“Bahwa sebenarnya kehidupan itu seperti wadah barang-barang diskon di departement store pada sale season, berbagai items bertumpuk jadi satu, acak-acakan – yang harus kita lakukan adalah berani meng’ubek-ubek’ untuk mendapatkan yang terbaik.” (Saya & Ben, 2005 : 1)
#
Seorang sahabat menelepon saya beberapa malam yang lalu – sampai pagi. Dia baru putus; dan tahulah apa yang terjadi. Umpatan, keluhan, the famous why questions, kalimat-kalimat “Iya lo bener juga, tapi,kan…” mendominasi seluruh pembicaraan. Saya hanya bisa (berusaha) mendengarkan, berkomentar seperlunya, memindahkan ponsel ke telingan kanan atau kiri, sesekali menguap tanpa sekalipun berpikir untuk mengakhiri telepon. (Yup, dia sudah begitu baik mendengarkan saya berkeluh kesah saat baru putus kemarin)
Pada jam ke empat, tiba-tiba pembicaraan beralih pada topik ‘memilih sesuatu’, awalnya dia mengeluh “mencari pasangan hidup itu seperti mencari jarum dalam tumpukan selimut” (Sudahlah, wahai kamu manusia-manusia yang suka melihat debu di seberang lautan daripada gajah di pelupuk mata; kamu tidak perlu mengkoreksinya, saya sudah tahu, peribahasa yang saya gunakan salah – tapi kan saat itu kami mengantuk.)
Lalu saya jawab “Bukan untuk mencari pasangan hidup doang, lagi Nyet..untuk semua hal.”
Benar-benar semua hal, dari mencari sepatu yang enak dipakai di antara sekumpulan sepatu perempuan bermodel ajaib a la kasut Aladdin dengan ujung super lancip melengkung ke atas. Mencari makanan yang enak dan menyehatkan di antara seluruh makanan enak tapi tinggi kadar lemak, karbohidrat dan pengawetnya yang bakal membikin kamu cepat mati atau setidaknya sekarat karena penyakit jantung, koresterol serta asam urat. Mencari aktivitas pengisi waktu luang yang menyenangkan di antara seluruh aktivitas-aktivitas menyenangkan yang membuang uang dan melibatkan terlalu banyak orang. Mencari buku-buku yang benar-benar bagus dan kusenangi diantara sejuta daftar buku favorit orang-orang yang ingin terlihat keren dan pintar dalam friendster. Bahkan sampai mencari pekerjaan (dengan tujuan mencari uang).
#
Pembicaraan berlanjut, dia bertanya “apa yang sedang kamu cari?” hmmm…. Setelah saya piker-pikir lagi; daripada mencari pasangan hidup – ‘mencari musuh dalam tumpukan jerami’ (iya masih salah, sengaja kok!) itu lebih saya rasakan dalam mencari pekerjaan (dengan tujuan mencari uang). Sampai sekarang di antara seluruh pekerjaan yang pernah saya lakukan, belum pernah ada satupun yang sreg di hati.Yang jelas saya tidak suka kerja kantoran, dalam artian berdiam di kantor 9 to 5.
Apa yang pernah saya kerjakan? Banyak! Pada masa kuliah saya pernah berjualan tshirt tie dye yang saya buat sendiri, tapi usaha saya berhenti karena saya kerap masuk angin – lah iya, lah.. la wong mengerjakan celupan-celupan itu malam hari; bayangkan, malam hari, di udara terbuka, bersentuhan dengan air, setiap malam dalam jangka waktu lumayan panjang..
Saya pernah berjualan kalung-kalung beads, yang akhirnya saya pakai sendiri karena lucu-lucu (Ya jangan salahkan saya dong, salahkan keterampilan tangan saya yang mampu membuat kalung lucu-lucu.)
Saya pernah membuat paket coklat praline untuk anak-anak SMU yang lakunya hanya pas valentine’s day, sisanya nggak laku, anak SMU sudah takut gemuk, mereka berdiet (serius!)
Saya pernah diminta menjadi konsultan fesyen untuk seragam sebuah kantor - mereka bilang setiap 1 tahun sekali mereka akan menghubungi saya untuk mengganti seragam (rajin ya?) – ini berhenti pada tahun ketiga beberapa tahun yang lalu, saya baru tahu kenapa ketika kemarin saya melewati lokasi, bangunan itu telah menjadi Factory Outlet, bangkrut hehehe..
Saya pernah membuat kartu undangan ulang tahun sweet 17 atau pernikahan (Biasa, hasil merayu teman-teman - “eh, lo mau menikah kan? Gimana kalau undangannya gue yang bikin? Apa? Kalian belum jadian? Ah, ya nggak apa-apa, gimana kalau undangannya gue yang bikin?” Sampai sekarang, kadang-kadang saya masih mengerjakan itu.)
Saya pernah menjadi member bisnis MLM baik kosmetik, obat-obatan, sampai makanan.(.. sampai-sampai seluruh kaset-kaset testimoni serta bukunya Robert T Kiyosaki menjadi panutan suci dan lebih parah lagi saya membentuk sekte aneh dengan para upline, downline, frontline -tapi tidak dengan crossline, itu haram hukumnya - bersama-sama mendatangi kebaktian ritual 7 Million Club setiap Kamis malam serta info night setiap Rabu malam. Hanya bertahan 3 bulan, karena tiba-tiba saya merasa hidup saya berubah menjadi tidak normal.)
