Aku turun dari si kandang sapi, mobil adikku yang super besar. Aih! Repot ternyata turun dengan menggunakan kain, apalagi sambil membawa gembolan berupa toga dan tas. Duh.
"Ntar bapak ibu datengnya jangan telat, susah parkir!" titipku pada adikku, sebelum turun.
"Iye. Udah sono!" Ia menjawab malas-malasan lalu mengusirku turun. Hehe, tadi pagi aku bangunkan dia dengan paksa untuk mengantarkanku ke tempat ini, dan sekarang, tampak sekali ia masih mengantuk.
"Ciye, neng.. mukegile kece, amat? Tumben-tumbenan nih.., mau abang angkut?" goda adikku dari dalam mobil dengan suara agak keras, sampai beberapa mata menoleh padaku.
"Geblek! Pulang sana ke alamnya!" aku mendelik, lalu melanjutkan,"makasih, ye dek!"
"Iye, Met wisuda yaks ! eh toganya, mbak! pake!" seru adikku, mengingatkan.
Eh iya, aku belum memakai togaku. Segera aku berjalan dengan susah payah, melewati lautan manusia bertoga, menuju ke toilet.
Sebenarnya aku agak heran , buat apa wisuda memakai kebaya atau jas rapi, kalau tokh akhirnya tertutup toga juga? Apa bedanya dengan memakai t shirt dan jeans di dalamnya? Dan apa juga bedanya dengan tidak memakai baju sama sekali? (dengan kemungkinan tersingkap, cihuy! Hihi)
"ntar wisuda mau bikin kebaya gak?"ibuku bertanya, dua bulan yang lalu, ketika aku sedang setengah mati merangkai kata untuk menyelesaikan bab V thesisku, bab penutup. Aku hanya bisa mendelik. Please, deh, bu! Sidang aja belum!
"Gak mau wisuda ah, gak penting, yang penting lulusnya! " Sahutku sambil terus mengetik.
"Oh.." Ibu hanya menghela nafas.
Kalau saja keharusan membayar uang wisuda, walaupun kita tidak mau mengikuti acara wisuda itu tidak ada, mungkin aku tidak akan ada di dalam toilet ini, mematut-matut diriku didepan kaca.. Tuh kan? Seluruh kebayaku tertutup toga biru butut itu. Tau gitu kan mending aku tidak memakai baju apa-apa lagi di dalamnya? :P
"Neng mau wisuda juga ya?" tiba-tiba ada sebuah suara dengan logat Sunda yang kental menegurku, aku menoleh. Seorang ibu dengan kebaya sederhana, tersenyum ramah.
"Iya,bu."aku tersenyum, sambil menambahkan dalam hati : ya iyalah mau wisuda juga, udah kece pake toga gini masa mau jogging?
"anak ibu, jurusan pisika, juga wisuda hari ini." Ceritanya.
"Ohya? Selamat ya bu." aku tersenyum lagi, tampak binar bahagia di matanya. Uh, binar itu! Aku menemukan binar yang sama pagi tadi di mata ayah ibuku, saat aku mengomel panjang lebar tentang betapa merepotkannya memakai kebaya!
"Iya, neng, selamat juga buat eneng. Semua yang lulus dari sini pasti pintar, kan susah sekolah disini! Ibu mah bangga sama semua anak-anak yang wisuda hari ini, wisuda teh hari bahagianya ibu!" Katanya, sambil tersenyum. Aku percaya, hari ini dia sangat bahagia, karena aku bisa melihat itu dari wajah tuanya.
"Saya duluan ya bu?" aku pamit setelah yakin aku memakai togaku dengan benar.
"Mangga, neng geulis! Semoga sukses di hari depan." Dia sempat menyentuh pipiku dengan telapak tangannya yang kasar.
"Terima kasih, semoga sukses juga buat anak ibu!"
Sambil berjalan menuju tempat aku berjanji bertemu dengan teman-temanku yang lain, aku tercenung. Mungkin wisuda tidak begitu berarti buatku, lagipula ini adalah wisuda keduaku, dan pasti acaranya tidak akan berubah menjadi lebih menarik; misalnya ada pertunjukan band, akrobat, sulap, ada cheerleaders, atau striptease dancers, orgy party atau apalah! pasti tetap sama dengan wisuda pertamaku 4 tahun yang lalu. Tapi.. kok bisa aku tidak sempat berpikir bahwa mungkin saja hari ini adalah hari bahagianya orang-orang disekitarku?
Oh itu dia, gerombolan temanku.
"Hey!" tegur salah satu temanku, "kirain lo gak mau wisuda."
Aku hanya tersenyum. Temanku ini didampingi oleh adik laki-lakinya (yang cakep, hehe), karena ayah ibunya yang tinggal di suatu kota besar di ujung Sumatera sana tidak bisa datang.
"Hey! Sendiri?" temanku yang lain menegur.
"Iya, tapi ntar bapak ibu nyusul." Jawabku.
"sama, ntar juga istriku nyusul, padahal aku udah bilang nggak usah, repot kan lagi hamil gitu." Jawabnya.
"Pengen ikut bahagia ngeliat suami di wisuda, lah Bang!" jawabku. Aku dan teman-temanku mengobrol sebelum diharuskan masuk ke dalam ruangan, semua ditemani oleh orang-orang yang dicintainya. Ada istri, suami, pacar, tunangan, kakak, adik, ayah, ibu, cucu, anak. Dan seterusnya.
Aku tergelak mendengar salah satu temanku yang hanya mendapatkan dua buah undangan, untuk ayah dan ibunya, sedangkan ia ingin suaminya ikut masuk. Tahu apa yang dilakukannya? Memaksa sang suami, yang memang alumni Institut ini untuk memakai baju wisuda miliknya, dan menyelundup masuk! Aih!
Aku juga sempat melihat seorang anak kecil (diantarkan oleh ayahnya), menyerahkan sebuket bunga mawar pada teman seangkatanku, yang diperkenalkannya sebagai cucunya.
Tiba-tiba aku ingin ayah-ibuku ada disini. Aku ingin melihat wajah bahagia mereka. Segera kutelepon ayah, beberapa menit sebelum upacara dimulai.
"Duduk dimana sih?"tanyaku.
"Dideket tribun, depan-depanan dengan gamelan!" jawab ayah.
"mana? Mana? Mana? Berdiri dong!" aku berlari menuju barusan kursi yang dimaksud, mencari sosok ayahku. Ah itu dia! Kututup telepon.
"Ada apa?" tanya ayah dan ibuku yang duduk bersebelahan.
"Nggak! Cuma mau tau aja duduk dimana! Ya udah aku balik lagi!" aku tersenyum.
Nanti saat Bapak Rektor memberi kesempatan bagi para wisudawan untuk mengucapkan terima kasih secara spontan kepada orang-orang terkasih, aku sudah tahu, apa yang akan kulakukan : meletakkan tangan kananku di dada, dan mengangguk ke arah ayah ibuku.
Aku tahu aku akan bahagia dan wisuda ini bukanlah hal yang membosankan lagi, jika melihat binar bahagia orang-orang yang sangat kukasihi.
*i wish you were there,too... baby!
Recent Artworks in Gallery
Recent Posts in Blog
0
komentar