0
komentar
“Dia tuh aleman* banget,yah? Jalan segitu aja udah merengut kecapekan”
Itu yang dikatakan salah seorang rekan sekerjaku- pada rekan yang lain, tentang aku. Aku hanya bisa tersenyum – teringat akan perjalanan pendek kami akhir minggu lalu, atas nama pekerjaan.
Well, aku tidak marah , juga tidak sebal, malah sedikit pun aku tidak berusaha membela diri. Lagipula memang salahku yang tidak mampu berpura-pura untuk menyukai perjalanan itu.
- Kenapa?
Karena perjalanan kemarin penuh dengan belanja cenderamata serta perkunjungan ke tempat wisata komersial. Dan aku bukanlah jenis orang yang menyukai itu, aku memang selalu kecapekan, capek dan muak tepatnya - bukan hanya pada perjalanan kemarin - tapi pada seluruh perjalanan yang dibuat menjadi sesuatu yang komersial. Kalau sudah begitu, jangan ditanya bagaimana raut mukaku.
- Bayar tiket – beli souvenir – makan makanan khas – endeswey endeskoy.
Buatku pribadi, perjalanan adalah masalah jiwa.. dan hati, saatnya aku mundur dari aktivitas harianku dan mulai memperkaya diri; bertemu orang baru, mendengarkan cerita mereka, belajar bahasa mereka, mendengarkan mereka menyanyi, makan apa yang mereka makan bahkan belalang hutan sekalipun, menghirup udara segar, bergulingan di pasir, tertidur di bawah kerlip bintang atau panas matahari (dibawah atap terminal juga boleh, hehe), berenang (kalau bisa) telanjang bulat, mencoklatkan warna kulit, ikut berjoged ramai-ramai diiringi suara penyanyi-dangdut-goyang-erotis-kampung, bertemu dengan pemabuk aneh, tertidur di sekoci, berada satu kapal bersama hewan ternak, pertengkaran beda bahasa, menumpang truk, ditawar oom-oom yang kujawab dengan "go play with your fingers!", tertawa-tawa bersama kanak-kanak.
- Bukan membeli suvenir dan berfoto di tempat wisata, yang pada akhirnya akan merapuh dimakan masa, atau menyampah tak berguna di rumah.
Itu sebabnya sepulangnya dari perjalanan, aku tidak berniat untuk memamerkan foto atau oleh-oleh; kecuali untuk orang-orang yang dekat denganku. Dan oleh-olehku selalu mampu ‘bercerita’ – seperti dalam perjalananku beberapa waktu yang lalu, aku menghadiahi kekasihku (eh sekarang mantan deng, hihi, hey there.) kulit kerang dari setiap pantai yang aku kunjungi.
Satu-satunya ‘oleh-oleh’ yang aku sukai adalah : membagikan cerita – karena aku percaya, cerita adalah sebuah telepon dari suatu masa ke masa yang lain; yang menghubungkan lalu saling memberi inspirasi dua atau lebih jiwa yang memiliki ‘gelombang’ yang sama, seminat, dan yang juga suka memperkaya diri dalam perjalanan.
- Ah, gelombang yang sama…
Mungkin itu sebabnya : aku dan rekanku tidak memiliki gelombang yang sama. Dia merasa sebal melihat muka cemberutku saat mengikutinya berjalan dari satu kios cenderamata ke kios lainnya, sedangkan aku semakin mengerutkan kening melihat belanjanya yang tidak selesai-selesai.
Dan (mungkin) dia heran, aku tidak sedikit pun tertarik pada pernak-pernik khas daerah itu sedangkan aku bingung melihat dia menghabiskan seluruh uang sakunya 'di oleh-oleh'
- Hmm… biarkanlah dia menganggapku aleman. Kami memang berbeda ‘gelombang’. Mau diapain lagi?
Ya ampun.
Tiba-tiba kangen dengan seluruh teman perjalanan dengan gelombang yang sama.
Tiba-tiba kangen dengan seluruh teman perjalanan dengan gelombang yang sama.
* aleman = manja.