andita prasetyorini
Perempuan itu duduk bersila di samping sebuah makam kecil. Ia menelusuri torehan nama pada nisannya, merasakan lekukan-lekukan huruf dengan ujung jemarinya. Beberapa huruf telah hilang, membuat nama indah : Andita Prasetyorini, menjadi tinggal A dit Pra etyor ni. Dia tidak ingat, kapan terakhir kalinya ia berziarah, 5 tahun yang lalu? 10 tahun yang lalu? Satu-satunya yang bisa membuat ia, pada hari itu, terdorong untuk berkunjung adalah kabar burung, yang mengatakan bahwa pemerintah telah menerima investasi untuk membangun sebuah pusat pertokoan di atas komplek pemakaman ini.
Perempuan itu merasa, kalaupun kabar itu benar, maka sehebat apapun protes semua kerabat dari mereka yang dimakamkan di tempat itu tidak akan mampu mencegah pembangunan itu. Maka ia memutuskan untuk berziarah ke tempat itu, ia takut tidak akan pernah sempat datang lagi. Sambil menaburkan bunga yang dibelinya di gerbang makam, ingatannya melayang kembali ke beberapa tahun silam.
...
Gadis kecil berusia 4 tahun itu kesal, sudah 3 hari bundanya tidak ada di rumah. Ia merasa kehilangan. Ya, ayahnya ada disana, tapi itu tidak cukup. Ia ingin bunda! Ia ingin ditemani tidur, ia ingin disuapi, ia ingin dimandikan. Sebagai bentuk protesnya, ia bersikap sangat menyebalkan . Membuat ayahnya pusing.
"Mbak!" ayah memanggilnya pada suatu pagi, dihari keempat, entah mengapa, selama dua bulan terakhir ini gadis kecil itu kerap dipanggil dengan 'mbak', padahal sebelumnya, ia selalu dipanggil dengan nama kecilnya.Gadis kecil itu datang pada ayahnya, masih dengan sikap merajuk.
"ayah mau menjemput bunda di rumah sakit...Mbak tinggal dirumah sama bibi, " lanjut ayahnya. Gadis kecil itu marah. Tidak cukupkah ia ditinggal bunda selama beberapa hari? ia lari ke kamarnya. Tak lama ia mendengar suara mobil menjauh. Ayahnya telah pergi.
gadis kecil itu bermain sendirian di kamarnya, ia sangat yakin ayah bundanya sudah tidak perduli padanya, sampai menjelang sore, tiba-tiba ia mendengar kembali deru mobil yang sudah dikenalnya, bunyi itu semakin lama semakin keras, lalu tiba-tiba hening. Sejurus kemudian, terdengar pintu mobil dibuka dan ditutup kembali. Ayah Bundanya pulang! gadis kecil itu berlari keluar rumah, menyongsong orang-orang yang dicintainya. langkahnya terhenti ketika melihat ibunya menggendong bayi! Siapa itu? pikirnya.
"Sini, mbak! Ini Dek Dita...." ayah merengkuh gadis kecil itu, dan membawanya mendekat pada bunda, gadis kecil itu berjinjit dan melongok sosok yang berada dalam gendongannya. Manis, pipinya gendut, matanya besar, seperti mata gadis kecil itu, tapi rambutnya ikal seperti ayah. Hari itu, kesediham si gadis kecil sedikit terlupakan, karena ia bisa bermain dengan bayi yang disebut ayah bunda sebagai : adiknya.
Tapi hari berikutnya, ia tidak sayang lagi pada Dita, ia kesal. Pertama, karena entah mengapa ia tidak boleh bermain dengan Dita lagi, kedua, ia harus membagi segala curahan perhatian ayah bunda untuknya dengan Dita. Sedikit-sedikit Dita. Ini Dita, itu Dita. Dita menangis, bunda panik. Dita tersedak, Bunda kalut. Tubuh Dita membiru, bunda sibuk menelepon ayah. Dita.. Dita.. dan Dita selalu!
Dan, puncak kekesalannya, adalah ketika suatu hari gadis kecil itu terjatuh dan luka, dan bunda hanya berkata "ayo bangun sendiri, minta obat merah sama bibi..." sambil terus menggendong Dita. Ia mulai membenci Dita, dan berharap agar Dita pergi jauh. Saat itu ia langsung merajuk, pura-pura sakit kepala.
Bunda tidak marah, ia menaruh Dita dalam buaiannya, dan menghampiri gadis kecil itu, memegang kening si gadis kecil dengan punggung tangannya. Saat itu bunda tahu, kalau sebenarnya, gadis kecil itu tidak sakit, hanya cemburu. Langsung digendongnya si gadis kecil dan diletakkan diatas pangkuannya.
"Mbak, maaf kalau Bunda selalu dekat-dekat Dek Dita, dan nggak pernah ngelonin, nyuapin dan mandiin mbak lagi..." katanya dengan lembut.
"kenapa?"
"Dek Dita harus ditolong sama Bunda terus..."
"kenapa?"
"karena Dek Dita masih kecil dan sedang sakit. Kalo mbak kan udah besar, trus mbak juga sehat dan kuat... bisa ngapa-ngapain sendiri" lanjut bunda.
Gadis kecil itu tidak juga mengerti, ia tetap kesal pada Dita yang telah mencuri seluruh perhatian bunda padanya.
Sampai suatu malam, tiba-tiba ia mendengar keributan di kamar ayah bundanya, ia membuka pintu sedikit, dan mengintip dari celah pintu. Tampak bundanya menangis sambil menggendong Dita. Dan ayahnya, sambil memapah bunda, tampak resah. Tak lama mereka pergi. Mau kemana mereka?
sampai pagi, gadis kecil itu belum mendapat jawabannya, yang ia tahu ayah bundanya pulang tanpa Dita, lalu sepanjang hari bunda menangis histeris dan kerap pingsan. Ada apa ini? Gadis kecil itu makin tidak mengerti, pun ketika akhirnya Dita pulang kerumah dalam keadaan tertidur dengan baju pesta putih berenda yang indah dalam tempat tidur kayu. gadis itu tambah bingung, karena begitu banyak orang datang kerumahnya. Lalu tiba-tiba Dita dibawa pergi, itu hari terakhir gadis kecil itu melihat Dita.
....
Lamunan perempuan itu buyar, ketika ia merasakan tetes air mengenai ujung hidungnya. Hujan! Ia bangkit dan menaburkan sisa bunga di keranjang. Dipandanginya makam itu sampai puas. Jika kabar burung itu benar, mungkin itu adalah kunjungan terakhirnya. Entah berapa saat lagi tempat ini akan berubah menjadi sebuah pusat pertokoan. Ia bergegas menuju mobilnya, karena hujan semakin deras.
mengenang Andita Prasetyorini, adikku..
Dek, nggak pernah sekalipun aku benar-benar benci kamu. Sungguh!