"kalau yang pake ring berapa, mbak?" tanyaku pada perempuan berseragam hijau dibalik etalase.
"seratus lima belas ribu rupiah untuk tiga bulan, obatnya yang kecil tujuh belas limaratus, cukup untuk tiga bulan juga." Jawabnya ramah.
"kalau yang nggak pake ring?" tanyaku lagi.
"sembilan puluh tujuh ribu rupiah untuk tiga bulan" senyum wajibnya masih mengembang.
"Bedanya yang pake ring sama yang nggak pake ring?" walaupun aku tahu bertanya bertubi-tubi itu bisa membuat kesal, tapi aku merasa perlu untuk terus bertanya.
"kalau yang pake ring, ngasih efek besar, Mbak!" ajaib! Perempuan itu masih menjawab tanpa menghilangkan senyumnya
aku terdiam, mengangkat botol kecil berisi cairan bening, dan memperhatikan benda berbentuk lingkaran berwarna abu-abu yang tenggelam di dalamnya.
"Hmm, yang tanpa ring aja deh.." aku teringat bahwa punyaku sudah bulat dan besar, pacarku sering berkata begitu, "kalau minus sama aja, nggak mbak harganya?" aku melanjutkan.
"sama aja, minus berapa mbak?"
"yang kiri minus dua, yang kanan satu tiga perempat."
"berarti mbak musti beli dua box.. atau kalau mau hemat, beli yang satu tiga perempat aja. Mbak mau pake warna apa?" Tanyanya, sambil mengeluarkan botol-botol lainnya, masing-masing berisi cairan bening dengan benda berbentuk lingkaran yang warnanya berlainan. Aku mengamati satu persatu. Hijau? Tampak tidak alami. Coklat? Tampak alami, tapi tidak istimewa. Ungu atau biru? hmmm.. pantas kah?. Atau abu-abu? Hmmm...
"Ini tester kok, bisa dicoba supaya mbak bisa lihat hasilnya." tampaknya perempuan ramah ini mengerti kebingunganku. Tanpa menunggu lama lagi, ia segera mencuci tangannya dengan sabun antiseptik, lalu berjalan ke arahku, dan berdiri tepat didepanku.
"yang abu-abu tanpa ring, deh!" kataku. Perempuan itu mengambil botol yang berisi benda berbentuk lingkaran berwarna abu-abu. Dikeluarkannya sebuah, lalu diletakkannya pada ujung jari telunjuknya.
"Lihat lurus ke depan mbak." Ia memegang daguku, dan aku jelas melihat jari telunjuknya mendekat menuju ke bola mata sebelah kiriku.
Ampun,mbak! Mata saya jangan dicungkil!
Ia meletakkan benda itu tepat di bola mataku, rasanya gatal, dan mengganjal, seperti kelilipan. "Sudah, Mbak.. sekarang kedip-kedip!" perintahnya. Aku mengerjap-ngerjap, air mataku berlinangan.
Belum lagi kering air mataku, ia sudah memegang daguku lagi, dan jari telunjuknya mendekat menuju bola mata sebelah kanan. Aku berurai air mata. Bahkan film Titanic pun tidak mampu membuat air mataku keluar sederas ini.
Ku lihat bayanganku dicermin. Mataku tampak merah dan berair, tapi bola mataku berwarna keabuan.
"Gimana?" aku menoleh, dan bertanya pada seorang laki-laki yang dari tadi menemani dan mengamatiku tanpa bersuara. Adikku.
"keseringan dipake ya matanya, Mbak, jadi belel gitu?" Celanya sambil memamerkan cengiran jahilnya. Huh!
++++
Aku pulang, tanpa memakai atau membawa benda berbentuk lingkaran berwarna abu-abu yang sudah sebulan ini kuinginkan, aku tidak yakin benda itu terlihat bagus untukku, dan Celaan "si mata belel" membuatku tambah tak yakin.
Huh! Lain kali kalau mau berbelanja, lebih baik aku membawa temanku yang perempuan saja!
Recent Artworks in Gallery
Recent Posts in Blog
0
komentar