Gimana kerjaan?
Gue mau resign.
Akhirnya! Lo sadar juga kalo kerja sebagai budak kapitalis itu merusak mental.
Huehehehe... diem lo.
EH, eh, neng... jalan yuk, dah lama nih kita gak jalan, gue pengen ke pantai Bayah.
Halloooo? Ada yang ga nyimak ya? Gue mau resign, artinya ntar lagi gue completely jobless and moneyless.
Oh iya ya. Sial, batal lagi dong kita mencoklatkan diri bertiga dan mengaku-aku diri sebagai 3 anak pantai.
Hihi.. iya ih, susah amat ya mo jalan aja.
Lo tuh!
Ya maab. Lo gimana kerjaan? Katanya bosen di Bandung.
Masih, ini rekor terlama, setahun setengah, Man.
Gak pengen resign?
Kadang-kadang pengen, tapi sekarang lagi enggak.
Padahal kan taun lalu lo brisik banget pengen resign, pengen jalan-jalan.
Hihi, iya, tapi dipikir-pikir sayang juga euy, belum tentu kalo gue dapet kerjaan baru, suasana gawenya seenak sekarang. Udah gitu, apa mungkin gue dapet dan bebas ngerjain sidejob-sidejob kayak di sini?
Sidejob? Enak ya lo.. ngapain aja?
Ngerjain apa? Apapun, simply apapun alias melacur, what else?
Hihihi...
Yoi, gue kan pelacur tua yang boros, butuh duit terus menerus. Apalagi setelah mulai bercinta lagi.. pengeluaran banyak, bow!
Hahhhhh.... jadi ga mau resign trus jalan-jalan jadi chaos seeker kayak yang kita pengenin dulu-dulu?
Mmm... jadi chaos seekernya cukup setaun sekali pas cuti aja kali ya?
PAYYYAAAH! Gini nih, orang yang udah masuk ke zona nyaman, sama aja ma temen kita di sana.
Hihihi, cela aja deh gue, bebas.
Iya, jangan kuatir, gue bakal nyela lo sebagai cewek payah, yang udah masuk ke zona nyaman, memaki-maki keadaan, ngakunya bosen, pengen jalan-jalan dan seterusnya, tapi kalo disuruh resign takut.
Ouch, pernyataan lo menyakitkan hati lembutku, tapi itu betul sekali.
Payyahhh.. payyaaah... pengecut! Hahhaha...
Hehehe...ampun jendral gerwani!
Itu adalah sepotong pembicaraan melalui telepon pada suatu tengah malam di mana saya lagi-lagi terkena insomnia. Apa yang kami bicarakan tiba-tiba mengganggu pikiran saya belakangan ini.
Kenapa semakin tua, saya menjadi semakin pengecut ya? Kalau dulu, bisa dikatakan, saraf motorik saya bergerak terlalu cepat, tanpa berpikir saya bisa melakukan apa yang saya mau. Kalau sekarang? Keputusan untuk melakukan segala hal, selalu diikuti dengan begitu banyak pertimbangan, yang kadang kala nggak begitu penting juga.
Contohnya; dulu - setiap tidak suka dengan suasana kantor, saya bisa seenaknya, pada jam makan siang menulis resignation letter (hey, I'm good in writing resignation letter, btw! Ada yang butuh bantuan?), menyerahkan surat tersebut setelah jam makan siang usai - dan kekeuh ingin berhenti bekerja keesokan harinya.
Padahal, saya belum melamar kerja lagi ke mana-mana. Esoknya, paling-paling ibu saya yang terheran-heran karena sampai jam 10.00 pagi, saya masih santai-santai di rumah. Beliau hanya bisa menggelengkan kepala, ketika saya bilang saya berhenti bekerja.
Setelah gaji bulan lalu dari kantor sebelumnya menipis, baru saya mulai rajin membuka-buka koran atau membrowse situs-situs penyedia layanan bagi jobseeker di internet. Melamar lagi.
Begitu terus.
Bahkan, saya pernah juga kok, benar-benar tidak mau kerja kantoran; dan dengan (sok) kreatifnya saya mulai membuka lapangan pekerjaan bagi diri sendiri (lebih tepatnya : menjual diri) - memasang iklan menerima les menggambar, les inggris bahkan menerima jasa penerjemahan teks inggris ke indonesia di koran atau mulai menjual apa yang bisa dibuat untuk dijual (praline? t-shirt tie dye? website? tulisan? apa sih yang nggak saya jual?)