Saya memberi les : Inggris dan Menggambar. Menyenangkan – ini yang bertahan paling lama, walaupun tak jarang para orang tua keheranan ketika saya membiarkan anak-anak mereka menggambar matahari berwarna pink. Mereka maunya saya mengajar mereka menggambar secara ‘baik’ dan ‘benar’ berdasarkan pandangan mereka sendiri. Oh ya, ini yang parah; sebagai seseorang yang alergi angka, saya juga memberi les matematika untuk anak SD swasta kaya raya berani bayar mahal, tapi itu kalau benar-benar terpaksa dan sedang berjiwa pelacur karena lagi BUCB (Butuh Uang Cepat Banget).
Semuanya menarik bagi saya, tapi belum ada yang benar-benar membuat hati ini selalu bersuka cita. Tadinya sempat saya mau mencari-cari jenis pekerjaan lain, sih… tapi.. biasa.. tuntutan lingkungan; semua orang meminta saya untuk bekerja (tetap DAN kantoran, demi masa depan katanya) sesuai dengan bidang kuliah, malah sampai ada seorang teman yang bilang “jadi guru les anak-anak? Lo nggak over-qualified apa? Susah-susah sekolah tinggi, kok mentok di sana,”
Ya sudah, demi menyenang-nyenangkan hati mereka, saya melamar juga ke suatu perusahaan, yang membuka lowongan sesuai dengan jurusan saya sewaktu kuliah. (eh,memangnya penting ya, kerja sesuai bidang kuliah?)
Okay, saya dapat pekerjaan itu, gampang banget. Bekerja kantoranlah saya, berusaha belajar membawahi orang-orang yang sibuk kasak-kusuk menolak saya sambil mempertanyakan ”masih kecil kok disuruh mimpin kita sih?” dan dalam hati saya jawab "makanya sekolah jangan nanggung, perusahaan di Indonesia kan gampang silau dengan strata akademis" – Di sana saya hanya tahan 5 bulan, pekerjaannya dari itu ke itu saja, dan parahnya lagi… pakai seragam! (terkutuklah semua perusahaan yang mewajibkan karyawannya memakai seragam)
Saya cari pekerjaan baru, dapat, bertahan kurang dari enam bulan.. bosan. Begitu seterusnya berkali-kali.
Iya, iya semua orang bilang saya kutu loncat; saya memang tidak pernah bertahan bekerja (kantoran) di satu tempat dalam waktu lama. Tapi itu kan jadi bukti bahwa memang tidak ada perpotongan antara saya dan kerja (kantoran).
Ohya, ngomong-ngomong , sekarang saya bekerja kantoran (lagi!), lho, dari hari pertama bekerja, sampai sekarang rasanya seperti menjilati ludah sendiri terus menerus. Ini sudah bulan ke 8 – sebuah rekor, baru kali ini melewati bulan ke enam– padahal bosen, gila…. tapi mau resign kok yao rasanya malas harus melewati lagi periode nggak-setiap-bulan-punya-duit-dengan-jumlah-sama.. Duuh, sepertinya waktu diterima bekerja di sini, sesajen orang di sekeliling saya kuat, jadi saya bertahan hehe.. Atau saya yang semakin menua, sehingga semangat mencari-cari itu hilang?
#
Dari pembicaraan telepon semalam suntuk itu, kami menyimpulkan, bahwa hidup seperti wadah baju-baju di department store pada sale season. Penuh dengan banyak barang, mulai dari baju, sepatu, tas, celana sampai rok. Mau memilih baju? Banyak pilihannya; dari yang jelek, yang kelihatan bagus padahal jelek, sampai yang benar-benar bagus. Celana juga demikian, sepatu juga, tas juga.
Dan sekarang kami masih ‘ngubek-ngubek’ bak kehidupan masing-masing, mencari yang terbaik dan cocok bagi kami. Dia mencari pasangan hidup, saya mencari pekerjaan ( dan..iya, pasangan hidup juga,deh… PUAS? Nggak usah ketawa lo,Nyet!)
By the way, gara-gara pembicaraan mengenai pilihan, dia jadi berhenti curhat soal putusnya, lho. :-) (Dese nggak keren-keren amat kok, cari yang lain,OK bro?)
#
Pada jam kelima, kami tiba-tiba menemukan suatu dalil yang cerdas (untuk orang yang mengantuk tentunya) yaitu ; supaya kita betah bekerja di suatu tempat, pekerjaan itu harus sesuai dengan minat kita, supaya fun. Dia memberi contoh temannya yang menjadi illustrator di sebuah majalah, setiap ditanya “betah amat lo kerja di sana..” teman itu selalu menjawab “siapa yang kerja? gue mah ngerjain hobby dan nunjukin skill tapi dibayar.” (dasar blagu :P)
Gitu ya?
Hmmm, jadi mikir nih, hal yang benar-benar (paling) saya sukai cuma dua : menulis dan traveling. Apa ganti profesi saja? Profesi yang berhubungan dengan jalan-jalan dan menulis tapi tidak kantoran?
Apa ya? travel journalist, gitu? Atau menggantikan Riyanni Djangkaru di Jejak Petualang? (blah kenapa batas umurnya 24, sih? Jadi nggak bisa ngelamar kan?), atau jadi pekerja social? Pasti saya bisa bersuka cita – kan nggak kantoran?
Eh.. tunggu! tiba-tiba terpikir, segala sesuatu - jika itu sudah merupakan kewajiban, bukannya pasti akan jadi tidak menyenangkan lagi? Artinya sampai kapan pun, kita tidak akan menemukan 'yang terbaik'. Lah, kalau gitu, permasalahan pekerjaan harus dikeluarkan dong, dari bak diskon kehidupan?
Au ah..
Bingung kan pointnya apa...?
sama dong.:P
Jenuh bow,butuh liburan.
Mayday, Mayday...Take me away from here, or give me a new job or at least, make my life less boring.
Recent Artworks in Gallery
Recent Posts in Blog
1 komentar