Sekeras apapun kita berusaha berlari-lari dan terus memilih, dua hal tersebut akan selalu ada dalam setiap pilihan
Saya masih ingat, suatu pagi bertahun-tahun yang lalu saat umur saya masih di awal 20-an dan masih kuliah, terbangun di sebuah kota asing, mendapati diri saya berbaring di atas kasur motel dengan seprai yang penuh dengan bercak-bercak ajaib, bantal berbau paduan antara minyak rambut,minyak PPO dan keringat orang lain, selimut bergaris putih hitam ala seragam Napi Dalton Bersaudara, yang bagian putihnya sudah menguning dan bagian hitamnya mengabu.
Hal yang pertama kali terlintas dalam pikiran saya adalah "Seandainya saya memiliki uang yang cukup, tentunya saya akan check in di hotel yang nggak begini-begini amat."
Bukannya saya tidak mempersiapkan diri sama sekali untuk menghadapi keadaan seperti ini; bahkan sebelum melakukan perjalanan saya sepenuhnya sadar, bahwa budget yang tersedia, ya cuma cukup untuk membiayai sebentuk perjalanan kere seperti ini.
Walaupun tadinya, rencana perjalanan saya yang sebenarnya adalah : menunggu barang sebulan-dua bulan untuk menambah budget agar dapat membiayai perkunjungan ke tempat-tempat menarik dan melakukan aktivitas-aktivitas menyenangkan di kota tersebut yang semua sudah saya survey dari internet. Tapi bukankah kebanyakan orang bodoh cenderung bergerak tanpa berpikir? Dan apa daya, saya adalah salah satu dari mereka. Maka, terdamparlah saya, dengan sukses, agak tersesat, nyaris kehabisan uang dan menyewa kamar motel di sudut antah berantah sebuah kota.
Siangnya, dengan ketar-ketir saya mengecek sisa uang di ATM terdekat yang saya temui. Ternyata saldo hanya mencukupi untuk membiayai perjalanan kembali ke rumah.
Saat itu, sambil keluar dari booth ATM saya berdoa keras agar tidak perlu dihadapkan dengan peristiwa-peristiwa tidak terduga yang membutuhkan pengeluaran.
Memang, untuk amannya, saya bisa menelepon dan meminta orang tua untuk mentransfer sejumlah uang. Tapi sayangnya saya adalah perempuan berspesies Lajangus Gengsianus.
Sambil berjalan mengarungi kota, timbul tekat di hati saya, pokoknya setelah kuliah selesai, saya ingin mempunyai pekerjaan tetap dengan gaji berjumlah tertentu yang pasti akan ada di rekening setiap bulan pada tanggal satu.
Setahun kemudian saya lulus kuliah. Memilih untuk melamar ke sebuah perusahaan, diterima, mulai bekerja dan mendapat gaji yang cukup untuk (setidaknya) membiayai perjalanan yang jauh lebih layak jika dibandingkan dengan perjalanan masa kuliah. Tapi, yang menjadi permasalahan adalah ..... saya tidak bisa traveling seenaknya, karena terikat dengan jam wajib hadir dan izin cuti dari kantor.
Dalam waktu kurang dari lima bulan, saya resign, dan menganggap bahwa pilihan bekerja tetap itu salah, membelenggu kebebasan manusia serta mematikan karakter. Maka mulailah saya memilih untuk jadi freelancer di mana-mana.
Menyenangkan sih, giat bekerja mencari proyek ke sana kemari hanya saat tabungan mulai menipis. Bebas menentukan kapan waktu untuk traveling, karena saya sama sekali tidak memiliki ikatan kerja dengan badan apapun. Tapi mungkin, semakin dewasa, kebutuhan manusia semakin meningkat (atau hanya saya saja?), lama-lama pemasukan yang tidak tetap per bulan itu benar-benar membuat saya merasa insecure. Satu pertanyaan klasik yang sering muncul dalam benak. Bagaimana kalau tidak ada job bulan depan?
Demi menjaga keamanan, kenyamanan dan kelangsungan hidup, saya kembali memilih untuk bekerja kantoran lagi. Ketika dihadapkan pada hal yang menyebalkan, saya kembali resign. Itu terjadi berulang-ulang sehingga membuat track record kerja saya buruk.
Akhirnya, seiring dengan bertambahnya usia, ada satu hal yang saya dapat dari pengalaman saya berloncatan kian kemari, yaitu bahwa setiap pilihan pekerjaan, pasti mengandung dua hal : kesempatan dan resiko.
Ketika saya memilih untuk menjadi freelancer, resikonya adalah saya tidak mendapat pemasukan tetap per bulan, kesempatannya adalah, saya bebas bisa mengatur waktu. Begitu pula sebaliknya ketika saya memilih untuk bekerja full time, keamanan pemasukan perbulan terjamin, tapi resikonya, saya terikat waktu.
Yah begitulah, berani menentukan pilihan, bukan berarti hanya menerima kesempatan tapi sekaligus juga berani menghadapi resiko. Sekeras apapun kita berusaha berlari-lari dan terus memilih, dua hal tersebut akan selalu ada dalam setiap pilihan.
Anyway, kalau sekarang saya dihadapkan dengan pilihan untuk bekerja seperti Carrie Bradshaw dalam Sex in The City*, sepertinya saya akan memilih pekerjaan itu, dengan segala resiko dan kesempatannya)**
Sebuah artikel untuk rubrik Viewpoint, Eve Magazine Indonesia, Edisi Mei 2006
* ada yang mau mempekerjakan saya?
** kalau tidak menulis kolom, yah jadi full time backpack traveler dan Mother Theresa versi non selibat.. ada yang mau mensponsori saya?
hehehe
Recent Artworks in Gallery
Recent Posts in Blog
0
komentar