Saat itu, saya sangat percaya bahwa saya tidak akan jatuh sangat miskin nan terlunta-lunta. Dan benar, saya survive.
Namun kegilaan itu terhenti, ketika akhirnya saya menemukan tempat kerja yang menyenangkan, di sini, di mana saya telah bekerja (dengan ajaibnya) selama lebih dari setahun. Boss saya yang menyenangkan, rekan kerja yang lucu-lucu dan gila, pekerjaan menyenangkan eh, bukan pekerjaan deng, saya suka dengan pekerjaan saya sekarang, jadi saya menyebutnya hobby yang dibayar.
Padahal, tau kan (kalau kalian mengikuti blog saya dari awal, pasti tahu..) saya sebenarnya ingin seperti Nyong kriting-item, mbak'e-fetish-tangan atau Meneer Spiritual Teacher ini yang bekerja sosial di pojok-pojok antah berantah suatu daerah. Nyong, Mbak'e dan meneer ini bahkan telah dengan baik hatinya mengirimkan berbagai lowongan yang sepertinya cocok dengan apa yang saya inginkan.
Awalnya saya bersemangat, menyiapkan seluruh berkas yang kira-kira diperlukan; tapi ketika hendak mengirimkan berkas-berkas tersebut, tiba-tiba pemikiran dan pertimbangan bermunculan dalam benak.
Enak nggak ya kerja di sana?
Temen-temennya enak nggak ya?
Kan cuma kontrak 1 tahun, seudah itu nasib gue gimana?
Terus, apa mungkin gue masih bisa ngerjain kerjaan-kerjaan gue di sini?
Ih idup gue kan udah enak banget di sini...
Lalu....
Bagaimana masa depan?
Bagaimana ini?
Bagaimana itu?
Kenapa begini?
Kenapa begitu..
Tralalalala
Trilililili...
Dudududu....
Duh, betapa pengecutnya saya. Padahal justru seharusnya keadaan baru di tempat baru menjadi tantangan yang menyenangkan, kan?
Mungkin itu juga yang menyebabkan proses pelamaran ke pekerjaan baru selalu terhenti paling banter sampai wawancara ke-2, entah karena saya tidak dipanggil lagi, atau tiba-tiba saya ilfil dan tidak datang pada hari seharusnya wawancara. Para HRD tempat-tempat tersebut telah dilatih untuk menjadi pembaca pikiran, sehingga mereka bisa membaca bahwa sebenarnya motivasi saya belum begitu kuat.
Sepertinya teman saya sangat benar. Saya telah memasuki zona kenyamanan. Semua yang saya dapatkan di sini telah membius saya sehingga merasa sangat secure dan tidak berani untuk beranjak keluar dari sarang nyaman ini.
(hey, ternyata memang itu ya, bawaannya manusia? Ketika sudah merasa nyaman, jadi malas... betapa pun saya berteriak-teriak, ingin bebas, tapi untuk bergerak? Walah...).
Seorang teman yang lain pernah bilang, bahwa semakin tua kita, keinginan untuk settling down semakin besar; karena itu semakin banyak pertimbangan yang keluar ketika harus memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan ; entah itu pekerjaan, percintaan, rumah masa depan, keluarga endeswey endeskoy (untungnya, sampai saat ini yang berlaku bagi saya hanya soal pekerjaan saja kok, soal percintaan saya masih mampu untuk sebodo teuing*, yang penting tidak mengalami relationshit.Hahaha.)
Hhhh..
Mudah-mudahan saya tidak menjadi stagnant. Mudah-mudahan suatu saat dalam jangka 2 -5 tahun ke depan, kegilaan itu muncul kembali, sehingga saya bisa terbang lagi.
......tapi tidak sekarang, la yaw**... saya sedang nyaman-nyamannya berada dalam zona nyaman ini.
Untuk sekarang, saya hanya bisa berkata pada diri saya sendiri : Selamat datang di Zona Nyaman.
Yyyuuuk, Mareeeee....
*masa bodoh.
** la yaw itu istilah taun brapa sih? 90-an awal ya?