Menunggu metromini no.44 di tepi jalan Casablanca. Itulah ritual yang saya lakukan setiap pagi sewaktu saya masih menjadi salah satu dari sekian banyak buruh-buruh yang bekerja di bilangan Kuningan dan Sudirman, kota Jakarta Keparat. Tidak sendirian, tentunya, saya menunggu bersama sejumlah orang, yang kurang lebih itu-itu saja. Tanpa perkenalan, saya seolah merasa tidak asing lagi dengan mereka!
Suatu pagi, seperti ritual pagi-pagi yang lain, saya sudah berada di tepi jalan itu bersama sekelompok remaja berseragam SMU (yang sudah dua minggu ini selalu sibuk menceritakan tentang Andri si ketua OSIS yang cakep, juga bassis band sekolah sekaligus jago basket). Lalu ada beberapa orang laki-laki berkemeja dan berdasi (aduh mas, nggak panas apa, naik metromini pakai kemeja dan dasi?), lalu ada beberapa perempuan dengan rok span dan sepatu hak tinggi (yang selalu saya kagumi, karena mereka sungguh gesit mengejar metromini. Rok span dan Hak tinggi? Lari? Hmm.. hebat!). Ada beberapa orang ibu yang membawa keranjang belanjaan (Blah! Keranjang belanjaan plastik warna warni yang selalu menuh-menuhin metromini dan tidak pernah gagal membuat saya tersandung!). Ada beberapa wajah baru, yang tidak begitu saya perdulikan, kecuali satu : seorang perempuan muda yang tampaknya sedang hamil tua (hmm, tampaknya dia hamil, bukan busung lapar. Serta merta saya mengutuk suaminya, yang membiarkan ibu tadi berkeliaran di luar dengan perut sebesar itu!).
Suasana tenang, agak bersahabat, terkadang terlihat para calon penumpang saling bertukar senyum, atau malah ada yang mengobrol (Eh "jam berapa ya Dik?" itu termasuk mengobrol, kan?). Sampai metromini datang, suasana 'damai' berubah menjadi hiruk pikuk, teman mengobrol menjadi saingan. Saling berlari, saling mengejar, saling desak pokoknya, yang lemah, musti rela tertinggal, dan menunggu kendaraan berikutnya. Takut ketinggalan, saya juga berubah menjadi agresif, tapi baru saja sebelah kaki masuk ke dalam angkot, saya tersadar si ibu hamil tadi, terjepit diantara saya dan calon penumpang lain, akhirnya saya turun, maksudnya hendak berbaik hati memberikan kesempatan pada ibu tadi untuk naik terlebih dahulu, tokh masih akan ada angkot lain yang datang. (lagipula, semakin terlambat saya masuk kantor, semakin pendek waktu saya bekerja, kan?)
"Ibu duluan deh!" cetus saya. Tapi tebak apa yang terjadi? Baru saja saya turun, ada seorang pria, berpakaian rapih menyerobot masuk ke dalam, membuat saya sampai hampir terpental. Saya kaget, "anjing!" umpat saya pelan (soalnya kalau saya ucapkan "anjing!" keras-keras, takutnya ia turun dan menggampar saya! Saya tidak berani melawan kalau begitu, badannya besar bo!). Metromini berlalu. Saya dan ibu hamil tadi tertinggal.
Saya sebal, tapi berusaha memakluminya, pagi-pagi, semua orang takut terlambat, jadi berupaya dengan beragam cara agar sampai dengan cepat di tempat tujuan, tidak perduli cara yang mereka pakai itu egois. Eh, sebenarnya boleh tidak sih, bersikap mementingkan diri sendiri? Hmm, kalau kata butir ke sekian dari pancasila sih tidak,ya? (blah!)
.
Sorenya, ketika saya menunggu bis untuk pulang ke rumah, saya menunggu bersama teman-teman kantor saya, dan juga teman-teman kantor sebelah, mengobrol dengan akrab, iya, mereka itu bukan orang asing karena setiap hari pada jam yang sama menunggu bis untuk pulang.
Tapi ''persahabatan' berubah menjadi persaingan (lagi!) ketika bis datang. Saling berdesakan, saling berebut, berusaha untuk paling dulu masuk ke dalam bis. Pfuh! Kali itu saya terlalu sibuk berusaha untuk masuk ke dalam bis, jadi tidak sempat memperhatikan apakah ada lagi ibu hamil yang pasti akan kalah dalam persaingan berebut bis ini. Lucu, ya.. kalau pagi-pagi, semua orang terburu-buru takut terlambat, sehingga menjadi egois untuk masuk ke dalam bis, kalau sore, sama saja, semua orang terburu-buru untuk pulang, dan menjadi tidak kalah egoisnya.
Di dalam bis, syukurlah! Saya mendapatkan tempat duduk, duh! Bahagianya saya, bisa duduk sejenak, sementara orang lain, yang tidak kebagian tempat duduk hanya bisa berdiri menatap sirik dengan orang-orang 'gesit' seperti saya, hehehe... Tapi, baru saja beberapa menit duduk, tiba-tiba saya melihat seorang ibu tua naik, tidak mendapatkan tempat duduk. Ia berdiri di jarak sekitar 1 orang dari tempat duduk saya, dengan tidak seimbang, beberapa kali hampir jatuh, ketika bis ugal-ugalan membelok ke kiri, ke kanan dan mengerem mendadak (dan itu sering terjadi, kapan sih bis tidak ugal-ugalan dan tidak suka mengerem mendadak? When all pigs can fly, may be!). Saya teringat nenek saya. Akhirnya, saya lupakan keinginan saya untuk duduk santai sampai di tujuan, dan bermaksud untuk memberikan ibu tua tadi tempat duduk, sebelum ia benar-benar jatuh.
"ibu, silahkan duduk." Kata saya sambil mencolek bahunya, lalu berdiri. Tapi apa yang terjadi? Baru saja pantat saya meninggalkan jok , seorang perempuan muda langsung menduduki bangku saya tanpa perasaan bersalah. "eh, mbak!" Saya menegurnya, tapi ia pura-pura tidak mendengar, memandang keluar jendela. Ia bahkan tidak menghiraukan bola mata saya yang hampir keluar karena memelototi dia. "Bitch!" umpat saya agak keras (soalnya kalau dia menggampar saya, saya tidak takut untuk menggamparnya kembali! Dia kerempeng dan pendek, udah gitu jelek lagi! hehe), tapi itupun tidak mampu membuatnya menoleh. Akhirnya, sore itu, saya dan ibu tua yang mau saya berikan tempat duduk berdiri (tapi ibu tua tadi sempat mengucapkan terima kasih pada saya ketika saya mau turun).
Saya jadi bingung, apa memang seharusnya saya pura-pura tidak tahu saja dan menjadi egois juga, atau bertindak 'sok baik' yang semuanya gagal? plis, dehhhh...
Recent Artworks in Gallery
Recent Posts in Blog
0
komentar