowok kayaknya baik, tergila-gila sama gue malah."
"Alasan lo konyol."
"Lagian, gue pengen punya anak."
"Emang lo siap nikah?"
"Mmm.. tau deh, siap kali..."
"...."
"Umur gue dua taun lagi 30, say..."
"Sama kan, sama gue....So?"
"Yah, intinya, gue cuma pengen kayak cewek-cewek kebanyakan, di umur kepala 3, sudah berkeluarga, punya anak dan hidup tenang. Emang lo nggak pengen gitu?"
"Mmmm.. blom kepikir."
"Ah, nanti kalo lo liat gue merit, lo pasti bakal pengen juga..."
"Belum tentu. Lingkungan gue semua cewek-ceweknya udah pada nikah, even yang lebih muda, tapi gue sama sekali nggak tergerak tuh...."
"Hah? Serius lo?"
"Serius."
"Sama siapa?"
"Ada, temen kantor gue..."
"Udah lama kenalnya?"
"Baru seminggu. Dan dia bilang dia mau serius sama gue."
"Lo cocok sama dia?"
"Ngng.. nggak tau. Itu gimana ntar."
"Ah, lo gila! Kenapa sih tiba-tiba lo jadi kayak CKK* gini?"
"Mmm.. gue capek melajang kayak gini. Pengen berlabuh dan hidup tenang. Tu cowok kayaknya baik, tergila-gila sama gue malah."
"Alasan lo konyol."
"Lagian, gue pengen punya anak."
"Emang lo siap nikah?"
"Mmm.. tau deh, siap kali..."
"...."
"Umur gue dua taun lagi 30, say..."
"Sama kan, sama gue....So?"
"Yah, intinya, gue cuma pengen kayak cewek-cewek kebanyakan, di umur kepala 3, sudah berkeluarga, punya anak dan hidup tenang. Emang lo nggak pengen gitu?"
"Mmmm.. blom kepikir."
"Ah, nanti kalo lo liat gue merit, lo pasti bakal pengen juga..."
"Belum tentu. Lingkungan gue semua cewek-ceweknya udah pada nikah, even yang lebih muda, tapi gue sama sekali nggak tergerak tuh...."
Itu adalah sepenggal percakapan antara saya dan Dee, seorang sahabat pada pertemuan terakhir kami di sebuah kedai kopi a la Belanda di bilangan Ciumbuleuit. Hampir saya menyemburkan kembali fruit tea yang baru saya sesap ketika mendengar berita itu.
Saya memusatkan perhatian pada dirinya selama ia bercerita. Ini benar-benar aneh... sungguh saya terkejut, karena selama 10 tahun bersahabat, tidak pernah sekalipun terlihat dia pacaran serius, ia berganti-ganti pacar sesering ia berganti celana dalam.
Lah, tiba-tiba sekarang dia bilang dia mau menikah, dengan orang yang tidak begitu dikenalnya pula, dan alasannya... aduh! Menikah untuk hidup tenang - yang bagi saya itu adalah mitos belaka.
Mungkin ia, seperti kebanyakan orang-orang, terdoktrin oleh dongeng pernikahan Cinderella atau putri-putri rekayasa Walt Disney dengan pangerannya masing-masing.. sebuah pernikahan ideal ber-tagline andalan : .. and they live happily ever after. Sehingga tidak terpikir, bahwa menikah itu bukan sekedar berbahagia dengan pasangan dan beranak pinak, melainkan memiliki komitmen berpartner yang seimbang dan membutuhkan kesiapan mental, kebijaksanaan, kematangan dan kemantapan diri.
Sahabat saya memang edan. Bagus kalau ternyata dia dan pasangan bisa berbahagia seperti yang diinginkannya, tapi coba kalau ternyata kenyataannya lain? Yuk, ini ada worst case scenario : ternyata mereka tidak cocok satu sama lain dan Dee sama sekali tidak bahagia dalam kehidupan rumah tangganya. (But, as a best friend, i really hope the best for her.)
Saya tidak sepenuhnya menyalahkan Dee, karena saya tahu lingkungannya jauh lebih penuntut dari lingkungan yang saya miliki. Keluarga Dee itu terbawa arus yang mempercayai konvensi menikah adalah suatu keharusan dan kalau tidak menikah, itu nista (jangankan memutuskan untuk tidak menikah, menikah di usia tua saja sudah merupakan mimpi buruk, kaleee!)
Nggak kok, saya tidak anti pernikahan, saya hanya tidak pernah menganggap bahwa pernikahan itu adalah kewajiban ber-deadline. Kalau memang tidak siap, buat apa maksa apalagi karena dikejar deadline buatan masyarakat?
Bagi saya, menikah itu, bukan soal 'Gimana ntar deh...pokoknya sebelum 30 gue kudu menikah'. Menikah adalah keputusan yang sangat besar, yang nggak bisa diambil sembarangan.
"Emang lo ga mau nikah?"
"Mmm, gue ga bilang gitu kan? Mungkin iya, mungkin enggak. Gue gak mematok umur, say. Gue cuma percaya semua punya waktu dan jalan masing-masing. Kalo emang waktunya tiba, gue percaya, saat itu gue udah siap, mantap dan jauh lebih bijaksana dari sekarang."
"Kalau itu kejadiannya pas lo udah, let's say.. 40 tahun?"
"Ya ga masalah. Pun kalau jalan gue gak menikah, ya ga masalah juga.... gue sama sekali nggak melihat bahwa melajang sampai tua itu adalah sesuatu yang salah."
"Nggak menikah? Ih... lo nggak takut kalo nggak menikah sampe tua lo bakal kesepian?"
"Huehehehe, gak menikah bukan berarti ga pacaran kan?"
"Hihihi...Gila."
"Anyway, gue selalu berharap yang terbaik buat lo..."
"Thanks."
"Mmm, gue ga bilang gitu kan? Mungkin iya, mungkin enggak. Gue gak mematok umur, say. Gue cuma percaya semua punya waktu dan jalan masing-masing. Kalo emang waktunya tiba, gue percaya, saat itu gue udah siap, mantap dan jauh lebih bijaksana dari sekarang."
"Kalau itu kejadiannya pas lo udah, let's say.. 40 tahun?"
"Ya ga masalah. Pun kalau jalan gue gak menikah, ya ga masalah juga.... gue sama sekali nggak melihat bahwa melajang sampai tua itu adalah sesuatu yang salah."
"Nggak menikah? Ih... lo nggak takut kalo nggak menikah sampe tua lo bakal kesepian?"
"Huehehehe, gak menikah bukan berarti ga pacaran kan?"
"Hihihi...Gila."
"Anyway, gue selalu berharap yang terbaik buat lo..."
"Thanks."
Dan pembicaraan mengenai pernikahan pun terhenti, digantikan oleh topik lain. Tapi masih meninggalkan sisa ketidak mengertian di benak kami masing-masing. Saya yang tidak mengerti akan prinsip kejar deadline-nya Dee dan Dee yang tidak mengerti akan prinsip siap-tidak siap saya.
Well, oh well..
Saya pikir, setiap orang punya pandangan sendiri-sendiri tentang menikah, bukan begitu, teman-teman?
*Cewek Kebelet Kawin.