I
Jesus hadomi hau
Jesus Hadomi O
Sudah jauh lewat tengah malam, tapi diluar tidak gelap karena bintang-bintang bersinar terang. Aku dan anak itu duduk dan bernyanyi bersama. Seharusnya sekarang ia sudah tidur di rumahnya, terlalu larut untuk tetap terjaga..
Jesus Hadomi Ita Hotu
Tuir Nia Lian hakotuk.
Kubiarkan dia merangkul erat ranselku. Dadaku mulai terasa sakit, tenggorokanku tercekat, tapi kupaksakan diri untuk terus bernyanyi. Tiba-tiba terdengar deru suara mobil memecah kesunyian malam. Anak itu melepaskan ranselku, berdiri dan beringsut menjauh. Kupanggul ranselku dan berjalan perlahan menuju mobil yang akan membawaku pergi, dia masih berdiri disana, mata jernihnya berkaca-kaca bagai telaga.
Aku mendekati dia, hampir saja ia berlari menjauh, tapi aku sempat menangkap tangannya, sekarang kami berhadapan, ia mendongak, karena tingginya masih sedadaku. Ia mematung… kulepaskan kalung koinku yang sudah setahun ini selalu tergantung di leherku, dan kukalungkan ke lehernya. Dia menggenggam bandulnya. Kami saling membisu.
“Ayo, naik!” temanku berteriak. Teriakannya seolah menjadi aba-aba bagi anak itu untuk berlari semakin menjauh. Sudah waktunya pergi! Tapi berat kakiku untuk melangkah. Aku masih melihat dia berlari, dan aku tersentak, karena tiba-tiba ia menoleh, kulihat telaga dimatanya telah meluap. Ia berteriak , “Kak, kembali kesini lagi ya?” mataku semakin terasa panas, pandanganku mengabur, air mataku merebak. Aku hanya bisa mengangguk, dan masuk ke dalam mobil.
Dari balik jendela, kulihat ia berlari pulang, aku berharap ia akan menoleh lagi, sejenak, untuk melambaikan tangannya tapi tidak, dia terus berlari….. sampai gelap malam menelan sosoknya. Tak hentinya aku menangis sepanjang perjalanan.
Jesus hadomi hau
Jesus Hadomi O
Jesus Hadomi Ita Hotu
Tuir Nia Lian hakotuk.
II
Setahun kemudian,
Di Stasiun Kota,
Kereta api itu telah tiba. Orang-orang berjejal memenuhi pintu keluar. Ku picingkan mata, mencoba mencari sosok perempuan berkulit coklat dan berambut ikal yang sangat ku kenal.
Itu dia! Tampak dari kejauhan ia melambai. Melawan arus aku mendekatinya. Tangannya mengembang, dan kami berpelukan erat, cukup lama. Sampai kami sadar bahwa kami telah menghalangi jalan.
“Botarde!” katanya, senyum masih tersungging dibibirnya. Kami berdua berjalan menepi.
“Botarde! Diak Kalae?”
“Diak! Kamu apa kabar?”
“aku baik-baik aja…anak-anak apa kabar?”
“mereka nanyain kamu!” ia memanggul ranselnya, dan kini kami berjalan mengikuti arus manusia yang hendak keluar stasiun.
“bener? Semua nanyain aku?” aku tidak percaya- mereka masih ingat padaku. Kami saling membisu, berjalan menuju mobil.
“Iya, semua! mereka nanyain kamu bakal kesana lagi atau tidak!”
“anak itu juga?” kubuka bagasi mobil dan kumasukan ransel perempuan itu.
“Iya! Oh ya dia masih pakai kalung dari kamu, dan nggak bosen-bosennya pamer …” sekarang kami berdua telah berada dalam mobil.
“dia bilang apa?” tanyaku sambil menyalakan mobil. Hatiku bergetar, anak itu masih memakai kalung dariku.
“Katanya kalung itu pinjaman dari kamu, dan bakal dia kembalikan, kalo kamu kesana lagi….”
Mobilku melaju di jalan yang tidak mulus, kami berdua terdiam, larut dalam kenangan masing-masing.
Jesus hadomi hau
Jesus Hadomi O
Jesus Hadomi Ita Hotu
Tuir Nia Lian hakotuk.
Hau hadomi O, Labarik!