Aduh itu judul!
Okay, okay, saya berlebihan. Tidak terlalu jelang 30 sih, masih ada sisa waktu 2 tahun 3 bulan lagi sebelum usia saya tepat menjadi seperempat abad plus lima tahun. 3 dekade. 3 windu plus 6 tahun.
Sebelumnya saya tidak pernah memikirkan usia, karena mungkin, yah perkembangan mental saya telah berhenti saat umur 17, sepuluh tahun yang lalu, jadi saya selalu merasa abg di hati. (gubrags!)
Tapi gara-gara kemarin, adik saya yang masih belia nan ranum itu tiba-tiba mengingatkan bahwa sekarang sudah bulan Agustus, dan 4 bulan lagi Desember. Jadi kepikiran.
AADBD? Ada Apa Dengan Bulan Desember? Well, bulan Desember adalah masanya reuni bertaburan.
Saya selalu mencintai suasana reuni, karena SANGAT menyenangkan; bertemu kerabat, bertukar kabar serta sejumlah tebak-tebakan konyol a la “Arti cemilan apa?” (jawabannya ‘cebelum cepuluh’, tahun kemarin sudah kedua kalinya, pertanyaan tersebut muncul), makan-makan, karaoke bareng, bertukar kado dan kenang-kenangan lalu khusus untuk si lajang, menerima pertanyaan ‘kapan nih kirim undangan?’ (jangan pura-pura bodoh, undangan yang dimaksud di sini adalah undangan resepsi pernikahan tentunya!)
Eh eh, tunggu. Rewind.
Saya selalu mencintai suasana reuni, karena SANGAT menyenangkan SAMPAI pertanyaan ‘kapan nih kirim undangan?’ itu muncul.
Sebagai seseorang yang sama sekali belum siap menikah plus terinfeksi 2 penyakit: (1) selalu jadian setelah reuni keluarga berakhir dan putus sebelum reuni keluarga tahun berikutnya (2) punya hubungan yang sangat potensial untuk tidak direstui oleh keluarga Saya sama sekali tidak terganggu … tadinya.
Paling jawaban andalan saya “Nanti deh, menopause masih jauh”.
Tapi hal ini mulai menyebalkan pada reuni tahun lalu.
Duuuh, pertanyaan seperti itu KHUSUS ditujukan untuk saya, yang tidak membawa pasangan (karena pasangan saya saat itu potensial sekali untuk tidak disukai. Hi there, rock ‘n roll guy! Hehe). Tidak berhenti sampai di sana, tapi ada dua bonus (1) ‘Aduuh, ntar lagi kamu kan 30.’ (2) pada akhir pertemuan, saya masuk dalam doa khusus dengan tema ‘jodoh’. Alah!
Mungkin saya saja yang negative thinking, tapi saya merasa mereka menganggap saya nggak laku. Padahal please deh, saya laku banget gitu loh (haha! Stop, jangan dulu lempar alas kaki anda, masih ada yang menyebalkan lagi setelah ini) , kalau sampai sekarang saya belum memiliki komitmen serius dengan siapapun, itu karena saya selektif dalam memilih, harus melewati banyak tahap, seperti AFI 2005, ada tahap audisi, ada tahap karantina sampai tahap eliminasi. Kalau sampai sekarang para academia eh, calon-calon teman hidup itu tereliminasi, salah siapa? Saya? Bukan, kan? Mereka saja yang tidak kompeten (Okay, sekarang lempar! Eits, nggak kena…:P)
Ini yang selalu menjadi pertanyaan bagi saya. Kenapa dalam society seolah ada konvensi tak tercatat : perempuan selayaknya menikah sebelum 30 tahun. Jika jelang 30 belum menikah atau belum punya hubungan serius dengan seseorang, maka cap yang muncul adalah ‘Nggak laku’ atau ‘Ada yang salah dengan tu cewek.’. Apalagi jika sudah melewati 30, cap yang muncul adalah ‘Perawan tua.’
Masyarakat suka susah menerima alasan lain seperti :
1.Belum siap (pertanyaan akan dibalikkan ‘Kalau nungguin siap sih, kapan siapnya?’)
2.Masih punya mimpi yang belum tercapai (pertanyaan balasan ‘Emang kalau menikah nggak bisa meraih mimpi? Bo! Kalau mimpinya hidup rock ‘n roll dan nomaden, gimana?)
3.Nanti aja, belum kepikiran (‘ingat lho, perempuan punya masa produktif dan aman untuk bereproduksi.’. Eh, nggak kepikir adopsi apa? Banyak kok anak-anak kecil yang membutuhkan perhatian di luar sana.)
4.Takut (‘takut apa? Menikah itu enak,lho.Mau ngapa-ngapain udah halal’)
5.Saya memang nggak mau menikah (Dan akan disambut dengan jeritan histeris nan dramatis ‘Ah, kamu… kamu… tega mengecewakan orang tua kamu, mereka juga mau ngemong cucu dan aduh, hidup sendirian di masa tua itu nggak enak lho..)
Sungguh aneh.
Tapi, apa sih yang nggak aneh di dunia ini?
Anyway, sampai sekarang saya selalu menganggap sebagai salah satu lajang yang cukup beruntung.. Ibu saya menikah di usia 28, yang bisa dikategorikan sebagai kaum menutu (menikah usia tua) saat itu. Seperti saya, beliau keasyikan menikmati masa lajang dengan bekerja dan jalan-jalan. Ini membuat beliau selalu membantu mensmash balik dengan jawaban-jawaban keren “Ah, haree genee, menikah di umur 28? Mending puas-puasin melajang, daripada kalau menikah jadi macem-macem kan repot.” atau “daripada asal menikah terus cerai,kan? Mending selektif”
Okay, balik lagi ke topik awal …
eh topiknya apa sih?
oh, okay…
4 bulan lagi reuni bertaburan, adik saya memberi ide untuk membawa siapa pun pada saat reuni, untuk diaku sebagai ‘pasangan serius’
Saya hanya tertawa, apa iya dengan begitu masalah akan beres? Belum tentu juga kan? Walaupun memang mengganggu, tapi ya sudah, mau diapakan lagi? Ini saya, jelang 30, lajang dan belum siap menikah.
Sebagai penutup, saya memiliki sebuah dalil yang –dengan jeniusnya (haha!) - pernah ditemukan oleh saya dan sahabat, yaitu :
Menjadi lajang itu tidak masalah.
Menjadi lajang jelang 30, juga tidak masalah.
Menjadi lajang jelang 30 – di tengah pertemuan kerabat, baru mulai menjadi masalah.
Menjadi lajang jelang 30– di tengah pertemuan kerabat di mana semua sudah menikah, memiliki anak, tunangan, atau setidaknya memiliki pacar yang jelas, Nah, ini masalah besar.. ehm, maksudnya : MASALAH BESAR.
untuk laki-laki penelepon tengah malam reguler. Please stop talking about marriage, will you? You scare me. Terlalu dini.
Recent Artworks in Gallery
Recent Posts in Blog
12
komentar