Perempuan-perempuan tersayang,
Akhir-akhir ini, setiap lampu merah menyala di nyaris seluruh perempatan jalan yang terlewat dalam perjalanan, saya selalu menyiapkan telinga saya untuk mendengarkan lagu ‘Kenangan Terindah’-nya Samson yang dinyanyikan oleh pengamen-pengamen cilik
(Sepertinya mulai dari pengamen-pengamen jalanan sampai mbak-mbak dan abg pemilik handphone dengan fasilitas ringtone MP3 sedang terkena demam lagu tersebut. Anda juga,kah? :P)
Nah, Jumat pagi kemarin, saya pikir, saya akan kembali mendengar lagu itu lagi, ketika saya menghentikan kendaraan di sebuah perempatan jalan karena lampu merah menyala dan mendapat serangan bocah-bocah pengamen.
Salah seorang dari mereka menghampiri mobil dan mulai beraksi dengan kecrekan tutup botolnya, ia membuka mulut dan bernyanyi. Terdengarlah sebait lirik sebuah lagu yang sudah lama tidak saya dengar, dinyanyikan dengan penuh semangat dengan mulut terbuka lebar tidak terkendali,
Eboo keta Karteneee, Potree sejatee
Potree Endonesiya, Harom namanyaaa…
Dan di akhir lagu, saat menerima keping receh dari saya, pengamen tersebut berucap "Nuhun, Teh, selamat hari Kartini."
Saat itulah saya baru ingat, bahwa Jumat kemarin adalah; Hari Kartini.
Perempuan-perempuan tersayang,
Saya sih nggak terlalu nge-fans dengan pahlawan nasional kita yang satu ini.
Walaupun beliau adalah seorang perempuan yang berpikiran keren, dengan kritik-kritik, keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya Jawa serta agama yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan (Jawa?).
Walaupun beliau juga memiliki cita-cita dan mimpi untuk maju, bukan sekedar mengurusi perkara tetek bengek dan tetek yang tidak bengek berkaitan dengan masalah domestik rumah tangga (Kalau mencuri istilahnya bapak ini; permasalahan masak, macak dan manak.)
Tanpa mengecilkan apa yang beliau lakukan, seperti salah satunya mendirikan sekolah kheuseus perempuan yang bernama Bumiputera, tapi tokh pada akhirnya ia harus tetap berkompromi dengan struktur dan budaya Jawa yang memenjarakan kaum perempuan : bersedia dipingit, menikah karena dijodohkan, tanpa sempat mewujudkan cita-citanya untuk bersekolah di Eropa, bahkan ia terpaksa membatalkan niatannya belajar menjadi guru di Betawi karena ini.
RA Kartini kurang bandel, ya nggak sih? :D
Hm, iya,iya..mungkin memang keadaan masa itu sulit baginya. Tapi ya sudahlah, sudah lewat, lagi pula saya bukan mau membahas hal ini, tapi saya mau membahas tentang Hari Kartini sendiri, di masa kini.
Perempuan-perempuan tersayang,
Walaupun tidak terlalu nge-fans, tapi sewaktu kecil (karena disuruh oleh sekolah atau perusahaan ayah) saya tidak pernah alpa ikut merayakan Hari Kartini, yang dari tahun ke tahun selalu sama formatnya : menjadi miniatur Kartini, lomba memasak dan lomba menjahit dan lomba-lomba keterampilan tangan lainnya.
Kalau tidak salah, partisipasi terakhir saya adalah saat SMP, di mana saya memakai kebaya beludru merah marun, bela-belain bangun pagi buta untuk disanggul, lalu berkumpul di lapangan KODIM Lhokseumawe, Aceh Utara untuk pawai karnaval keliling kota.
Sejak saat itu, tidak pernah lagi ada perayaan-perayaan semacam ini, sehingga sering saya melewatkan tanggal 21 April begitu saja.
Saya sempat mengira bahwa tradisi merayakan Hari Kartini sudah hilang sama sekali, sampai keesokan harinya, saat sedang menyambangi rumah Ben, dan melihat surat undangan untuk merayakan Hari Kartini dari kelurahan tempatnya tinggal.
