Namanya Rara, seorang anak berusia 7 tahun, masih duduk di bangku sebuah SD di Bandung, kelas 3. Sewaktu Rara baru lulus TK, sang ibu bercerita, bahwa salah satu alasan mendaftarkan Rara ke sekolah tersebut; adalah karena adanya pelajaran komputer dan bahasa inggris yang dijadikan sebagai salah satu program intrakurikuler.
Lalu datanglah Rara pada saya, tahun lalu, saat ia baru merasakan menjadi murid kelas tiga selama sekitar dua bulan. Dengan wajah sumringah dan antusiasme yang luar biasa, Rara menceritakan apa yang terjadi di sekolahnya. Katanya, hari itu adalah kali ke-limanya belajar menggunakan komputer.
"Mengetik "
Itu jawaban polos Rara ketika saya bertanya apa yang dipelajarinya pada hari itu.
Iya sih, saya sudah mendengar bahwa banyak sekolah dasar yang memasukkan 'belajar komputer' sebagai program intra-kurikular mereka. Makanya, sekarang saya jarang menemukan anak-anak yang menderita 'gaptek'. Mereka fasih menggunakan word processor untuk menulis, macam-macam software untuk menggambar dan memilih untuk menggunakan internet dibandingkan pergi ke perpustakaan dan toko buku ketika mengerjakan tugas. Bahkan mereka sudah bermain game Sponge Bob Square Pants menggunakan komputer, sebelum usia mereka mencapai 7.
.....
7 tahun, kelas 3 SD. Seingat saya, pada usia itu saya sedang mengalami masa transisi penggunaan alat bantu menulis; dari pensil ke ballpoint. Perasaan saya campur aduk; canggung karena belum terbiasa, senang karena akhirnya saya bisa menulis dengan alat tulis orang dewasa tapi sekaligus juga takut . Saya harus berusaha keras dan berkonsentrasi agar tidak salah tulis, karena sedikit saja tercoret, maka satu-satunya jalan untuk menghapus kesalahan tersebut adalah menggunakan tip-ex -yang tidak seperti penghapus karet pada pensil; benar-benar menghapus tanpa bekas- penggunaan cairan kental putih tersebut selalu meninggalkan jejak-jejak yang mengotori halaman buku saya.
Saya baru belajar menggunakan komputer ketika memasuki SMU; saya ingat komputer dalam labkom masih menggunakan DOS sebagai OSnya - untuk membuat benda itu bekerja, saya harus memasukkan dua buah floppy disk sebesar setengah kertas A4 ; satu untuk program, yang lain untuk menyimpan data. Saat itu rasanya saya mengalami gegar budaya, merasa sangat asing dan tidak nyaman, takut apabila ke-gaptek-an saya merusak benda mahal, langka dan mewah (pada saat itu) tersebut.
Tapi seiring dengan waktu, saya mulai terbiasa , bahkan sekarang; saya malah melakukan banyak hal menggunakan komputer, menyelesaikan pekerjaan kantor, mengerjakan side-job, mendesain ini-itu bahkan seperti sekarang ini, menghibur diri sendiri dengan menulis hal yang tidak penting sambil mendengarkan MP3.
Saya harus mengakui, bahwa komputer dan segenap software-nya sangat membantu memudahkan pekerjaan saya.
..tapi sekaligus juga membuat saya sangat jarang melakukan banyak hal secara manual.
.....
Beberapa saat yang lalu, saya sempat berdiskusi dengan seorang kawan; awalnya ia bertanya, kapan terakhir kali saya menulis surat dengan tangan. Saya bilang, mungkin pada tahun 90-an awal.
Tiba-tiba ia menyobek selembar kertas dari sketchbooknya dan memberikan kertas itu pada saya.
"Ayo, tulis surat... buat saya." paksanya.
Dan selama 5 menit kemudian, yang ada dalam otak hanyalah : 'mau nulis apa ya?'. Pun ketika saya mencoba menuliskan sesuatu, baru dua kalimat, sudah empat kali saya salah tulis.
Saya menyerah pada menit ke sepuluh.
"Jangan nulis deh, Bang... ngegambar aja, boleh nggak?" pinta saya memelas.
