Ingat Dee ? Ia adalah salah seorang partner in crime saya. Dulu.
Dengannya saya selalu bisa berbagi hampir apa saja. Mulai dari pembahasan mengenai hal-hal penting, bahkan sampai yang supertidakpenting; seperti bagaimana jika kita menciptakan sepatu dengan hak di depan atau tebak-tebakan “Pintu apa yang nggak bisa didorong?” (jawabannya tentu “Pintu geser..”) . Dulu.
Kami sangat mempercayai bahwa substansi kehidupan adalah mengeksplorasi kemampuan diri dan mencoba hal-hal baru. Walaupun minat kami berbeda (yang jelas, dia selalu mendambakan untuk bekerja sebagai aktivis super aktif memperjuangkan hak-hak perempuan dalam masyarakat social yang berbasis sistem patriarki). Tapi kami berdua setuju, bahwa minat pribadi harus menjadi prioritas dalam hidup. Dulu.
Iya, itu semua dulu, sebelum kami berdua bekerja di kota yang berbeda. Hubungan kami masih berlanjut dengan sesekali bertukar e-mail, saling menceritakan perkembangan kehidupan.
E-mail-e-mail terakhirnya agak aneh, menurut saya. Barisan huruf arial 12 pts itu seperti bukan tulisan Dee sama sekali. Tidak ada lagi semangat itu.
Sampai akhirnya beberapa bulan yang lalu, saya kembali bertemu dengannya.Ternyata, bukan e-mail-e-mailnya saja yang berubah, ia sendiri juga banyak berubah.
Hilang sudah sosok Dee yang energik (menggantikan kata hiperaktif), ngeselin, sok tau, sok tomboy, tapi baik hati, manis dan suka nangis setiap menonton film romantis *semoga dia tidak marah aibnya dibuka seperti ini*
“Gue mo kawin. Capek.” Begitu katanya. Sempat saya tanya apakah ia yakin akan keputusannya, mengingat siapa yang disebut calon suaminya tidak lain hanyalah sosok asing yang baru dikenal.
Ia walau tampak ragu-ragu, berkeras ingin menikah.
Okay, saya membiarkan, karena tokh itu adalah keputusannya sendiri, untuk kehidupannya. Hanya ia yang tahu apa yang terbaik baginya.
Kami berpisah kembali.
Sejak saat itu, yang saya lakukan hanyalah menunggu surat undangan resepsi pernikahan atau setidaknya, sebuah sms, e-mail, telepon, apapun.. yang mengabarkan tanggal tepat hari bahagianya. Supaya saya bisa datang, mengucapkan selamat secara langsung baginya dan keluarga.
…
Beberapa minggu lalu, saya baru mendengar kabar bahwa Dee sedang ada di kota ini, dalam keadaan sakit. Sebagai teman yang baik, saya berkunjung ke rumahnya.
Sambutan hangat yang saya terima dari sang ibu adalah “Gimana,Neng? Udah punya anak berapa?”
Ketika saya bilang, bahwa saya belum menikah, sang ibu menggeleng prihatin sambil berkata, “Ah, sama aja kayak Dee, mikirin karir mulu, nggak baik tau nggak sih, Neng… ayolah, menikah seperti perempuan normal lainnya..”
Saya hanya tersenyum dan mempertahankan sikap demikian sampai akhirnya dipersilahkan untuk masuk kamar Dee dan melihatnya berbaring dengan muka pucat di atas tempat tidur.
Typhus katanya.
Saya menemani Dee, sambil mengobrol. Sempat saya tanyakan rencana pernikahannya.
Dia bilang, batal. Calonnya, iya, si orang asing yang baru 2 minggu dikenalnya itu, ternyata membuat Dee kecewa.
Saya sama sekali tidak berkomentar, hanya menyimaknya.
Dee benar-benar menjadi perempuan asing bagi saya. Ia yang dulu penuh semangat, cita-cita, mimpi-mimpi dan kegilaan, ia yang dulu bisa menjadi sparing partner dalam mendiskusikan banyak hal, kini berubah menjadi : husband material seeker.
Tidak ada lagi pembahasan mengenai hal-hal penting, tidak ada lagi imajinasi tentang sepatu dengan hak di depan, tidak ada lagi tebak-tebakan pintu geser. Yang ada, pria..pria..pria dan keinginannya untuk menikah. Bahkan ia dengan yakin akan meninggalkan semua mimpi-mimpinya demi itu.
Sempat saya tanyakan,”Kenapa?”
Dan dia bilang “Gue pengen seperti perempuan-perempuan normal lainnya, menikah dan punya anak.”
Lagi, kata normal itu kembali diucapkan.
…
Seorang perempuan lain, yang belum lama saya kenal, beberapa hari yang lalu sempat mengobrol sejenak di kanal cakap maya.
Dia hampir lulus S2 dan merasa ‘mentok’ dengan kehidupannya, “Nggak ada lagi yang gue pengenin kecuali nikah.” Itu katanya.
Saya hanya bisa mengetikkan,”Serius lo? Kok bisa sih?”
“Ya bisa, gue kan hanya perempuan normal…”
Again, kata normal itu disebutkan. Tapi kali ini yang menyebalkan bagi saya adalah kelanjutan kata-katanya.
“Nggak kayak lo, aneh.. nggak normal.”
