Antrian di depan loket sudah sangat panjang, meliuk-liuk sampai hampir mendekati pintu keluar. Pfuh, Aku kesiangan! Kalau ini bukan hari terakhir, aku memilih untuk pulang saja, dan kembali keesokan harinya.
Dengan malas aku bergabung dalam antrian. Kuperiksa mapku. Kartu Tanda mahasiswa? Ada. Kuitansi pembayaran semester lalu? Ada. Kartu Studi Mahasiswa? Ada. Pas foto dua kali tiga dua lembar? Ada. Formulir Pendaftaran Ulang? Ada dan sudah terisi. Lengkap.
Antrian maju secara perlahan. Tidak ada yang aku kenal, mungkin teman-temanku sudah mendaftar ulang sejak beberapa hari yang lalu. Aduh, aku paling tidak suka saat-saat seperti ini, mudah-mudahan saat ini yang terakhir. Kalaupun enam bulan lagi aku harus menjalani ini, bukan untuk mendaftar ulang, tapi untuk membayar pendaftaran wisuda dan mengambil toga berlengan sesiku, bukan toga tanpa lengan seperti yang pernah kupakai tiga tahun yang lalu.
"Mbak dari seni rupa ya?" tiba-tiba terdengar sebuah suara, laki-laki dari belakangku.
"kok tau?"Aku menoleh.
"Anak seni rupa memang beda gayanya..."ia tersenyum. Aku bingung. Beda? Tiba-tiba aku teringat pada deretan angka yang tertulis besar-besar di mapku. Berawalan 271...., awalan Nomor Induk Mahasiswa jurusan Seni Rupa. Pantas!
"Jago melukis dong,Mbak!" katanya lagi. Heran! Mengapa Seni Rupa selalu dihubungkan dengan jago melukis atau jago menggambar?
"Enggak..." jawabku.
"Wah, kalau saya, walaupun bukan jurusan seni rupa tapi suka seni..." tanpa kuminta dia menjelaskan.
"Oh..." aku tidak berminat untuk melanjutkan pembicaraan.
"Saya suka karya lukis Picasso. Mbak suka siapa?" tanyanya, mencoba membuka pembicaraan lain.
"Roy Lichenstein "tiba-tiba terlintas satu nama, yang dulu pernah aku bahas dalam salah satu mata kuliahku.
"Wah ..." Dia terdiam. Aku mencoba memanjangkan leherku melihat depan. Antrian masih panjang.
"Kalau saya suka Picasso, karena lukisannya ekspresif..." ia belum selesai juga.
"Oh..." kuharap 'oh'ku kali ini mampu menghentikan cerocosnya. Dia terdiam.
"Kalau baca, suka nggak mbak?" aduh! Ternyata dia masih ingin meneruskan.
"Biasa aja..." jawabku singkat.
"Kalau saya suka banget. Saya suka Kahlil Gibran, Mbak suka nggak?"
"Nggak! Ribet..."
"Wah padahal,kan puitis banget, jadi mbak sukanya siapa?"tanyanya.
"Grimms." sebenarnya aku malas mengobrol, tapi aku bingung bagaimana cara menghindarinya.
"Oh ya?Wah. saya baru denger mbak! Pengarang baru ya? ceritanya apa mbak? Romance? Science fiction?" alamak! Dia terus mengoceh.
"bukan, dongeng!" Aduoooh! Antriannya lama sekali majunya. Ia diam cukup lama. Mukanya seperti sedang mencari bahan pembicaraan lagi.
"Mbak tinggalnya dimana sih?" wah! Tampaknya dia kehabisan topik pembicaraan.
"dirumah.." jawabku, agak ketus. Aku paling sebal dengan orang asing yang bertanya-tanya alamat rumahku.
"Iya, rumahnya dimana...?" lanjutnya lagi.
"ditinggal..." sahutku. Asal.
Dan kali ini dia terdiam. Lama. Bahkan ketika antrian semakin maju, ia tidak mencoba berbicara lagi. Kini aku bisa menghabiskan waktuku dengan tenang sambil membaca tabloid yang baru saja aku beli didepan tadi.
Semoga ini benar-benar pendaftaran ulangku yang terakhir.
That guy definitely wanted to look smart.
But that's not my kind of conversation, I have enough what-so-called smart discussion in all my classes for 2 years, and reading what-so-called smart theories from what so called smart experts for my thesis! Blah!
Recent Artworks in Gallery
Recent Posts in Blog
0
komentar