Karena kebetulan hari itu weekend dan kami sedang menjadi single seret-kencan, maka diputuskanlah untuk ikut datang ke tempat pertemuan kompleks perumahannya, sekedar melihat apa saja yang dilakukan dalam perayaan kini, di kelurahan tersebut.
Okay, ada apa saja di sana?
Ada lomba memasak nasi goreng, ada lomba memasang sanggul, ada fashion show kebaya, ada lomba memasang dasi untuk suami… ada…SIAL! Ternyata dari dulu dan sekarang tidak berubah formatnya; selalu lomba mirip Kartini dan lomba-lomba seperti itu.
Lalu saya bergabung dengan Ben untuk mengobrol dengan salah satu ibu panitia pelaksana acara ini, tanya punya tanya, ngobrol punya ngobrol. keluarlah sebuah pernyataan yang menohok,"Ya, kita sengaja mengadakan lomba-lomba keputrian seperti ini dengan tujuan agar wanita-wanita sekarang tidak lupa diri, kebablasan dan lupa pada kodrat dan fitrahnya sebagai wanita yaitu mengurus rumah tangga. Boleh lah, mereka sukses di luar rumah, tapi sekali lagi, seorang wanita baru sempurna jika ia mampu melayani keluarga."
Gubrags.
Perempuan-perempuan tersayang,
Bagi saya ini sungguh ironis, RA Kartini, yang begitu bersemangatnya ingin agar perempuan Indonesia (Jawa?) tidak cuma punya hak untuk ‘berkarir’ di bidang masak, macak dan manak yang bersifat domestik; ternyata sekarang hari kelahirannya, dirayakan dengan lomba-lomba yang berkaitan dengan : masak dan macak (untung manak – membuat anak tidak dilombakan! Ha!). Alasannya : karena memang sudah kodratnya wanita untuk terampil di bidang masak, macak dan manak
(By the way, sampai sekarang saya tidak mengerti logika 'perempuan harus terampil di bidang masak,macak dan manak'. Supaya apa,sih? Memanjakan ego kaum pria? Hmm? Ada yang bisa membantu menjelaskan pada saya?)
Yah, jadi, nggak heran kalau perempuan sering kurang diperhitungkan (atau dianggap) untuk berkompetisi di luar area masak, macak dan manak tersebut, dan lebih jauh lagi, mencuri istilah ibu ini, nggak heran tembok besi patriarki itu susah untuk dibongkar, lha wong, perempuan-perempuannya sendiri tidak benar-benar menunjukkan pola pikir, sikap dan perilaku yang mendukung mereka untuk ke arah sana. Lebih parah lagi kalau perempuan-perempuan demikian sampai menyebarkan isu 'perempuan sempurna adalah orang-orang yang ahli di bidang masak,macak dan manak' dan virus 'menjadi subordinat' pada semua perempuan, kan?
Heyraaaan deh. Hari gini?
Oh ya, bagaimana hari Kartini kalian?
Wahai Ibu Kita Kartini
Putri yang mulia, sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia.
Selamat Hari Kartini, perempuan-perempuan tersayang.
- NB: Eh iya, tau nggak, ini ada cerita nggak penting, gara-gara Ben yang dengan menyebalkannya menyanyikan lagu O Ina Ni Keke saat saya berusaha mengingat kembali teks lagu Ibu Kita Kartini, di telinga saya sekarang terus terngiang-ngiang gabungan teks lagu Ibu Kita Kartini dan O Ina Ni Keke
Ibu Kita Kartini
mangewa ki wenang, tumeles baleko
o ina ni keke, mangewi sako
mangewa ki wenang, tumeles baleko
we ane, we ane, we ane toyo
daimo siapa kotare makiwe
we ane, we ane, we ane toyo
daimo siapa kotare makiwe
...Sepertinya lagu gabungan ini akan menjadi cacing kuping (earworm) selama beberapa hari ke depan.
Ben, blegug siah! :D
Salam sayang,
Sepatumerah.