Kawan saya tertawa dan mengaku bahwa ia pernah memiliki masalah yang sama; sulit menulis secara manual, tapi karena pekerjaannya selama dua tahun terakhir adalah catat-mencatat dan lapor melaporkan program di daerah-daerah di mana terkadang listrik pun tidak ada, maka mulai terbiasalah ia menulis dengan alat tulis dan kertas.
Ia 'menyalahkan' kebiasaan menggunakan word processor pada komputer yang telah menghilangkan kemampuan seseorang menulis secara manual. Saya kurang setuju dengan kalimat 'menghilangkan kemampuan', karena menurut saya - kemampuan menulis tidak mungkin hilang.
Ketika ia memaksa saya untuk menulis surat, yang saya rasakan adalah 'rasa takut' melakukan kesalahan tulis dan hal ini membuat saya terlalu fokus pada ketakutan itu sehingga saya 'blank'.
Sedangkan jika menggunakan word processor pada komputer, rasa takut itu tidak ada, karena saya sangat tahu bahwa semua software komputer mempunyai konsep 'undo' yang menakjubkan sekaligus sederhana - tinggal menekan tombol control dan tombol Z bersamaan, maka.. alakazam... semua kesalahan tulis hilang, lenyap, tak bersisa. Lembar kertas yang tampil pada monitor kembali terlihat bersih, seolah kita tidak pernah mengetikkan sesuatu di sana.
Bukan hanya soal komputer dan tulis menulis saja, perkara mengingat angka dan tanggal-tanggal juga bisa menjadi contoh lain; dulu saya mampu mengingat banyak nomor sebelum saya memiliki ponsel. Tapi sekarang? Tidak ada satu pun, karena saya sudah memasukkan semua nomor ke dalam address book. Setiap saya mau menghubungi nomor tertentu, ya tinggal membuka address book. Bahkan untuk beberapa nomor yang sebenarnya saya hafal, terkadang saya tetap membuka address book, untuk memastikan bahwa saya tidak salah dial.
Berhitung, juga bisa menjadi satu contoh lain dari banyak contoh yang terjadi. Sekarang pekerjaan saya membuat saya harus (setidaknya) dua kali dalam setiap bulan menghitung nilai-nilai tugas, kuis, ujian, tes para siswa. Kisaran angka hanya 0 - 100, ditambah dan dibagi untuk mendapatkan hasil rata-rata sebagai nilai akhir. Bukan hal yang sulit dan tentunya tidak membutuhkan formula matematika yang njelimet. Tapi saya SELALU menggunakan kalkulator atau bergantung pada formula-formula dalam workbook yang telah dikerjakan oleh bagian administrasi. Alasan utama, malas alasan lain : takut salah hitung.
Yah, begitulah, menggunakan alat bantu 'teknologi' (apa pun itu bentuknya) membuat hidup lebih mudah dan menyenangkan, tapi di sisi lain, ini membuat kita menjadi tergantung (dengan berbagai alasan) padanya. Bahkan terkadang, kita jadi meragukan kemampuan diri sendiri.
Sekarang saya jadi bertanya-tanya, saya saja yang baru 'sebentar' bergaul dengan ‘teknologi’ sudah mengalami kejadian demikian, bagaimana dengan Rara dkk yang sudah sejak dini diperkenalkan alat bantu berteknologi? Apa jadinya ketika Rara mencapai usia 18 seperti saya, ya? *hei, jangan protes, saya kan sudah bilang - perkembangan mental saya telah berhenti sejak usia 18, jadi sampai kapan pun saya akan selalu merasa berusia 18*.
Mungkiiiin, nih - penggunaan 'alat bantu' demikian, harus mulai dikurangi ya? Apalagi buat anak kecil, memasukkan pelajaran komputer mending untuk ekstrakurikuler aja, nggak sih?
Eh ngobrol-ngobrol, kapan terakhir kali anda menulis secara manual?
- Sebuah artikel untuk free newsletter kawan saya, dibayar dengan penculikan di malam minggu kemarin ke sebuah warung kopi, ditemani kopi susu ,indomie telor kornet extra ulat sayur (sial!), a mild menthol, pengembalian Vita Brevis-setelah-enam-bulannya plus pengantaran pulang
Have a nice adventurous journey, Bang Che-Guavara-Wannabe!