Lagi, kata normal, yang didahului dengan kata ‘tidak’ disebutkan – tapi langsung ditujukan untuk saya.
…
Lucu deh, semakin lama, semua orang yang tadinya sering iseng bertanya “Kapan nikah”, tiba-tiba beramai-ramai menyebut saya sebagai ‘si tidak normal’, setelah saya jawab FAQ tersebut dengan “Ntar aja ah.. belum sekarang, masih pengen jalan-jalan, masih pengen sekolah, masih pengen kesana-kesini..”
Jujur saya sempat merasa terganggu dengan ucapan seperti itu.
Tidak normal
T i d a k n o r m a l.
Kok rasanya nista ya, disebut tidak normal?
Bahkan saya sampai (dengan niatnya) mencari definisi normal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-tiga
- Nor.mal a 1 menurut aturan atau menurut pola yang umum, sesuai dan tidak menyimpang dari suatu norma atau kaidah; sesuai dengan keadaan yang biasa; tanpa cacat; tidak ada kelainan 2 Bebas dari gangguan jiwa.
Jadi jelas bahwa, orang-orang yang memiliki pola berpikir, prioritas dan cara hidup berbeda dengan yang kebanyakan itulah disebut : tidak normal.
Tiba-tiba saya jadi geli sendiri, kenapa juga saya mesti merasa terganggu dengan sebutan ‘tidak normal’, tokh untuk urusan ini, tidak normal artinya menjadi berbeda dengan orang kebanyakan; menjadi unik.
Mungkin karena ucapan ‘tidak normal’ dalam masyarakat itu berkonotasi negatif, ya?
Seperti definisi nor.mal yang kedua : bebas dari gangguan jiwa, jadi tidak nor.mal berarti memiliki gangguan jiwa.
Doh.
Tapi ya sudahlah, tinggal merubah cara berpikir tentang menjadi tidak normal itu seperti apa.
Eh iya, tiba-tiba saya terpikir tentang perubahan sikap Dee yang drastis itu
Sepertinya Dee tidak bisa bertahan dengan ‘keberbedaan’nya, karena terus menerus dihadapkan dengan tuntutan ‘menjadi normal’ dari lingkungan; bahkan oleh ibunya sendiri.
Sungguh menyedihkan, ya.. ketika orang-orang tidak hidup di tengah lingkungan yang membiarkan orang-orang yang berbeda itu sebagai mana adanya?
Bahkan dari yang saya alami atau saya lihat sendiri, bukan hanya perkara perbedaan cara berpikir tentang kawin mengawin saja, tapi juga pada perkara-perkara lain; seperti pekerjaan, hobby, penampilan bahkan pendapat sederhana bahwa RUU APP adalah RUU paling tidak penting se-dunia *uups, sepertinya saya kembali membangunkan macan-macan tidur, nih! Vis ahh*.
Berbeda dikit, langsung dianggap aneh oleh sejuta umat, bukan hanya dianggap aneh, tapi nggak jarang juga diserang dengan berbagai cara.
Kalau diibaratkan virus, maka perkataan orang-orang tentang ‘normal dan tidak normal’ adalah virus yang perlahan menggerogoti tubuh seseorang.
Hal ini bisa membuat orang yang tadinya berbeda, berusaha untuk merubah dirinya menjadi sama dengan yang lain, seperti Dee.
Atau seperti teman saya yang baru lulus kuliah terpaksa ngantor, karena bagi lingkungannya, bekerja sebagai pemusik itu tidak normal. Ada juga seseorang yang saya kenal terpaksa berubah secara temporer, melepas segala tindik yang dipunyainya dan memakai baju serba tertutup setiap pertemuan keluarga, dengan alasan, “daripada diributin karena dianggap nggak normal?”
Jika tidak merubah haluan menjadi sama dengan lingkungan, setidaknya merasa ragu akan pendiriannya, seperti yang sempat saya alami beberapa saat yang lalu. Iya, saya sempat merasa, dengan mimpi-mimpi, keinginan-keinginan dan prioritas-prioritas yang saya punya, saya tidak normal. Tidak waras, alias gila.
Untung, saya mempunyai orang-orang yang luar biasa di sekitar saya, yang sangat menerima segala bentuk keunikan, baik di diri mereka sendiri, maupun di diri orang lain.
Merekalah yang tetap membuat saya berpikir bahwa saya dengan karakter saya, saya dengan sikap yang kadang-kadang (kadang-kadang?) membenci dunia, saya dengan pendapat saya, saya dengan hobi dan minat saya, saya dengan mimpi saya, bahkan saya dengan bentuk badan saya yang tidak sesempurna tubuh model, saya dan penampilan saya, saya dan segala bentuk torehan yang disengaja maupun tidak sengaja di permukaan kulit, saya dengan sepatu merah dekil saya, adalah……unik.
Saya hanya berharap agar orang-orang yang merasa berbeda dari lingkungan bisa juga mengatakan hal yang sama tentang ‘ketidaknormalan’ diri mereka, seperti ini :
- Teman-teman tersayang, mungkin kami memang tidak normal karena kami berbeda dengan kalian, tapi nggak apa-apa dong, itu artinya kami unik, nggak pasaran.
Ya mulai sekarang, tidak akan pernah lagi saya khawatir karena saya berbeda :)